Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma Masa Lalu
"Apa yang menahan dirimu kak Amar?" suara itu membuat Amar yang sebelumnya terpejam di kursi kerjanya mencari-cari darimana datangnya suara itu.
Pandangannya terhenti saat melihat Amir sang Adik berdiri di sudut ruangannya.
"Amir..." lirih Amar yang langsung berdiri melihat Amir dengan tatapan dingin melangkah kearahnya.
"Kenapa kak Amar masih tidak mau melepaskan diri dari masa lalu dan terus-terusan menahan diri untuk membuka hati pada Mahira?"
"Amir... dengarkan aku..."
"Kak Amar sudah berjanji menerima istri dan juga anak ku, tapi kenapa kak Amar menyiksa hatinya?"
"Amir... kamu tahu ini tidak mudah bagiku, semua butuh proses, butuh waktu untuk menyesuaikan semuanya."
"Sampai kapan, berapa lama lagi kak Amar membutuhkan waktu? sudah lebih dari lima belas tahun sejak wanita itu mengkhianati kak Amar, tapi sampai sekarang kak Amar masih tidak mau membuka hati untuk siapapun. Bahkan Mahira yang sudah sah menjadi istri kak Amar!"
"Karena aku tidak ingin merasakan kesakitan dalam cinta lagi Amir! kamu tau benar bagaimana terpuruknya aku karena pengkhianatan itu, kamu tau benar bagaimana aku berjuang bangkit hingga aku mampu berdiri seperti sekarang ini!" saut Amar dengan mata berkaca-kaca mengingat penghianatan besar yang dilakukan oleh wanita yang begitu ia cintai.
"Kak Amar, percayalah padaku kak, Mahira tidak akan pernah membuat hatimu terluka, dia wanita yang sangat baik, dia akan lebih rela terluka dan menderita daripada melihat kak Amar terluka."
Amar masih terdiam dengan apa yang Amir katakan. ketakutan akan terluka kembali dalam cinta membuatnya terus menghindari perasaannya yang mungkin sudah tumbuh subur jika Amar membiarkannya tumbuh.
"Kak Amar... jika kak Amar tidak mencobanya bagaimana kak Amar tahu keindahan mencintai dan dicintai? Kak Amar begitu pemberani dan kuat menghadapi segala cobaan yang menimpa kak Amar sejak kecil, tapi kenapa kakak kalah dalam menghadapi ketakutan diri sendiri?"
"Aku tidak takut Amir! Aku tidak takut... Aku tidak takut..."
"Tuan Amar... Tuan Amar..."
Amar terkesiap mendengar seseorang membangunkannya. Seperti orang bingung Amar melihat sekelilingnya seakan tak menyadari dimana dirinya sekarang.
Ya, setelah Amar keluar dari kamar Mahira, Amar yang menerima telpon dari sekretarisnya bergegas ke kantor untuk menandatangani beberapa berkas penting. Dan ketika telah menyelesaikan pekerjaannya, Amar yang semalam kurang tidur menyandarkan tubuhnya di kursi tingginya dan tak berapa lama Amar tertidur.
"Amir... Amir datang menemuiku?" batin Amar begitu menyadari dirinya di kantor dan yang baru saja terjadi hanyalah mimpi.
"Tuan Amar baik-baik saja?" tanya sang sekertaris yang melihat kegelisahan Amar.
"E-ya, Aku baik-baik saja, ada apa?"
"Ada satu berkas lagi yang perlu Tuan tandatangani, ini Tuan." ucap sekertaris menyodorkan berkas tersebut.
Setelah selesai menandatangani, Amar mengembalikan berkas itu dan meminta sekertarisnya keluar meninggalkannya.
Setelah sendirian, Amar kembali mengingat kata demi kata yang Amir ucapkan dalam mimpinya, sangat jelas seakan Amir benar-benar datang menemuinya.
"Amir... apa kamu ada disini?' tanya Amar yang seketika itu juga dibuat kaget oleh jatuhnya bingkai foto dari mejanya.
Amar membungkukkan badannya untuk mengambil bingkai tersebut. Kemudian membalik bingkai foto yang terpasang foto dirinya dan juga Amir.
Dipandanginya wajah sang Adik yang tengah tersenyum bahagia, senyum yang tidak bisa lagi Ia lihat seumur hidupnya.
"Maafkan aku belum bisa mengembalikan senyum bahagia mu Amir," ucap Amar yang kemudian mengingat kejadian tadi siang di kamar Mahira. Dimana Amar sempat membelai lembut wajah Mahira dan memberikan kecupan pertamanya di kening Mahira. Namun ketakutan akan kembali patah hati membuat Amar menahan diri untuk meneruskan seperti apa yang Mahira impikan.
Bersambung...