Mutia Arini seorang ibu dengan satu putra tampan dan juga pengusaha bakery wanita tersukses. Kue premium buatannya telah membuat dirinya menjadi seorang pebisnis handal. Banyak cabang telah dibukanya di berbagai kota besar. Pelanggannya adalah golongan menengah ke atas. Di balik kesuksesannya ternyata ada sebuah rahasia besar yang disimpannya. Karena kejadian satu malam yang pernah dilaluinya, mengubah semua arah kehidupan yang dicitakan oleh seorang Mutia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Meski dengan bekerja, Mutia melalui masa perkuliahan tanpa kesulitan. Mutia masih bisa mengatur waktu kerjanya tanpa menganggu jadwal kuliah. Target-target praktek yang wajib dipenuhi, seperti wajib menolong persalinan sebanyak lima puluh pasien pun juga bisa dipenuhi sebelum masa kuliah usai. Nadia pun juga begitu. Nadia merasa beruntung dengan adanya Mutia, dia menjadi lebih semangat untuk segera menyelesaikan kuliah.
"Nad, setelah wisuda rencana kamu gimana?" tanya Mutia. "Ya pasti balik kampung lah. Selama menunggu STR (surat registrasi untuk diakui sebagai seorang tenaga kesehatan) mau nikmatin alam desaku dulu" jelas Nadia. "Kamu sendiri?" Nadia bertanya balik. "Yang jelas balik ke kampung dulu, sowan sama orang tua. Dan yang pasti harus segera cari kerja" seloroh Mutia. Nadia mengangguk-angguk. Selama masa kuliah memang Mutia tidak pernah balik ke kampung, hanya orang tuanya lah yang beberapa kali menyambangi Mutia di asrama.
Sehari menjelang wisuda, Nadia menerima telpon dari keluarganya di Nusa Tenggara. Memberi kabar kalau mama nya sakit keras dan masuk rumah sakit. Nadia yang begitu panik, "Mutia bagaimana ini, mama ku sakit" Nadia memberitahu Mutia dengan air mata yang sudah meleleh. "Nad, momen wisuda memang penting. Tapi keadaan mama mu juga lebih penting. Apa nggak sebaiknya kamu mengajukan ke pihak kampus untuk ikut wisuda yang berikutnya???" saran Mutia. Nadia menerima saran Mutia, dan hari itu juga Nadia mengajukan diri untuk ikut acara wisuda berikutnya dan disetujui.
Hari itu juga Nadia balik ke kampung halaman dengan diantar Mutia sampai bandara. Saat balik dari bandara, hari sudah senja. "Apa habis ini aku nyari tempat untuk rias besok pagi ya" gumam Mutia saat hendak masuk kamar. Rencana hari ini sebenarnya Mutia dan Nadia mau mencari sebuah salon kecantikan untuk merias diri waktu acara wisuda besok. Selepas menunaikan kewajiban ibadahnya, Mutia memutuskan untuk mencari salon kecantikan di sekitar kampus berdasarkan info dari teman-teman yang lain. Mungkin keberuntungan belum berpihak ke Mutia, salon-salon kecantikan yang berada di sekitar kampus ternyata sudah penuh orderan yang berasal dari teman-teman Mutia. Mutia berjalan gontai, dan tanpa sengaja dia melihat sebuah salon kecantikan yang berada di seberang jalan. Dengan penuh semangat, Mutia menuju ke sana. Dan alhamdulillah, salon itu masih sepi order buat acara besok. Meski yang punya adalah golongan orang bertulang lunak, Mutia tidak mempermasalahkan. Yang penting besok lancar, begitu pemikiran Mutia.
Mutia berjalan di jalan yang sepi itu untuk kembali ke asrama kampus. Sampai di tempat yang gelap karena lampu jalan dimatikan sebuah mobil tepat berhenti di samping Mutia. Tanpa memberi kesempatan Mutia, seseorang menarik dirinya dengan kuat untuk masuk mobil itu. Mutia meronta minta diturunkan dari mobil. Dirinya nekat untuk membuka pintu mobil yang telah terkunci otomatis itu. Akhirnya Mutia mendapatkan pukulan di tengkuknya sampai pingsan. Dan terjadilah hal yang tak diinginkan Mutia. Kesucian yang sangat dijaga olehnya telah terenggut.
Mutia terbangun saat menjelang Subuh seperti biasanya, dan didapatinya laki-laki tertidur membelakanginya. Posisinya yang tengkurap semakin membuat Mutia tidak tau rupa laki-laki breng*ek itu. Mutia tidak memperdulikan lagi dan Mutia buru-buru memunguti baju-bajunya yang berserakan. Saat ini yang ada dalam pikirannya, dia harus segera pergi dari tempat itu. Dengan badan terasa remuk redam, Mutia berhasil keluar dari hotel itu. Mutia merasakan sakit sekali di bagian inti tubuhnya.
Mutia sampai asrama saat masih sepi. Beruntungnya Mutia, saat akan memasuki gerbang kampus satpam yang terbiasa jaga masih ketiduran di bangku jaganya. Mutia segera bergegas. Untungnya lagi tidak ada seorang pun yang tau keadaannya yang kacau saat ini. Mutia berusaha tegar, tapi hatinya berkata lain. Mutia menangis dalam diam di kamarnya.
Mutia tetap mengikuti kegiatan wisuda meski badannya terasa remuk redam. Bahkan jejak kepemilikan laki-laki gila itu memenuhi sekujur tubuh Mutia. Mutia bahkan menggosok-gosoknya berulang kali saat mandi tadi pagi. Acara wisuda berlangsung sukses, bahkan pak Aminoto dan juga bu Aminah turut menghadiri wisuda putri semata wayangnya itu. Mereka memeluk bangga putrinya itu dengan mata berkaca-kaca.
Mutia untuk sementara kembali ke kampung halaman berbarengan dengan orang tuanya. "Nak, apa rencanamu habis ini?" tanya bu Aminah saat mereka bertiga masih dalam perjalanan dengan naik kendaraan umum. "Biasa lah buk, abis kuliah pasti inginnya langsung dapat kerja" tukas Mutia. Mutia menyandarkan kepalanya ke bahu ibunya. Dengan penuh kasih sayang, dielus kepala putrinya itu. Mutia merasakan nyaman yang luar biasa. Sampai saat ini Mutia tidak ingin menceritakan hal yang telah terjadi pada dirinya.
Dua bulan sudah Mutia menunggu keluarnya ijazah dan juga surat registrasi. Pagi itu Mutia merasakan mual dan pusing yang luar biasa, bahkan Mutia beberapa kali ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. "Kamu kenapa nak?" bu Aminah cemas. "Nggak apa-apa kok bu, hanya masuk angin biasa" celetuk Mutia. Hal itu terus berlanjut. Hingga bu Aminah mulai curiga. "Nak, apa kamu telat menstruasi?" selidiknya. Mutia berpikir sejenak, "Kayaknya begitu bu. Ada apa memangnya?" Mutia masih belum menyadari arah pertanyaan ibunya itu.
Mutia segera menutup mulutnya, saat menyadari tatapan penuh selidik ibunya. "Nggak, nggak mungkin" batinnya. Mutia berlari ke kamar. Dan menangis seorang diri di kamar. Terdengar ketukan pintu, "Nak ibu boleh masuk???" tanya bu Aminah. Mutia tidak menjawab.
Bu aminah duduk di samping putrinya, dengan penuh kesabaran dipeluk putrinya itu. Mutia memeluk erat ibunya. "Bagilah bebanmu nak!!!" tutur bu Aminah. Mutia menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.
Bu Aminah membelikan alat tes kehamilan di apotik dekat pasar di desanya. Dan langsung meminta Mutia untuk melakukan tes kehamilannya. Mutia harap-harap cemas menunggu hasil. Dan....deg...ada dua garis merah di alat tes kehamilan itu. Mutia meraung sejadi-jadinya. "Aku harus bagaimana?????"
Momen itu bareng dengan pak Aminoto masuk rumah, "Apa yang terjadi?" tanyanya karena melihat Mutia menangis histeris sedang istrinya berusaha menenangkan putrinya itu.
"Mutia hamil pak" jelas bu Aminah. Bagai tersengat litrik ratusan ribu watt pak Aminoto terduduk lesu dan limbung seketika. Mutia dan juga bu Aminah bergegas mendekati. Pak Aminoto berusaha bicara lirih dan terbata, "Maafkan bapak Mutia, bapak tidak bisa menjagamu". Pak Aminoto menghembuskan nafas terakhir di hadapan istri dan anaknya itu. "Pak, maafkan aku. Bangun pak jangan tinggalin Mutia" Mutia mengguncang tubuh pak Aminoto. Sementara bu Aminah terduduk lesu di samping raga suaminya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
to be continued 🤗
jadi akhirnya ngga jadi Makan /Smile//Smile/