Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggantikan Peran Adik
Lamunan Amar terhenti saat mendengar suara Brankar mulai di dorong. Pandangannya beralih kearah perawat yang mulai berjalan ke arahnya, Amar melangkah mundur untuk memberi jalan pada perawat yang akan memindahkan Mahira ke ruang operasi.
Setelah perawat membawa Mahira, Ibu dan Amar berjalan di belakang mereka, lalu menunggu diluar ruang operasi.
"Nak Amar, maafkan Mahira anak ibu ya, jadi ngerepotin Nak Amar," ucap Ibu yang melihat Amar terus mondar-mandir dengan gelisah.
"Apa yang ibu katakan, ibu adalah ibu dari istri mendiang adikku, dan selama ini kita sudah seperti keluarga jadi tidak ada kata merepotkan dalam keluarga."
"Terimakasih banyak ya Nak Amar, dulu Mahira sangat beruntung memiliki suami seperti Nak Amir, dan sekarang Nak Amar."
Mendengar itu, Amar yang sebelumnya terlihat ikhlas dalam tutur katanya, seketika garis wajahnya menegang seakan tak senang dengan perkataan yang baru saja diucapkan oleh ibu Mahira.
"E-maksud ibu, sekarang pun Mahira masih beruntung karena meskipun suami Mahira telah tiada tapi Nak Amar mau membantu Mahira." Ibu yang melihat perubahan ekspresi wajah Amar meralat ucapannya, meskipun Ibu mendengar dengan telinganya sendiri jika Amir meminta Amar menikahi Mahira tapi Ibu tidak ingin menuntut Amar untuk memenuhi wasiat itu.
"Tidak masalah ibu, ini sudah jadi tanggungjawab ku sebagai saudara laki-laki Amir."
Rasa canggung dan tak enak hati yang ibu rasakan pada Amar akhirnya hilang setelah mendengar tangis bayi pecah didalam ruang operasi.
Amar dan ibu saling memandang lalu tersenyum bahagia dan bergegas mendekati pintu, mereka mencoba melihat kedalam untuk melihat bayi kecil yang baru di lahirkan itu, tapi belum sempat mereka melihatnya, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam.
"Selamat atas kelahiran bayi laki-laki Anda," ucap Dokter sambil tersenyum melihat bayi yang ada di gendongan perawat di sebelahnya.
"Masya Allah... Nak Amar... wajahnya mirip sekali dengan Nak Amir," ucap ibu menatap takjub bayi kecil yang berhidung mancung itu.
Mendengar apa yang ibu katakan, Amar mendekati bayi itu. Dan bersamaan dengan itu, Perawat memberikan bayi itu pada Amar.
"Silahkan di Adzannin dulu sebelum saya bersihkan Pak," ujar perawat.
Dengan penuh hati-hati Amar mengambil bayi itu dari tangan Perawat. Pengalaman pertama dalam hidupnya menggendong seorang bayi membuat Amar merasakan perasaan yang tak bisa ia gambarkan.
Ditatapnya wajah bayi itu yang membuat hatinya benar-benar merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan. "Begini kah perasaan menjadi seorang Ayah?" batin Amar yang semakin merasa takjub dengan ciptaan Allah yang begitu sempurna.
"Buruan Pak, takut bayinya keburu kedinginan," ucap perawat mengingat kan Amar yang terlalu lama menatap bayi itu, sampai lupa harus mengadzani bayi mendiang adikku itu.
"Oh iya," ucap Amar yang kemudian mendekatkan bibirnya di telinga sang bayi lalu melantunkan suara Adzan dengan fasih.
Sementara di sisi lain, ibu dengan cemas menanyakan keadaan putrinya yang masih berada didalam ruang operasi.
"Jangan khawatir ibu, anak ibu baik-baik saja, sekarang masih dalam perawatan, nanti setelah selesai kami akan pindahkan ke ruang inap."
Mendengar apa yang Dokter katakan, ibu merasa tenang dan kembali melihat bayi yang kini di ambil kembali oleh perawat untuk di bersihkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah menunggu kurang dari tiga puluh menit, akhirnya Perawat memindahkan Mahira ke ruang inap. Dimana dengan siaga Amar terus mendampingi Mahira layaknya seorang suami menunggu istrinya yang baru saja melahirkan.
"Maaf jika sudah merepotkan kak Amar," ucap Mahira begitu Perawat keluar setelah memeriksa selang infus di tangannya.
"Ini sudah jadi kewajiban ku, kamu tidak perlu banyak berpikir, beristirahatlah supaya kamu cepat pulih."
Mendengar jawaban Amar yang dirasa tidak suka menunggunya lebih lama lagi, membuat Mahira semakin tidak enak hati, terlebih sikapnya yang begitu dingin kepadanya.
"Lalu bagaimana mungkin dia menjadi suamiku?" batin Mahira.
Bersambung...