Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Yang Akan Terjadi?
Karina terbangun dengan perasaan yang menggelisahkan. Cahaya matahari yang menembus celah tirai menyilaukan matanya, memaksanya mengerjap beberapa kali.
Ia meraba sisi ranjang, tempat Revan seharusnya berbaring, namun hanya menemukan seprai yang dingin dan kosong.
Hatinya mencelos. Ke mana Revan? pikirnya. Karina duduk perlahan, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang.
Kenangan semalam mulai terurai di benaknya, ciumannya, sentuhan hangatnya, dan bisikan-bisikan manis yang memenuhi malam itu, begitu intens hingga membuatnya lupa pada segalanya. Tapi sekarang, ia bangun sendirian. Revan menghilang begitu saja.
Karina melirik jam dinding. Masih pukul tujuh pagi, tapi keberadaannya sudah seperti angin, tanpa jejak, tanpa pesan, tanpa apa pun. Perasaan kecewa perlahan menyelinap, menambah kegelisahan di hatinya.
Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan kaus longgar yang tergeletak di kursi, dan melangkah ke ruang tamu.
Ruangan itu sepi. Hanya gelas yang semalam digunakan Revan masih ada di meja, menjadi satu-satunya bukti bahwa ia benar-benar pernah di sana.
Karina meraih ponselnya di meja samping sofa, berharap ada pesan atau panggilan dari Revan. Layar ponselnya kosong. Tidak ada apa-apa. Ia menghela napas panjang dan mencoba menghubunginya, tapi panggilannya tidak dijawab. Hening.
Perasaan marah, sedih, dan bingung bercampur aduk. Karina berjalan ke dapur, menuang segelas air untuk mencoba menenangkan dirinya, tapi pikirannya terus melayang, mengingat semua yang Revan katakan semalam. Kata-kata yang begitu meyakinkan, seolah-olah ia sungguh-sungguh.
Kalau dia memang tidak serius, kenapa datang ke sini? pikirnya getir. Karina menatap kosong ke dalam gelas di tangannya. Apa aku hanya seseorang yang ia hampiri saat kesepian? Rasanya seperti diberi harapan, lalu dibiarkan terjatuh sendirian.
Karina tidak tahan lagi. Ia menepis rasa lemah yang sempat merayapi dirinya. Dengan cepat, ia meraih tas, mengenakan jaket, dan memutuskan untuk pergi keluar. Ia tidak tahu akan ke mana, tetapi yang pasti, ia tidak bisa terus menunggu jawaban yang mungkin tidak akan pernah datang.
“Gue nggak akan diam di sini dan terus berharap, dengan apa yang telah ia lakukan,” gumamnya, setengah menenangkan dirinya sendiri.
Ia melangkah keluar, membiarkan udara pagi yang dingin menyambutnya, mencoba meredakan kekacauan di dalam hatinya.
Karina akan memutuskan mencari Revan di sebuah bar, yang sering dirinya sendiri kunjungi.
Bar yang mempertemukan dirinya dengan Revan, saat pertama kali.
Karina melangkah masuk ke dalam bar yang remang-remang, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu untuk menenangkan diri.
Suara musik yang menghentak dan aroma alkohol yang kuat menyambutnya, tetapi pikirannya terlalu sibuk untuk peduli pada suasana sekitar. Ia berjalan ke arah sudut ruangan, tempat seorang wanita yang dikenalnya sedang membersihkan meja bar.
"Rita," panggil Karina pelan, namun cukup tegas untuk menarik perhatian wanita itu.
Rita, seorang bartender yang sudah lama bekerja di sana, menoleh dengan alis terangkat.
"Karina? Tumben lo ke sini pagi-pagi begini. Biasanya malam?" katanya sambil menyandarkan tubuhnya di meja bar.
Karina tidak menjawab langsung. Ia duduk di salah satu kursi bar, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Rita.
"Gue butuh bantuan lo,"
Rita mengernyit, penasaran. "Bantuan apa?"
"Lo tahu Revan, kan? Dia sering nongkrong di sini,"
Rita mengangguk perlahan, lalu menyipitkan mata. "Revan? Revan yang mana? Banyak orang-orang yang datang ke sini, jadi gue nggak terlalu paham setiap pelanggan yang datang."
Karina menggigit bibirnya, merasa semakin frustrasi. “Revan yang ini,” katanya seraya menyodorkan ponselnya kepada Rita, memperlihatkan foto Revan yang ada di galeri.
Foto itu diambil beberapa minggu lalu, secara diam-diam, saat Revan tertidur di atas sofa rumahnya.
Rita menyipitkan matanya sambil menatap layar ponsel Karina. “Hmm... oh, cowok ini?” ujarnya, meletakkan gelas yang sedang ia bersihkan.
“Kamu pernah lihat dia di sini?” tanya Karina, nadanya sedikit memaksa.
Rita menghela napas panjang, seperti sedang mencoba mengingat-ingat. “Memang dia sering ke sini. Tapi sekarang dia jarang ke sini. Terus, kenapa lo nanya soal dia?"
Karina mencondongkan tubuhnya lebih dekat, berbicara dengan nada serius. "Gue cuma mau tahu dia lagi ada di mana sekarang, gue mau tahu tentang penjelasan dari hubungan yang ia janjikan ke gue. Tadi pagi dia pergi dari rumah gue, nggak bilang apa-apa."
"Gue nggak tahu banyak soal dia. Tapi ada seseorang yang mungkin bisa kasih lo jawaban."
Rita mengambil pena yang terselip di saku bajunya, lalu menuliskan sebuah nomor telepon di atas selembar kertas. Setelah selesai, dia menyerahkan kertas tersebut kepada Karina.
Lalu pergi meninggalkan Karina sendirian, karena dirinya masih banyak pekerjaan yang harus di lakukan.
Karina menatap nomor di kertas itu dengan alis berkerut. Pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang ini? Dan kenapa Rita tidak langsung menjelaskan? Namun, rasa penasaran dan keinginannya untuk mendapat jawaban lebih kuat daripada keraguannya.
Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya, menekan angka-angka yang tertera pada kertas tersebut. Setelah memastikan nomornya benar, ia menekan tombol panggil dan menempelkan ponsel ke telinganya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, dan Karina hampir menyerah sebelum akhirnya ada suara di ujung sana.
"Halo?" Suara seorang pria, rendah dan tenang, menyapa.
Karina ragu sejenak, lalu berkata, "Gue Karina. Gue dapat nomor ini dari Rita yang kerja di Bar Stellar Nights. Dia bilang lo mungkin tahu soal Revan."
Ada jeda di seberang, sebelum pria itu menjawab, "Revan? Ya, gue tahu dia. Tapi kenapa lo cari dia? Ada apa?"
Karina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya agar tetap terdengar tenang. "Gue cuma mau tahu dia sekarang ada di mana. Dia pergi tanpa bilang apa-apa, dan gue butuh penjelasan soal... sesuatu yang dia janjikan ke gue."
"Gue nggak tahu pasti dia di mana sekarang," jawab pria di seberang telepon dengan nada santai. "Tapi lo bisa coba cari di rumahnya. Siapa tahu dia ada di sana." Pria itu lalu memberikan alamat rumah Revan.
"Oke, makasih buat informasinya." Karina menutup teleponnya, menyimpan ponsel ke dalam tas, dan melangkah pergi menuju ujung jalan.
Dengan langkah cepat, ia mencari taksi yang bisa mengantarkannya ke alamat yang baru saja ia dapatkan.
Di sisi lain, pria yang memberi informasi kepada Karina menyandarkan tubuhnya santai di kursi, tertawa lepas bersama teman-temannya di sebuah tempat yang mereka anggap sebagai markas. Gelas-gelas minuman berserakan di atas meja, sementara obrolan mereka terus mengalir, membahas hal-hal remeh yang mengisi malam mereka.
Namun, tawa pria itu terhenti ketika matanya menangkap sebuah mobil yang sangat familiar berhenti di depan bar. Ia menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya.
"Hei, itu kayaknya mobilnya Revan, deh," ujarnya sambil menunjuk ke arah luar.
Salah satu temannya, yang duduk di seberangnya, menoleh ke arah jendela dan mengangguk pelan. "Iya, bener. Itu mobil dia. Tapi ngapain dia ke sini?"
Pria itu mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang aneh. "Baru aja tadi gue kasih tahu alamat rumahnya ke cewek yang nyariin dia."
"Cewek? Siapa?" tanya temannya, terlihat penasaran.
"Namanya Karina, kalau gue nggak salah denger. Dia bilang Revan ngilang semalam dari rumahnya tanpa kabar. Tapi gue nggak tahu detailnya," jawab pria itu dengan nada santai.
Dari balik kaca jendela, mereka melihat Revan keluar dari mobilnya. Langkahnya berat, dan sorot matanya tampak dingin dan gelap. Ia berjalan memasuki gedung dengan sikap penuh kehati-hatian, seolah sedang mencari seseorang atau sesuatu.
Ketika Revan akhirnya masuk dan mendekat ke arah mereka, suasana di ruangan mendadak berubah. Pria yang tadi memberi informasi kepada Karina mencoba menyambutnya dengan senyum tipis.
"Van, gue nggak nyangka lo bakal ke sini lagi. Apa yang lo cari?" tanyanya ringan.
Revan berhenti beberapa langkah di depan meja mereka, tatapannya tajam dan penuh tekanan. Suasana di ruangan langsung berubah, dipenuhi aura dingin yang membuat beberapa orang di meja itu saling pandang dengan bingung.
"Gue ke sini cuma mau cari lo," kata Revan, suaranya rendah tapi tegas.
"Gue butuh lo buat bantuin gue."
Pria yang tadi memberi informasi pada Karina hanya terkekeh kecil, mencoba meredakan suasana. "Gue udah tahu apa yang lo cari. Lo pasti lagi nyari cewek, kan? Namanya Karina? Dia tadi telepon gue, nyariin lo."
Revan tidak menunjukkan ekspresi terkejut, tapi matanya menyipit sedikit, menandakan ketidakpuasan. Langkahnya maju mendekat, kini hanya berjarak beberapa meter dari pria itu.
"Terus lo ngomong apa sama dia?" tanya Revan.
Arman bersandar santai di kursinya, mencoba tetap tenang meskipun merasakan tekanan dari tatapan Revan. "Gue kasih tahu alamat rumah lo. Lagian, lo kan biasanya ada di sana. Gue pikir nggak masalah."
Revan menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya yang semakin memuncak. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, tetapi ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak meledak. "Lo tahu nggak, apa yang baru aja lo lakuin?"
Arman, pria yang tadi memberi informasi pada Karina, hanya mengangkat bahu santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan di hadapannya. "Gue cuma bantu dia, Van. Kalau lo nggak pengen orang lain tahu tentang lo, kenapa lo ngilang begitu aja?"
Revan menatap Arman dengan dingin, tapi tidak lagi mengatakan apa-apa. Kata-kata Arman terasa seperti duri yang menusuk, tapi ia tahu, berdebat di sini hanya akan membuang waktu. Dengan langkah berat, Revan berbalik dan keluar dari bar tanpa sepatah kata lagi.
Di luar, ia langsung masuk ke mobilnya. Tangan Revan menggenggam erat setir, sementara pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk. Ia memutar kunci, dan suara mesin yang menderu memenuhi keheningan di dalam mobilnya.
Tanpa ragu, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan gedung tersebut.
Jalanan yang sepi menjadi saksi pelariannya menuju rumahnya, tempat ia berharap segalanya belum terlambat.