Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Best Medicine
Chandra menatap ke luar jendela kantornya, pemandangan gedung-gedung tinggi di kota besar terbentang seperti lautan beton di hadapannya. Hari itu berjalan seperti biasa_penuh rapat, panggilan telepon, dan tanggung jawab yang tak ada habisnya. Hingga pintu kantornya diketuk.
Erika. Nama itu terasa asing namun akrab, membawa ingatan yang sudah lama ingin ia buang. Chandra menyipitkan matanya, menyadari betapa tidak diundangnya kedatangan wanita itu di tempat ini, terutama setelah semua yang terjadi.
"Erika." Suaranya tenang, hampir dingin, saat Erika melangkah masuk dengan sikap yang terlihat santai namun tetap licin, seperti ular yang menyusup ke dalam sarangnya.
"Chandra," Erika menyapanya dengan senyum tipis, lalu melirik sekeliling ruangan dengan rasa akrab yang sudah usang. "Dulu, aku sering sekali ke sini."
Chandra tidak mengatakan apa-apa, hanya melipat tangannya di atas meja, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ini bukan pertemuan yang ia inginkan, apalagi butuhkan. Sudah jelas baginya bahwa masa lalu dengan Erika adalah bab yang sudah ia tutup rapat-rapat.
"Aku tadinya mau bertemu Awan untuk makan siang," lanjut Erika, berjalan mendekat seolah ingin menjelaskan kehadirannya yang tidak terduga. "Tapi ternyata dia sedang tidak ada di kantor. Sekretarisnya bilang dia ada di luar kota. Jadi kupikir, kenapa tidak sekalian mengunjungimu?"
"Aku sibuk," jawab Chandra tanpa basa-basi, tatapannya keras seperti baja. "Kau harusnya tahu itu."
Erika tersenyum kecil, lalu duduk di kursi di hadapan Chandra tanpa diundang. "Aku hanya ingin berbicara sebentar. Lagipula, kita pernah sangat dekat, kan? Tidak ada salahnya sedikit nostalgia."
Chandra merasa rahangnya mengeras. "Ada yang ingin kau bicarakan, Erika?"
Erika menyandarkan tubuhnya, bermain-main dengan ujung rambutnya, seolah momen ini adalah nostalgia yang menyenangkan baginya. "Aku hanya penasaran dengan kehidupan barumu. Dengan istrimu."
Wajah Erika berubah sedikit licik. "Bagaimana rasanya hidup dengan Shabiya? Kalian pasti sangat sibuk. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalian bisa punya waktu bersama."
Chandra mengepalkan tangan di bawah meja. Perubahan suasana hati Erika begitu halus namun penuh maksud. Ini bukan nostalgia, ini adalah ejekan terselubung. "Kami baik-baik saja. Shabiya dan aku sudah cukup dekat," jawabnya tegas.
Erika tertawa kecil, tawa yang terdengar meremehkan dan menyengat telinga Chandra. "Dekat? Oh Chandra, kau pasti bercanda. Pernikahan yang dibangun tanpa cinta? Kalian berdua sama-sama sibuk, kapan kalian punya waktu untuk benar-benar menjadi suami istri?"
Chandra merasakan panas yang mulai membakar dadanya, namun ia tetap tenang. "Kami menjalani hubungan ini dengan baik. Waktu bukan masalah."
Erika menyeringai lebih lebar, lalu meletakkan siku di atas meja, mendekatkan tubuhnya ke arah Chandra seolah ingin membisikkan sesuatu yang pribadi. "Beritahu aku satu hal, Chandra. Apakah kau dan Shabiya sudah pernah... berhubungan intim?"
Chandra merasakan setiap otot di tubuhnya menegang mendengar pertanyaan itu. Pandangannya tetap fokus pada Erika, tanpa menunjukkan tanda-tanda terganggu. Erika tahu betul bagaimana memanipulasi percakapan untuk menusuk lebih dalam. "Itu bukan urusanmu, Erika."
"Tentu saja itu bukan urusanku," Erika berkata sambil menyandarkan tubuhnya lagi. "Tapi aku tidak bisa tidak bertanya-tanya. Aku kenal kau, Chandra. Dan aku juga tahu, kau terlalu sibuk untuk urusan seperti itu. Kau mungkin menikahinya, tapi apakah kau benar-benar... 'mencintainya'?"
Chandra tersenyum tipis, dingin. "Pernikahanku dengan Shabiya bukan urusanmu. Dan yang lebih penting, kami menjalani kehidupan yang jauh lebih baik daripada apa yang kau bayangkan."
Erika menyipitkan mata, senyumnya berubah sedikit pahit. "Oh, Chandra. Jangan berpikir pernikahan kalian akan bertahan lama. Kalian berdua terlalu sibuk untuk saling jatuh cinta, dan kalian pasti belum cukup... intim."
Ia berhenti sejenak, menikmati ketidaknyamanan yang ingin ia ciptakan. "Atau bahkan jangan-jangan, kalian tidak pernah benar-benar berciuman selain ciuman palsu di pesta pernikahan itu? Aku tahu kau, Chandra. Kau pandai bersandiwara, tapi aku bisa membedakan mana yang asli dan mana yang tidak."
Chandra mendengarkan Erika dengan tenang, meskipun di dalam dirinya, amarah yang ia tekan selama ini mulai memanas. Erika mencoba menanamkan keraguan di pikirannya, mencoba menggoyahkan keyakinannya pada hubungan yang sedang ia bangun bersama Shabiya.
Chandra bangkit dari kursinya, menatap Erika dengan pandangan tajam. "Aku tidak tahu apa motifmu datang ke sini, Erika. Tapi aku tidak peduli dengan spekulasi atau penilaianmu tentang pernikahanku. Jika kau hanya datang untuk meremehkan hidupku, pintu itu selalu terbuka untukmu keluar."
Erika terdiam sejenak, menyadari bahwa provokasinya tidak berhasil. Tapi kemudian, ia tersenyum kecil, menandakan bahwa pertarungan belum berakhir. "Baiklah, Chandra. Aku hanya ingin memastikan kau tahu apa yang kau hadapi. Pernikahan seperti milikmu... tak akan bertahan lama. Kau tahu itu, dalam hatimu yang terdalam."
Chandra tidak menjawab. Ia hanya menatap Erika dengan tatapan dingin, tanpa emosi. Wanita itu berdiri, mengangkat bahunya dengan santai, dan berjalan keluar dari kantornya.
Setelah Erika menghilang di balik pintu, Chandra berdiri di sana, masih memikirkan kata-katanya. Pernikahan ini mungkin memang tidak dimulai dengan cinta, tapi ia tahu bahwa apa yang ia rasakan untuk Shabiya perlahan berubah. Dan ia tidak akan membiarkan masa lalunya, atau siapa pun, menghancurkan apa yang sedang ia bangun bersama istrinya.
Tatapan Chandra mengarah ke jendela lagi, kali ini dengan tekad baru. Satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan Erika atau siapa pun merusak pernikahannya.
***
Chandra duduk di belakang meja kerjanya yang besar, tangan mengusap dagunya dengan jari-jari yang tegang. Bayangan Erika masih mengganggu pikirannya. Kata-katanya, meskipun penuh dengan racun, tetap terngiang-ngiang di benaknya. Namun, kali ini bukan perasaan takut yang menguasainya, melainkan amarah yang mendidih, mengalir di setiap nadinya. Erika selalu tahu bagaimana memprovokasinya, menyentuh luka lama yang ia coba sembuhkan.
Dan setiap kali ia merasa seperti ini_tertekan, kesal, hampir di ambang ledakan_hanya ada satu hal yang mampu memberinya ketenangan. Satu hal yang menjadi pelariannya sejak ia menikahi Shabiya.
Shabiya.
Chandra meraih jasnya dan tanpa berpikir panjang, berjalan keluar dari kantornya. Ia mengabaikan tatapan penasaran dari stafnya, membiarkan pintu kaca yang tebal berayun tertutup di belakangnya. Langkahnya mantap, penuh dengan ketegasan yang tak tertahankan. Saat berada di lobi, semua mata terarah padanya. Ada sesuatu yang tak bisa diabaikan dari sosok Chandra. Ketampanannya bukan hanya terletak pada garis tegas rahangnya atau matanya yang tajam, tapi juga pada kehadiran dirinya_auranya yang penuh dengan otoritas, kekuatan, dan pesona yang seolah tak terpisahkan.
Rambutnya, hitam legam, tertata sempurna, memantulkan sinar dari lampu-lampu mewah di lobi. Jasnya yang terbuat dari bahan terbaik menjuntai di tubuhnya dengan sempurna, memamerkan punggung lebar dan postur tegapnya. Setiap langkah yang ia ambil seakan menghentikan waktu, mengundang tatapan kagum dari siapa pun yang melihatnya. Chandra tidak hanya tampan_dia 'menyihir'. Pria seperti ia tidak bisa diabaikan.
Chandra tidak menelpon Shabiya lebih dulu. Ia tidak perlu izin untuk ini. Pertemuannya dengan istrinya adalah kebutuhan mendesak yang lebih dari sekadar keinginan. Erika telah mengguncang batinnya dengan cara yang hanya bisa diredakan oleh satu orang: Shabiya. Dan kopi. Tapi terutama Shabiya.
Ketika ia tiba di kantor istrinya, Chandra langsung menuju lobi yang ramai dengan karyawan dan klien yang berlalu lalang. Seketika kehadirannya mencuri perhatian. Sekretaris di meja depan hampir terhenti dalam aktivitasnya ketika melihat sosoknya mendekat.
"Pak Chandra..." suara sekretaris itu sedikit gemetar, seperti kebanyakan orang yang mendekatinya. "Apakah Anda ada janji dengan Bu Shabiya?"
Chandra menggelengkan kepala, tersenyum tipis namun penuh kendali. "Tidak, tapi aku yakin dia ingin bertemu denganku."
Sekretaris itu hanya bisa mengangguk, kemudian dengan cepat memanggil Shabiya melalui telepon internal. Tak butuh waktu lama, pintu kantor Shabiya terbuka, dan Chandra melangkah masuk tanpa menunggu lebih lanjut.
Di balik pintu, Shabiya duduk di mejanya, dikelilingi oleh berkas-berkas pekerjaan yang tertata rapi. Wajahnya sedikit lelah, tapi tetap memancarkan ketenangan yang biasa ia tunjukkan, bahkan dalam tekanan kerja yang berat. Namun, begitu melihat suaminya, alisnya sedikit terangkat.
"Chandra? Kau tidak memberitahuku kalau akan datang."
Chandra menutup pintu di belakangnya, menatap istrinya dengan intensitas yang jarang ia tunjukkan. "Aku butuh bertemu denganmu," jawabnya singkat, langkahnya mendekat, memotong jarak di antara mereka.
Shabiya terdiam sejenak, lalu menyingkirkan dokumen di hadapannya. Ada sesuatu dalam cara Chandra berbicara, dalam sorot matanya, yang membuat hatinya sedikit berdegup lebih cepat.
"Apakah ada yang terjadi?" tanya Shabiya, meski ia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu suaminya.
Chandra hanya menghela napas panjang, duduk di kursi di depan meja Shabiya. "Erika."
Nama itu menggantung di udara sejenak, membawa ketegangan yang tak terhindarkan. Shabiya tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Ia tahu hubungan masa lalu Chandra dengan Erika tidak mudah dilupakan begitu saja, terutama karena keterkaitan Awan dalam kisah mereka.
Shabiya menatap suaminya dengan lembut, meskipun dalam hatinya, ada sedikit kekhawatiran yang menggerogoti. "Apa yang dia inginkan?"
Chandra menggeleng pelan, frustrasi. "Tidak ada yang penting. Hanya... mencoba memprovokasi. Mengingatkanku tentang hal-hal yang seharusnya sudah aku lupakan."
Shabiya mengangguk, memahaminya. "Dan kau datang ke sini...?"
Chandra menatap Shabiya dalam-dalam, dengan cara yang membuatnya sulit bernapas sejenak. "Aku datang ke sini karena kau satu-satunya orang yang bisa membuatku tenang."
Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa Chandra bermaksud untuk meromantisasi keadaan. Tapi saat ia mengatakannya, ada sesuatu yang berubah di dalam ruangan itu. Udara menjadi lebih tebal, penuh dengan emosi yang belum pernah mereka bahas sebelumnya.
Shabiya merasa pipinya memanas sedikit. Meski ia lebih penurut dan tenang daripada kebanyakan orang, ia tidak pernah merasa nyaman dengan emosi yang begitu terbuka. Terutama dari Chandra, yang biasanya begitu dingin dan tertutup.
"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," lanjut Chandra, suaranya sedikit lebih lembut sekarang. "Dan... aku butuh kopi."
Shabiya tersenyum kecil, akhirnya mengendurkan ketegangan di antara mereka. "Baiklah, aku akan buatkan. Tapi setelah itu, kita akan bicara."
Chandra mengangguk, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa beban yang menghimpit dadanya mulai terangkat. Shabiya adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa tenang. Dan itu, lebih dari apa pun, membuat Chandra semakin yakin bahwa ia tidak akan pernah membiarkan apa pun, atau siapa pun, merusak hubungan ini. Terutama Erika.
***