Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Merdu Malaikat di Gereja
Suasana riuh masih terdengar karena istirahat belum usai. Lautan siswa masih memadati seisi kantin. Soya dan kedua temannya pergi ke taman dan berkumpul di gazebo untuk mengerjakan tugas sekaligus menebeng wifi sekolah, demi menghemat kuota.
“Tugas-tugas ini seakan mencekik leherku. Kenapa guru itu sangat kejam? Memberikan tugas berlapis-lapis, memang guru itu pikir, tugas itu wafer?" seperti biasa Bruzetta itu mengeluh serta mengoceh tidak jelas. Mulutnya lebih banyak bekerja daripada tangan.
“Dan tugas itu tidak akan menulis jawabannya sendiri jika kau hanya terus mengoceh Bernadette Bruzetta," sahut Jayden yang sedang serius menatap laptopnya. Begitu pun dengan Soya. Dengan earphone yang tersumpal di kedua telinganya yang sedang menyenandungkan lagu-lagu rohani. Ia mengerjakan tugasnya dengan tenang.
Jayden melirik sebentar layar laptop milik Soya, dahinya mengernyit heran menatap sahabatnya yang entah sejak kapan berubah menjadi sosok religius dalam sekejap. Padahal biasanya dia mendengar lagu grup kesayangannya itu nyaris 24/7. Akan tetapi, untuk sekarang benar-benar terjadi di luar dugaan. Bayangkan seorang Dominica Sophia Raviola Dexter sedang mendengarkan lagu-lagu rohani. Sulit dipercaya!
“Apakah ada badai yang baru saja menghantam sekolah kita?" tanya Jayden entah pada siapa.
Bruzetta hanya menaikkan satu alisnya, kemudian Jayden melirik Soya dengan ekor matanya. Bruzetta hanya menggelengkan kepalanya, dia tahu jika Soya sudah menyenandungkan lagu-lagu rohani itu berarti dia akan bertugas menjadi solis, atau pelantun mazmur di gereja.
“Itu berarti dia sedang mempersiapkan dirinya untuk tugas di gereja besok," ujar Bruzetta.
“Heh, kau tidak bertugas, Bee?" tanya Jayden.
“Tidak. Aku sudah minggu lalu."
“Bajingan! Ada apa dengan Wifi-nya. Kenapa tiba-tiba sambungannya terputus?" Soya tiba-tiba mengumpat ditengah senandungnya. Membuat Jayden dan Bruzetta terkejut, Bruzetta bahkan melempar penanya.
“Tidak baik mengumpat ditengah menyenandungkan lagu rohani. Kau ini!" sentak gadis bermata minimalis itu.
“Maaf ... maaf coba kalian cek jaringan Wifi-nya. Apa ini yang dinamakan sekolah elite? Jaringan putus tiba-tiba? Sia-sia saja daddy-ku memberi bantuan pada sekolah ini," ucap Soya dengan perasaan kesal.
Jayden yang mencoba juga berdecak kesal pasalnya apa yang dikatakan sahabatnya itu benar.
“Jika masih seperti ini seharusnya siswa yang bersekolah di sini digratiskan saja," timpal Jayden.
Bruzetta menjetikan jarinya dan memberi usul pada Soya, “Aha! Bagaimana jika kau merayu Pak Kai. Katanya dia pemilik sekolahan ini. Kau rayu saja dia agar memperbaiki jaringannya."
“Dia pemilik yayasan sekolah ini?" tanya Soya yang diangguki kedua sahabatnya. “Mengaku orang kaya dan memiliki sekolah elite tahunya fasilitas macam tempe begini. Dasar miskin!"
Pucuk dicinta ulam pun tiba, disaat Soya sedang sibuk mengeluarkan sumpah serapah terhadap guru barunya itu, justru Kai sedang berjalan mendekati gazebo tempat di mana Soya, Bruzetta, dan Jayden sedang mengerjakan tugas.
“Halo, kalian sedang mengerjakan tugas, ya?" sapa Kai tiba-tiba membuat Jayden dan Bruzetta terbengong-bengong. Lain halnya dengan Soya yang justru menjawabnya dengan ketus dan memaki Kai. “Sedang buang air, Pak. Bapak tidak lihat ada banyak buku, alat tulis, serta laptop di sini? Mana jaringan internetnya mati tiba-tiba membuat tugas kami terhambat. Katanya, sih sekolah elite orang-orang kaya, tapi fasilitasnya kalah dengan sekolah-sekolah lain yang biasa saja."
Sindiran Soya sepertinya tepat sasaran. Terlihat raut wajah Kai yang berubah, pria itu tersenyum kecut. Jayden dan Bruzetta yang menangkap raut wajah Kai yang berubah itu mulai harap-harap cemas.
Ia mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi teknisi untuk memperbaiki jaringan Wifi-nya.
Jayden dan Bruzetta melempar pandangan satu sama lain. Keduanya melempar senyum penuh makna.
“Sebentar lagi teknisi akan datang untuk memperbaikinya," jawab Kai berusaha tenang, tidak terpancing.
“Kalau teknisinya lama, sama saja kami tidak bisa mengerjakan tugas kami, pasti sudah habis waktu. Sia-sia saja. Kami ini siswa elite, Pak selalu mengunci gelar 3 besar. Dan kami tidak pernah terlambat mengumpulkan tugas. Jika, kami terlambat sekali saja, itu akan mempermalukan kami. Bisa jatuh harga diri kami," sahut Bruzetta.
“Sebenarnya jika terlambat dalam mengumpulkan tugas kali ini tidak masalah, sih. Hanya saja jika kami mendapat nilai buruk Bapak harus tanggung jawab," Jayden ikut menimpali kali ini.
Hati dan kepala Kai mulai memanas, merasa jengkel dengan ketiga murid yang bisa dibilang sangat kurang ajar itu. Apalagi gadis yang mirip dengan Pinguin tersebut seperti tidak minat menatapnya, ia justru fokus bermain permainan di laptopnya. Memainkan Plant vs Zombie.
Hati Kai semakin dongkol, ingin rasanya ia menarik gadis itu dan memerangkap dalam pelukannya supaya gadis itu mau menatap dirinya. Akan tetapi, ia harus lebih bersabar untuk mendapatkan hati gadis itu. Jika terlalu terburu-buru dan memaksa justru gadis itu akan menjauh. Masalah kemarin saja, dia yakin telah memupuk kebencian di hati gadis itu, apalagi jika dipaksa menerima perasaannya.
Larut dalam pemikirannya, Kai bahkan tak menyadari jika teknisi sudah datang, membuat Bruzetta menyadarkan pria itu. Saat Kai tersadar ternyata sudah ada teknisi yang memandangnya dengan heran.
Sial! Malu sekali rasanya terpergok bertingkah konyol oleh seseorang. Dengan segera saja ia pergi dari sana diikuti oleh teknisi.
“Lihat, kau berani sekali terhadap guru itu," Bruzetta cekikikan. Oh, ia sangat menikmati bagaimana raut wajah guru yang terkenal berwajah datar itu kala diserang rasa malu.
Soya sibuk mengunyah keripik kentang yang ia beli di kantin sebelum mengarah ke gazebo ini, “Bukankah kalian ini sama saja?"
“Akan tetapi, kali ini aku serius, dia sangat tampan," ucap Bruzetta lagi, “mata yang tajam serupa elang, bibir tebal yang seksi, rahang tegas, kulit yang eksotis. Dan jangan lupakan tubuhnya yang atletis dibalik kemeja yang ia kenakan itu. Kekurangan fisiknya hanya pada hidungnya yang tak terlalu menonjol."
Soya hanya menggelengkan kepalanya, Bruzetta dengan segala fantasi prianya memang sesuatu.
“Jika kau berminat, kau bisa menjadi pendaftar pertama, siapa tahu kau beruntung menggaet hati Cu Pat Kai itu. Kudengar dia sangat kaya. Lumayan bisa kau kuras isi dompetnya," Soya memberi usul.
“Kau bercanda, bukan? Mana mungkin Pak Kai mau menerima gadis berisik seperti dia, yang ada Pak Kai malah langganan ke klinik THT. Dia ini sama sekali bukan tipe Pak Kai," Jayden menimpali dengan sedikit ejekan di sana.
Bruzetta berdecak saat Jayden terkesan meledeknya, temannya ini kadang memang kelewat sok tahu, “Memang kau mengetahui kriteria wanita idaman Guru Baru itu?"
“Yang pasti bukan perempuan berisik sepertimu, Bee. Lebih tepatnya, mungkin seperti Pinguin Kecil kita," Jayden menjawab dengan yakin.
“Bicaramu tidak berdasar, Jay. Bagaimana kau bisa berasumsi bahwa ia menyukaiku?" Soya balik bertanya. Entahlah, akal sehatnya belum bisa menerima jika Kai sepertinya memiliki ketertarikan pada dirinya.
Lagipula, Soya masih enggan menjalin hubungan lagi dengan seorang pria, bukan berarti dia belum move on dari sosok Richard. Hanya saja, ia tak ingin ada Richard ke-2 dalam hidupnya.
Jayden balas menatap Soya, tak lupa seringai yang paling Soya benci ikut tersemat di wajahnya yang bisa dikatakan cukup tampan itu, “Hei, kami para laki-laki pasti memahami gerak-gerik setiap pria lain jika sedang berada di hadapan gadis, atau wanita incarannya. Mungkin mulut bisa saja berbohong, tetapi tidak dengan hati dan bahasa tubuh."
“Ya ... ya ... ya, dasar vampir sialan!"
“Tolong ya, Nona. Harap berkacalah terlebih dahulu. Kau juga putih pucat seperti vampir omong-omong," Jayden membalas sinis.
“Terserah, aku tak peduli. Lagipula usia kami sangat jauh, kau tidak berharap sahabatmu ini akan mendapatkan jodoh seorang kakek-kakek, kan?" Soya menatap Jayden yang terlihat mengerutkan dahinya.
“Kupikir matamu itu sehat. Apa dia terlihat seperti seorang kakek-kakek? Oh, ayolah. Jangan hanya karena kau sedang membencinya, kau menganggap ia sangat tua seperti kakekmu," Jayden frustasi, mengapa sahabatnya ini keras kepala sekali?
“Berhentilah menjadi mak comblang dadakan. Kau tak mendengarnya kemarin, bahwa ia sudah memiliki calon istri? Kaupikir aku ini apa?!" Soya menggertak.
Bruzetta yang sedari tadi menyaksikan perdebatan mereka mulai angkat suara, “Bodoh! Kau tidak lihat saat mengatakan dia memiliki calon istri, pandangannya mengarah padamu?"
“Nah, itu berarti secara tidak langsung, dia menganggapmu sebagai calon istri!" Jayden menimpali, “lagipula kau bilang ingin memiliki suami seperti Kim Jong In EXO. Bukankah perawakan guru itu seperti Kim Jong In-mu?"
“Pikirkanlah lagi, dari gosip yang kudengar, beliau ini agak lain. Dia tidak pernah berpacaran sama sekali. Banyak sekali wanita yang bertekuk lutut di hadapannya, tetapi dia menolak mereka semua!" bisik Bruzetta pada kedua sahabatnya.
“Apa, serius. Jangan-jangan dia ...?" Jayden mulai menerka-nerka, “wah! Jika berita itu benar, rasa-rasanya aku harus waspada mulai sekarang."
“Itu benar. Hei, kau harus hati-hati dengannya, atau mungkin kau bisa menjadi target berikutnya, ha-ha-ha ...," Soya dan Bruzetta tergelak melihat wajah pria yang memiliki kulit seputih susu itu.
“Sudah puas tertawanya?" suara berat lain menghentikan tawa kedua gadis itu. Rasa-rasanya terdengar begitu menyeramkan membuat mereka menoleh dengan gerakan patah-patah. Dan sejurus mata memandang tampaklah Kai yang berdiri dengan seringai mengerikan dengan jarak yang tak jauh dari gazebo tempat mereka mengerjakan tugas.
Kaki jenjang nan seksi miliknya melangkah dengan tegas semakin lama ia mengeliminasi setiap jarak yang ia lalui sampai di depan gazebo.
“Sial tatapan matanya menyeramkan sekali seperti hendak memakanku!" batin Soya bergidik.
“Mama, bagaimana jika dia membunuhku? Aku belum melakukan pengakuan dosa," Bruzetta seperti ingin menangis melihat tatapan tajam Kai yang tak berperikemanusiaan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit lembayung telah tergelar apik di atas sana, menandakan senja telah tiba. Sekawanan burung tampak terbang dengan riang gembira untuk pulang ke habitatnya. Begitu pula dengan Soya yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah lantaran ia menunggu sang kakak beserta tunangannya yang berjanji untuk menjemput sekaligus mengajaknya jalan-jalan.
“Apa mereka masih lama, tak mengertikah mereka jika aku sudah lelah dan bau keringat?" gerutu Soya, “apa ini hanya sekedar bualan?"
Sebuah mobil Rolls-Royce berwarna hitam keluar dari gerbang sekolah dan berhenti di depan Soya.
“Belum pulang?" tanya sang pemilik mobil saat menurunkan kaca mobilnya.
“Sudah, Pak. Bahkan saya sudah tertidur nyenyak di ranjang empuk milik saya," Soya menjawab dengan sedikit sarkastik.
Kau mengulum senyum manis, tak lama pria itu keluar dari mobilnya dan menyeret gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya, membuat gadis bermata bulat itu terpekik.
“Pak ini namanya penculikan, Anda mau bawa saya ke mana, Pak?!"
“Diam dan ikut saja, aku jamin aku tidak akan berbuat macam-macam padamu, kau hanya perlu menemaniku makan. Aku belum makan malam, kita akan cari restoran di dekat sini. Aku yakin kau juga sudah kelaparan, pasti," Kai berkata sembari fokus pada jalanan di depannya. Mobil itu terus membelah jalanan kota, keadaan jalanan memang ramai beberapa kendaraan terlihat memadati jalan.
Terjadi keheningan di sepanjang perjalanan mereka, Soya sendiri tak berminat memulai percakapan dengan Kai, pun dengan Kai yang justru tidak mempermasalahkan hal tersebut ia juga memilih fokus terhadap jalanan.
Sebelah tangan Kai menyalakan pemutar musik yang tersambung dengan ponselnya, “Penyanyi mana yang kau sukai?"
“Untuk apa Anda bertanya?" Soya menjawab balik dengan sebuah pertanyaan. Matanya masih fokus melihat gemerlap lampu kota.
“Hanya iseng," jawab Kai sekenanya, tangannya meraih ponsel dan tak lama kemudian, lagu milik grup EXO mengalun merdu, membunuh keheningan dalam mobil.
Dapat dilihatnya wajah Soya tampak sedikit rileks setelah mendengar lagu EXO terdengar dan menyapa indera pendengarannya. Senyum simpul terbit di wajah datar milik Kai.
“Aku tahu kau menyukainya," ujar Kai berusaha memulai percakapan.
“Seperti seorang paranormal, atau lebih tepatnya kau seperti seorang penguntit. Sepertinya kau tahu banyak tentangku, seperti boneka pinguin itu," jawab Soya sambil memandang Kai. “Kenapa kau melakukannya?"
Kai ganti menatap Soya, “Melakukan apa?"
“Mencari tahu tentangku?"
Terjadi keheningan beberapa saat sebelum akhirnya Kai menjawab, “Bagaimana jika kukatakan karena cinta pada pandangan pertama, apa kau percaya?"
“Jika itu keluar dari mulut seorang Casanova sepertimu, tentu saja aku tidak mempercayainya," jawab Soya tanpa tedeng aling-aling.
Kai memberhentikan mobilnya di pinggir jalan tepatnya di sebuah kedai jajanan pinggir jalan, tidak di restoran mewah, hal itu membuat Soya sedikit terkejut. Ia pikir Kai tak akan mau makan di tempat seperti ini.
“Ayo turun!" Kai membukakan pintu kursi penumpang dan Soya bergegas turun. Setelahnya Kai menggandeng tangan Soya masuk ke kedai seafood pinggir jalan. Banyak para pengunjung yang mencuri pandang ke arah mereka, bagaimana tidak? Mereka melihat seorang pengusaha sukses makan di kedai pinggir jalan bersama dengan seorang gadis, ditambah dengan penampilan Kai yang terlihat sangat mencolok.
Akan tetapi, apakah Kai peduli dengan semua desas-desus orang-orang yang membicarakannya? Jawabannya tentu saja tidak. Tak lama seorang pelayan mendatangi mereka bermaksud mencatat pesanan.
“Pesanlah kau ingin menu apa?"
“Aku ingin tumis kerang dan nasi goreng cumi, minumnya es teh," pesan Soya.
“Aku cumi asam manis dan udang goreng mentega, minumnya samakan saja dengan gadis ini," pesan Kai.
Sembari menunggu pesanan Soya mencoba membuka percakapan, “Aku pikir Paman tidak suka makan di tempat seperti ini."
“Kaupikir aku orang yang seperti itu? Aku juga sering makan di tempat seperti ini. Bagiku di mana pun tempatnya tidak masalah, asalkan enak dan bersih. Oh, aku sangat berterima kasih untuk makan siang hari ini. Burgernya benar-benar enak dan cokelatnya juga," ujar Kai, “jadi, kau benar-benar menganggapku siluman babi, ya?"
“Kalau iya, kenapa?" Bukannya takut Soya justru menantang. Kai hanya tersenyum. Namun, sedetik kemudian jitakan yang terasa menyakitkan mendarat di kepala gadis itu.
“Auch! Kasar sekali, kalau ubun-ubun saya lembek bagaimana?" Soya mengaduh sambil mengusap bagian kepalanya yang sakit.
“Ganti dengan ubun-ubun sapi," jawab Kai cuek.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Kai dan Soya menikmati makanan masing-masing.
“Wah, nikmat sekali! Aku tak menyangka Paman menemukan kedai makan seenak ini," ucap Soya setelah menelan nasi gorengnya.
Kai melirik sebentar, tangannya terjulur ke depan wajah Soya dan membersihkan sebutir nasi yang tertinggal di sudut bibir Soya. Perlakuan Kai yang tiba-tiba itu sontak menjadi sorotan para pengunjung, sedang Soya sendiri? Gadis itu membeku karena perlakuan Kai yang terkesan tiba-tiba.
“Seperti anak kecil saja," ujar Kai dengan senyum tipisnya.
Soya sendiri menjadi senewen dan berusaha mengatur detak jantung yang menggila seakan-akan jantungnya akan meledak saat itu juga.
“Cepat habiskan, setelah itu kita pulang!" ujar Kai dengan nada yang tak dapat dibantah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari terus saja berjalan, Jumat berganti Sabtu, dan Sabtu berganti Minggu. Pagi ini, Kai tengah bersiap untuk beribadah, bersama kedua orang tuanya setelah beberapa lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ibadah itu. Entah mendapat pencerahan dari mana, pria itu tiba-tiba saja mengingat Tuhannya.
Begitu menapakkan kaki ke dalam gereja. Tampak sekali beberapa orang terlihat sudah memenuhi tempat duduk dalam gereja itu, beruntung bagi Kai dan kedua orang tuanya menemukan tempat duduk yang tersisa.
Suasana tenang ia dapatkan begitu mendudukkan dirinya di kursi dan mulai berdoa. Entahlah mungkin karena sudah lama tak pernah beribadah saat hari minggu tiba.
Hingga tepat jam 8 pagi misa kudus dimulai, Kai mengikuti dengan khusuk. Sampai pada akhirnya ia merasa tercengang saat Soya menyayikan lantunan ayat mazmur di depan.
Suaranya yang merdu dan mampu menggetarkan hati membuat Kai terlarut. Ia tak menyangka suara gadisnya semerdu ini, bak suara merdu seorang malaikat yang turun dari surga yang membuat hati terasa damai.
Tak hanya Kai, para jemaat di sana juga terpukau dengan suara merdu Soya. Termasuk kedua orang tua Kai yang semakin dibuat kagum dengan kelebihan gadis itu.
“Tuhan jika memang dialah jodohku, aku mohon dekatkanlah kami," batin Kai, matanya masih terfokus pada Soya, hingga sampai akhir misa.
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.