NovelToon NovelToon
Sebuah Pilihan

Sebuah Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua / Enemy to Lovers
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: keisar

Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.

Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi

Suara bola basket yang memantul di permukaan lapangan mengisi udara malam yang dingin, memecah keheningan di tengah lingkungan sepi. Kian dan Tara, dua pria yang saling mengenal lebih dari separuh hidup mereka, kini berdiri saling berhadapan, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka dari permainan yang sedang berlangsung.

Tara menatap Kian dengan sorot mata tajam, senyumnya tipis namun penuh makna. “Gila juga lu, Ian. Gua makin ngerti kenapa lu dulu sempat diajak timnas,” ujarnya sambil mengatur napas yang mulai tak beraturan. Udara dingin Jepang terasa menusuk kulit, tapi keringat yang mengalir di pelipis Tara mengindikasikan bahwa suhu dingin tak lagi berpengaruh. Adrenalin mereka mendominasi segalanya.

Kian hanya tersenyum tipis tanpa menjawab, fokus sepenuhnya tertuju pada bola di tangan Tara. Dalam sekejap, Kian menerjang maju, tangannya cepat memukul bola dengan satu gerakan yang tepat, membuat bola itu terpantul menjauh dari Tara.

"Shit!" gerutu Tara, segera berlari mengejar bola.

Tapi Kian lebih cepat. Ia melesat ke arah bola yang sudah terpantul jauh, langkah kakinya ringan meski tubuhnya terbalut jaket tebal. Dengan satu gerakan mulus, Kian menangkap bola itu dan mulai mendribble menuju ring. Tara mengejar dengan sekuat tenaga, tapi setiap langkah terasa lebih berat seiring suara pantulan bola yang semakin mendekati ring.

Loncatan cepat Kian membuat bola terlempar dengan sempurna, melayang di udara sebelum akhirnya masuk tepat ke dalam ring. Suara bola menembus jaring terdengar jelas, seolah menjadi penanda bahwa poin kali ini adalah milik Kian.

“Gua menang Tar,” ucap Kian, sesekali melirik Tara yang tampak mulai kelelahan. Namun, tatapan penuh determinasi Tara menunjukkan bahwa permainan ini masih jauh dari selesai.

Kian tersenyum lebar, menikmati momen kemenangan kecilnya. "Ayo Tar, lakuin hukumannya," ucapnya dengan nada penuh canda, meskipun sorot matanya menunjukkan kemenangan yang tak terbantahkan.

Tara mendengus kesal. "Tai," umpatnya sambil mulai membuka jaket tebal ala orang Eskimo yang membungkus tubuhnya. Begitu jaket itu terlepas, udara dingin langsung menusuk, membekukan kulitnya walau ia masih mengenakan sweater tebal di bawahnya.

Kian, yang tidak sampai hati melihat sahabatnya menderita terlalu lama, mendadak berpikir. "Eh, gua ubah deh Tar. Gua juga kena. Gimana kalau lu cuma kaosan 12 detik, dan gua juga kaosan 7 detik? Setuju? Daripada lu buka baju di sini, bisa mati kedinginan lu," tawarnya sambil tersenyum lebar.

Tara melirik Kian sebentar, lalu mengangguk setuju. "Deal," ucapnya singkat, terlihat sedikit lega dengan kompromi tersebut.

Kian mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi timer, siap memulai. "Oke, siap ya?"

Tara membuka sweaternya, hanya menyisakan kaos hitam yang meski tebal, tetap tak cukup untuk menahan dinginnya malam. Begitu sweaternya terlepas, udara beku langsung menyerbu, membuat tubuhnya menggigil seketika.

“Kontol, dingin banget,” umpat Tara sambil menggosok-gosok kedua lengannya, bergerak-gerak kecil agar tubuhnya tetap hangat.

Kian tertawa kecil, melihat sahabatnya menderita. Namun, 12 detik terasa begitu cepat. "Dah!" Kian segera mematikan timer dengan sentuhan cepat.

Tara, tak membuang waktu, langsung mengenakan kembali sweater dan jaketnya dengan ekspresi kesal. "Sekarang giliran lu, dasar gila," gerutunya, rasa kekesalan dan dingin yang menusuk membuat wajahnya sedikit memerah.

Kian hanya tertawa santai, "Oke, oke, santai dong," katanya sambil menyerahkan ponselnya kepada Tara. Wajahnya masih penuh tawa, meski kali ini giliran dirinya yang harus menghadapi dinginnya malam.

Kian menghela napas, lalu dengan sedikit ragu mulai membuka jaket tebalnya. Di baliknya, terlihat hoodie yang lumayan tebal, tapi tanpa pikir panjang, ia segera membuka hoodie itu juga, menyisakan kaos tipis yang jelas tak cukup untuk melawan dinginnya malam.

Tara, yang masih merasa kesal karena kalah, segera memulai timer di ponsel. "Ayo, mulai!"

Begitu udara dingin menyergap tubuhnya, Kian langsung mengumpat, “Fuck!” Seruan itu keluar tanpa bisa ditahan, sementara ia mulai berjalan di tempat, mencoba memanaskan tubuhnya yang kini langsung diserang angin dingin yang menusuk tulang. Napasnya terlihat membentuk uap tipis di udara, menandakan betapa rendahnya suhu di sekitar mereka.

"Kedinginan, kan?" Tara terkekeh puas, senang melihat sahabatnya akhirnya merasakan penderitaan yang sama. "Tahan dulu, tinggal beberapa detik lagi," ucapnya dengan nada mengejek, meskipun sebenarnya ia sendiri tadi hampir menyerah saat berada dalam situasi yang sama.

Kian terus bergerak, giginya mulai bergemeletuk. "Sialan, ini lebih parah dari yang gue kira," gumamnya, namun Tara tak mendengar dengan jelas karena angin yang berhembus.

Saat timer akhirnya berbunyi, Tara segera menghentikannya. "Dah! Udah cukup!" serunya.

Kian tanpa berpikir dua kali segera menarik hoodie-nya, memakainya kembali dengan tergesa. "Gila, ini bener-bener nggak manusiawi," ujarnya sambil menggosok lengannya, mencoba mengembalikan rasa hangat pada tubuhnya.

Tara tertawa terbahak-bahak. "Makanya, jangan ngide anjing!"

Kian hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, meskipun rasa dingin masih menusuk-nusuk tubuhnya. "Iya deh, nggak lagi gua jadi orang gila,”

"Ayo balik," ajak Tara, sambil melirik ke arah Kian yang berdiri di sampingnya. Kian mengangguk, dan mereka pun berjalan menuju rumah Tara dalam keheningan yang nyaman.

Begitu sampai, mereka langsung menuju ruang makan, di mana makanan sudah siap tersaji. Suasana makan bersama begitu hangat, dipenuhi canda tawa ringan yang membuat kelelahan mereka seakan menghilang.

Setelah selesai makan, Kian memutuskan untuk membersihkan tubuhnya. Ia berjalan ke kamar mandi, merasakan air hangat yang menenangkan menyentuh kulitnya. Beberapa menit kemudian, Kian keluar dengan hanya handuk melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah. Matanya tertuju pada sosok Keira yang tertidur pulas di atas kasur, napasnya teratur dan damai.

Ia menghampiri kopernya, berniat mengambil pakaian. Namun, ketika ia membukanya, semua pakaian sudah hilang dari tempatnya. "Udah dimasukin ke lemari mungkin," pikirnya sambil berjalan menuju lemari. Benar saja, pakaiannya sudah tertata rapi di sana. Kian tersenyum tipis. "Wajar dia tidur, pasti kecapekan," gumamnya pelan.

Ia mengambil baju kaus dan celana pendek, lalu berdiri sejenak menatap Keira yang terlelap, tubuh mungilnya berbalut selimut tipis. "Pake di sini aja lah, udah muhrim ini," gumam Kian, yakin bahwa situasi ini tak akan jadi masalah. Ia mulai mengenakan celana ketika suara lirih terdengar dari arah kasur.

"Papa... mama... jangan tinggalin Keira sendirian... Keira takut sendirian..." Keira meracau dalam tidurnya, suaranya lemah dan penuh kecemasan.

Kian menghampirinya, duduk di tepi kasur sambil menggenggam erat tangan Keira yang terasa dingin. "Ra, kenapa?" bisiknya lembut, berharap kehadirannya bisa menenangkan hati istrinya.

Tiba-tiba, Keira terperanjat bangun dari tidurnya. "Pa! Ma! Jangan tinggalin Keira!" serunya, matanya yang basah terbuka lebar, dipenuhi ketakutan dari mimpi buruk yang baru saja dialaminya.

Begitu tersadar akan keberadaan Kian di sampingnya, tanpa pikir panjang Keira langsung memeluk suaminya erat-erat. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya mengalir deras, membasahi pipi dan pundak Kian. Tangisannya pecah dalam keheningan malam, membuat Kian merasa berat di dadanya.

"Kenapa, sayang?" tanya Kian, suaranya terdengar serak, tetapi penuh perhatian dan kasih sayang. Ia mengusap lembut punggung Keira, mencoba menenangkan gadis yang ia cintai.

Keira mengisak di dadanya, suara tangisannya terdengar putus-putus. "Aku... aku kangen papa mama..." ucapnya di sela isak tangis yang semakin kuat, menggenggam Kian seolah-olah takut kehilangan sosok di depannya.

Kian menghela napas panjang, lalu mempererat pelukannya. "Aku di sini, Ra. Kamu nggak sendirian," bisiknya lembut di telinga Keira, memberikan kehangatan yang ia harap bisa sedikit meredakan luka dan kesedihan di hati istrinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!