Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Maya membuka matanya saat menyadari Bu Ranti dan suaminya sudah keluar dari rumahnya.
Maya mengerjapkan matanya yang semula nyalang menatap langit kamar.
"Aku tidak seharusnya mengeluarkan desahan," ia merutuki dirinya sendiri. Cumbuan Gerry membuat ia kehilangan akal sehatnya.
"Gerry sialan!"
Maya mengepalkan kedua tangannya.
Tapi apa salah Gerry? Bukankah mereka saat itu memang sedang bercinta di sana?
"Aku yang dari dulu minta cerai. Aku yang nggak tahan dengannya. Tapi kok Aku sedih banget saat Dia menalakku?" airmatanya kembali mengalir. Batinnya bergejolak, antara sedih, bingung, marah dan kecewa.
"Tatapannya itu membuatku sakit!" tatapan Dirga yang begitu dingin dan merendahkannya. Dan ekspresi mual saat ia mengatakan jijik padanya.
"Aku memang kotor. Aku memuaskan nafsuku pada laki - laki lain karena Dia begitu terlihat menyebalkan setelah Kami jatuh miskin." Maya terus bermonolog ria.
Wajah Dirga dan Gerry berkelebat di kepalanya. Datang dan pergi silih berganti.
"Apa Aku mencintai Gerry?"
Maya mulai bingung dengan perasaan hatinya.
Gerry memang menggoda. Dia bagai prince charming yang selalu hadir dalam mimpi dan angan - angannya. Tapi kenyataannya,
"Aku mencintai Dirga. Setidaknya, Aku pernah sangat mencintainya." airmata kembali mengalir turun melewati pipinya yang bening.
Perasaan menyesal datang dan pergi. Harga dirinya terluka karena seolah Dirga yang telah mencampakkannya. Ego dan kesombongannya tidak mau menerima itu.
"Aku yang minta cerai, bukan Dia yang menceraikan Aku!" geramnya saat kesombongan mengalahkan intuisinya.
Maya meraih ponselnya. Sesaat ia kebingungan, siapa yang akan ia hubungi. Dirga, atau Gerry. Akhirnya ia menghubungi Dirga.
Berdering..
Tidak diangkat. Kembali Maya menekan tombol memanggil.
Berdering..
Saat tak juga diangkat, Maya dengan tak sabar segera mengetikkan pesan.
'Dirga. Aku cuma ingin ketemu anak - anak.'
Tidak ada centang biru setelah beberapa saat Maya menunggu.
"Sialan! Dirga sialan!" rutuk Maya sambil melempar ponselnya ke atas ranjang.
Maya duduk dengan menjambak rambutnya ke belakang. Dia nyaris putus asa.
Dia lalu bangun lagi dan mulai berjalan mondar - mandir.
"Aku akan menemui mereka di sekolah!" teriaknya tiba - tiba.
Maya tersenyum sinis. Kesombongannya sudah kembali.
"Kamu mau sembunyi di ketiak orangtuamu, hm?"
Dirga melihat nama yang tertera saat ponselnya berdering.
'Kesayanganku'. Itu yang tertulis. Ia langsung merasa muak. Dibaliknya ponsel sampai berhenti berdering.
"Aku harus ganti nama kontaknya." geram Dirga. Ia meraih ponselnya, tapi ponsel itu kembali berdering.
"Mau apa sih, itu orang?"
Rania memperhatikan ekspressi wajah Papanya.
"Siapa, Pa? Kok nggak diangkat? Dari siapa?"
"Dari salah sambung." jawab Dirga cepat. Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
Dirga menyadari jawabannya membuat Rania bingung.
"Eh - itu.. dari nomor nggak dikenal, Sayang."
Rania mengangguk.
"Nia kapan pulangnya, Pa?"
Dirga menatap putrinya ini.
"Memang Nia ingin pulang?" Rania mengangguk.
"Nia kangen sama kamar Nia." Dirga merasa miris. Apa anak ini sama sekali tidak merasa kangen pada Mamanya?
"Kangen sama kamar atau.. Kangen sama Mama?" pancing Dirga. Ia tidak ingin egois.
Rania terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya.
"Kangen sama Mama juga, sih.."
"Kapan Rania ingin pulang?" kini Dirga yang bertanya.
"Tapi Papa janji, ya. Jangan berantem lagi sama Mama."
*************
Dirga menghela nafas. Ia tidak dapat menjanjikan itu.
"Nia, bagaimana kalau Papa benar - benar bercerai sama Mama?" tanya Dirga hati - hati.
Jawaban Rania sungguh di luar dugaan,
"Daripada berantem terus? Mendingan cerai aja, Pa!"
"Nia," Dirga meraih Rania dalam pelukannya.
"Maafin Papa, ya?" hati Dirga kembali hancur saat ia melepas Rania dari pelukannya.
Pipi Rania basah dengan airmata. Ia menangis tanpa suara.
Dirga kembali meraih Rania. Membenamkan kepala kecilnya di dadanya.
'Ampuni Aku, Ya Allah. Aku sudah menyakiti perasaan gadis kecilku.'
Rania merasakan detak jantung sang papa yang begitu cepat. Ia berusaha melepaskan pelukannya.
"Nia nggak papa, Pa. Nia cuma sedih karena dugaan Nia akhirnya terjadi." Nia menduga orangtuanya akan bercerai sejak sang Mama bertanya padanya dan juga Raka kalau mereka ingin mengikuti siapa saat mereka bercerai nanti.
Rania, yang sudah naik ke kelas 6, menangis kencang pada saat itu. Setelahnya ia mulai mempersiapkan hatinya kalau itu benar - benar terjadi.
"Papa kenapa nangis?" suara Raka mengejutkan mereka.
"Papa dimarahin Mama lagi, ya?" tanyanya polos.
Rasanya Dirga ingin menangis sekaligus tertawa. Bahkan Raka sering melihat Maya berteriak padanya.
Dirga tidak menjawab. Ia hanya menarik Raka agar masuk dalam pelukannya dan menghujaninya dengan ciuman di kepalanya.
Raka diam, bahkan saat Rania juga memeluknya.
"Raka masih mau main? Masih belum jam 9."
"Papa nggak pergi lagi, kan?" Dirga menggeleng.
"Papa udah pulang kerja, kok. Papa mau kemana lagi?"
"Tadi Papa udah di rumah. Terus Papa pergi lagi. Nanti Papa.."
"Papa nggak pergi lagi." Dirga menggeleng. Senyumannya membuat Raka merasa lega.
"Ya udah. Raka main lagi. Tapi janji, Papa beneran nggak pergi lagi."
"Raka juga harus janji. Mainnya cuma sampai jam 9. Habis itu, tidur."
Raka mengangguk sebelum berlari keluar.
Dirga menatap Rania yang hanya diam termangu.
"Nia nggak ikut main?"
"Nia mau belajar. Ada PR. Papa temenin Nia, ya?"
"Tentu aja, Sayang." Dirga merangkul bahu Rania untuk masuk ke dalam kamarnya.
Juwita menyusut ujung matanya dengan telunjuknya. Dari tadi ia mendengarkan percakapan ayah dan anak itu dari balik tirai kamarnya.
"Kasihan anak - anak itu." gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa?" Dedi mendongak. Ia sedang membuat pola bridesmaid yang harus diselesaikannya dalam 3 hari ke depan.
"Raka dan Rania. Mereka harus menghadapi perceraian orangtuanya."
"Malah bagus, kan?"
"Bagus, gimana?" Juwita mengerucutkan bibirnya.
"Nggak ada yang bagus untuk sebuah kegagalan rumahtangga."
"Tapi Dirga lebih baik bercerai. Pernikahan mereka itu udah nggak sehat, Bu!"
Juwita menghela nafasnya dengan berat.
"Apa Bapak yakin?" Dedi mengerutkan dahinya.
"Yakin gimana, maksud Ibu?"
"Yakin, kalau Dirga dan maya lebih baik bercerai? Kalau nggak, Kita bantu mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka."
"Yakinlah, Bu." Dedi membuat garis dengan kapur jahitnya.
"Apa yang mau diperbaiki? Maya itu sudah salah jalan!"
"Kita bisa menasehatinya, Pak!" Juwita bersikeras dengan pendapatnya.
Dedi meletakkan kapur jahit di atas bahan, lalu melipat bahan itu.
"Dari awal Dia jadi rentenir, Kita kan sudah menegurnya, Bu. Tapi Dia jawab apa?"
Juwita mengeluh dalam hati. Sama saat ia mengeluh pada waktu itu,
"Saya lagi berjuang untuk keluarga Saya karena Mas Dirga tidak mampu lagi memberi Kami makan!" begitu jawaban Maya.
"Kamu bisa cari pekerjaan lain, May."
"Kerja apa? Saya cuma lulusan SMA, Bu. Mas Dirga aja yang sarjana S2 aja sekarang jadi pengangguran!"
Sakit, sakit hati Juwita mendengarnya.
*************************