Hanya karena logam mulia dan wasiat yang di punya oleh kakek masing-masing membuat Nathan dan Tiffani berakhir di jodohkan. Tiffani tak menyangka bahwa dia harus menikah dengan laki-laki terpandang yang terkenal dari keluarga sendok emas. Sedangkan Nathan hanya bisa pasrah dengan masa depannya setelah dia mendapatkan garis keturunan sebagai calon penerus perusahaan Kakeknya, salah satunya dengan menikahi gadis yang tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan perjodohan ini membuat Nathan harus menyerah untuk menikahi sang pujaan hatinya yaitu Elea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Baru
Setelah acara resepsi pernikahan usai, acara tidak berhenti disitu saja melainkan masih ada acara makan malam bersama di kediaman keluarga Yudistira. Setiba di rumah, pelayan langsung menyuruh Tiffani menuju kamar tamu yang berada di lantai bawah untuk berganti dengan gaun yang telah disiapkan.
Setelah beberapa menit kini Tiffani telah berganti dengan gaun sederhana dan tengah terduduk di kasur berukuran king size tepatnya berada di kamar tamu. Lagi-lagi dia kembali meratapi nasibnya yang dia pikir ini adalah nasib buruk, dia tersadar menikah dengan keluarga kaya bagi dirinya tidak sepenuhnya menjadi sebuah berkat.
Tiffani memandang ke arah kamar tamu setiap sudut ruangan terkesan mewah. Kasur yang kini dia duduki pun sangat jauh dari kasur yang berada di rumahnya. Apa dia termasuk perempuan yang beruntung? Atau Tuhan sedang mengutuknya dengan memberikan pernikahan bersama seorang laki-laki yang tidak dia cintai sama sekali.
Ketukan pintu dari luar berhasil membuyarkan lamunannya yang tengah bermonolog adu nasib. Satu pelayan perempuan datang dengan membawa satu koper berwarna pink kepemilikannya.
“Koper anda saya taruh disini.” Ucapnya lantas menaruh koper di dekat lemari. “Para keluarga sudah menunggu di luar.” Lanjutnya kembali.
“Baik sebentar lagi saya akan keluar.” Tukas Tiffani.
Pelayan mengangguk begitu mendengar penjelasan nyonya barunya. Setelah kepergian pelayan, Tiffani bangkit berdiri lantas merapikan sedikit gaunnya sambil melihat pantulan dirinya di depan cermin.
“Sungguh aku merasa bereinkarnasi menjadi Tiffani yang baru dengan menikahi laki-laki yang tak pernah aku cintai dan menjadi menantu keluarga kaya.” Tiffani menghela napas dalam sampai akhirnya dia melangkahkan kakinya menuju keluar kamar.
Di meja makan semua keluarga telah berkumpul, mereka saling mengobrol dan tertawa. Melihat kedua orang tuanya yang dapat berbincang dan tertawa dengan lepas bersama keluarga dari Nathan membuat Tiffani sedikit bersyukur setidaknya dia tidak salah memilih keluarga baru.
“Tiffani, sini kemari cepat duduk.” Ucap Nenek begitu melihat kehadiran Tiffani yang malah mematung.
Kehadiran Tiffani berhasil mengundang atensi orang-orang yang berada di meja makan. Salah satunya Rey dia seolah terhipnotis dengan kecantikan Tiffani semenjak awal melihat gadis tersebut.
Tiffani tersenyum. “Baik Nek.” Dia lantas menuju kursi kosong yang berada di dekat mertuanya.
Dia menatap kursi depan yang masih kosong, ya Nathan masih juga belum turun ke bawah. Tadi saat kembali ke rumah dia melihat Nathan yang langsung naik ke atas menuju ke arah kamarnya. Tatapan Tiffani menuju ke arah hidangan mewah yang berada di meja sekaligus dekorasi bunga tulip dan juga susunan lilin seolah membuktikan bagaimana ekonomi keluarga ini.
“Mila, Nathan kenapa belum turun?” tanya Nenek ke arah menantu perempuannya yaitu Bu Mila.
“Biar saya panggil Bu.” Bu Mila langsung sigap berdiri untuk memanggil anak laki-lakinya yang masih enggan untuk turun.
Netra Tiffani memandang ibu mertuanya yang bangkit berdiri dan langsung menuruti perintah Nenek. Namun belum sampai Bu Mila menuju ke kamar anaknya, Nathan sudah kelihatan batang hidungnya tengah menuruni anak tangga.
“Nathan buruan, cepat duduk.” Pinta Bu Mila.
Nathan yang sudah berganti dengan setelan kemeja santai, lantas langsung mengambil posisi dengan duduk di depan Tiffani. Kehadiran Nathan membuat Tiffani seolah ingin menatap ke arah wajah laki-laki itu untuk melihat mood dari suaminya melalui ekspresi wajahnya.
Nyatanya Nathan masih sama, dia sama sekali enggan memperlihatkan lesung pipinya. Dia tampak tidak senang untuk mengikuti acara makan malam. Acara makan malam pun berlangsung, dengan obrolan ringan.
***
“Saya dan Rey pamit pulang dulu Bu.” Santi—menantu pertamanya bangkit berdiri disusul dengan anak laki-lakinya Reymond menuju ke arah Nenek.
“Kenapa kalian tidak menginap disini saja.”
“Tidak Bu, tenang saja saya sudah menyewa apartemen.”
“Rey kamu sering main-main kesini ya?” Pinta Nenek kepada cucu pertamanya.
“Iya Nek.”
Acara makan malam selesai begitu saja, setelah menikmati pencuci mulut. Selanjutnya keluarga dari Tiffani juga ikut pamit.
“Kami sekeluarga pamit, dan kami menitipkan Tiffani disini serta mohon jika nanti kalau dia ada salah tolong nasehati dengan sabar. Satu lagi, kami memohon maaf dahulu jika nantinya ada tingkah Tiffani yang tidak mengenakkan hati.” Tutur Pak Dion.
Sudah lama sekali Tiffani tidak mendengar Ayahnya mengucapkan kalimat serius seperti ini. Mendengar ucapan yang dilontarkan Ayahnya berhasil mengetuk hatinya karena kata-kata hangat dan rasanya ia ingin menangis sekarang.
“Tenang saja, Tiffani sudah menjadi cucu saya, kami akan memperlakukan dia sama seperti Nathan. Oh iya mobil sudah siap di luar kan?”
“Iya Bu.” Jawab Bu Mila.
Tiffani mengantarkan ibu, ayah, dan adiknya sampai ke luar rumah. Melihat dia yang berpisah dengan keluarganya rasanya Tiffani sangat tidak rela. Dia memandang wajah orang tuanya satu-persatu dan memeluknya air mata yang dari tadi sudah membanjiri pelupuk mata sudah tidak dapat terbendung lagi dan mencelos begitu saja membasahi pipinya.
“Jangan menangis, ibu jadi merasa bersalah.” Bu Sarah menghapus air mata putrinya dan lanjut memeluk erat anak sulungnya.
“Ayah minta maaf karena kamu berakhir seperti ini. Tapi Ayah akan selalu berdoa agar kamu bahagia disini, dan ingat selalu untuk hormati keluarga barumu, jaga sikap dan tutur katamu.” Pak Dion juga ikut memberikan pelukan kepada anaknya.
“Iya Yah.”
Bara, adik laki-lakinya tidak bersedih sama sekali dia malah mendukung kakaknya dengan ekspresi bahagia dan memberikan senyum terbaik pada wajahnya, melepaskan Kakaknya yang kini telah menikah.
“Kak jangan nangis dong, ingat dulu Kakak ingin menikah dengan seorang pangeran dari keluarga kaya dan semuanya terwujud harusnya kakak bahagia.” Bara yang menghibur Kakaknya.
Baik Tiffani, Bu sarah dan Pak Dion sama-sama terkekeh mendengar ucapan Bara. Dia kembali merasa apa Tuhan menjawab doanya yang ini namun dia harus diuji dengan menikah bersama laki-laki yang tidak dia cintai dan begitu sebaliknya.
“Jaga ibu dan ayah ya? Jangan bikin mereka marah, kamu juga jangan main game terus.” Tiffani juga ikut memberikan pelukan hangat untuk sang adik.
“Iya-iya kak.”
Keluarganya pun masuk ke dalam mobil kepemilikan keluarga Yudistira. Tiffani melambaikan tangan ke arah mereka, setelah mobil hilang dari pandangannya, gadis tersebut masuk ke dalam rumah dengan langkah lunglai.
“Tif mau kemana?”
Tiffani yang hendak membuka pintu kamar terhenti akibat pertanyaan Nenek. “Mau masuk ke dalam Nek.”
Nenek tersenyum melihat cucu barunya yang mungkin masih belum terbiasa. “Pelayan sudah membawa koper kamu ke kamar Nathan. Kalian kan sudah menikah sudah seharusnya kalian tidur satu kamar.”
Tiffani membelalak, dia sungguh tidak siap. Nenek langsung menawarkan Tiffani mengantarkan ke kamar Nathan yang berada di lantai atas.
“Tidak perlu terburu-buru, yang terpenting kamu harus bisa adaptasi bahwa kamu kini telah menikah.” Ucap Nenek lantas meninggalkan Tiffani.
Tiffani menggenggam gagang pintu kamar Nathan. Dia ragu, takut, semua perasaan bercampur menjadi satu. Sampai akhirnya dengan keberanian Tiffani masuk ke dalam kamar suaminya.
Netranya langsung menemukan laki-laki yang terduduk di kasur tengah membaca sebuah buku dan telah berganti dengan pakaian tidur. Tidak ingin mata mereka bertemu Tiffani langsung mengabsen sudut kamar Nathan yang bersih dan satu rak yang berisi banyak buku berhasil menarik atensinya. Tidak ingin merasakan canggung, Tiffani masuk ke dalam kamar mandi.
Nathan melirik Tiffani yang keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidurnya. “Kita nggak mungkin tidur satu ranjang, jadi kamu tidur di sofa sana.” Tunjuk Nathan pada sofa berwarna cream.
Setelah mendengar Nathan berkata demikian, Tiffani tak berani mendekat ke arah ranjang dan langsung terduduk di sofa dan merebahkan tubuhnya.
“Kenapa dingin banget sih.” Kelunya dia tertidur tanpa bantal dan selimut dan memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.
Meskipun kedinginan Tiffani tak berani protes ataupun meminta hal lain walaupun itu hanya sebuah bantal. Dia takut jika Nathan murka dan mengusirnya dari kamar lantas ia harus tidur dimana? Alhasil walaupun kedinginan Tiffani berusaha memejamkan matanya dan pergi tidur.