*Juara 1 YAAW 9*
Tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Vira belum juga mampu memberikan keturunan pada sang suami. Awalnya hal ini tampak biasa saja, tetapi kemudian menjadi satu beban yang memaksa Vira untuk pasrah menerima permintaan sang mertua.
"Demi bahagiamu, aku ikhlaskan satu tanganmu di dalam genggamannya. Sekalipun ini sangat menyakitkan untukku. Ini mungkin takdir yang terbaik untuk kita."
Lantas apa sebenarnya yang menjadi permintaan ibu mertua Vira? Sanggupkah Vira menahan semua lukanya?
Ig. reni_nofita79
fb. reni nofita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Melepaskanmu
...Bukanlah Kesabaran Jika masih Mempunyai Batas, Dan Bukanlah Keikhlasan Jika masih Merasakan Sakit....
Vira melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Apa lagi yang harus aku lakukan, gumam Vira dalam hati.
Bicara dengan Weny sangat menguji kesabarannya. Setelah berdebat cukup panjang, Weny dengan sandiwara yang dia lakukan akhirnya menerima permintaan Vira untuk memjadi istri keduanya.
***
Malam ini ibu Desy tampak antusias untuk pergi melamar Weny pada kedua orang tuanya. Vira menatap suaminya yang sedang berpakaian.
Pandangan wanita itu tampak kosong. Bibirnya tersenyum, tapi mungkin hatinya menangis.
Yudha mendekati istrinya. Berlutut di hadapan wanita itu. Menggenggam tangan Vira.
"Aku ingin pergi melamar Weny dengan ibu. Sekali lagi aku mohon maaf jika ini sangat melukai hatimu. Percayalah Sayang, sampai detik ini tetap kamu yang bertahta di hati ini."
Vira tersenyum mendengar ucapan suaminya. Menatap mata suaminya. Saat ini memang masih tampak kejujuran dari mata pria itu.
"Cukup, Mas. Jangan katakan cinta lagi. Aku tidak butuh kata-kata saja. Aku ingin bukti dari semua ucapanmu. Aku bukan anak remaja yang akan melambung saat dikatakan cinta."
"Vira, aku bukan hanya sekadar berkata. Tapi itu adalah ungkapan dari hati ini. Aku memang sangat mencintaimu," ucap Yudha.
Ibu Desy yang mengintip dari pintu kamar yang terbuka sebagian, tampak sinis mendengar anaknya mengungkapkan cinta pada sang menantu. Tanpa permisi wanita paruh baya itu melangkah masuk.
"Sedang apa kamu? Kenapa berlutut dihadapan istrimu. Nanti makin melonjak saja dia. Tidak ada seorang suami yang memohon maaf dan ampun pada istri. Yang ada itu istri yang memohon maaf pada suaminya. Ingat Vira, surga istri itu ada pada suami dan surga anak laki-laki ada pada ibunya. Jika kamu ingin selamat dunia akhirat patuhi suamimu!" ucap Ibu mertuanya dengan ketus.
Vira menarik napas dalam mendengar ucapan ibu mertuanya. Memegang dadanya yang terasa sesak. Bersabarlah Vira, mulai hari ini kesabaran kamu akan makin diuji. Ucapnya dalam hati.
Belajarlah mengalah sampai tak seorangpun yang bisa mengalahkanmu. Masalah yang kamu hadapi bukan untuk menjatuhkanmu, tetapi agar kamu bisa berpikir lebih dewasa dari hari ini, kemarin dan sebelumnya.
"Bu, aku tidak pernah meminta Mas Yudha agar berlutut dihadapanku. Ini semua atas kemauannya," ucap Vira pelan, menahan emosinya.
"Sudahkah! Kapan kamu tidak membantah. Jika orang tuamu masih ada, pasti kamu sering melawan ucapannya."
"Bu, jika ingin menghinaku, lakukanlah. Jangan bawa-bawa orang tuaku. Walau aku tidak pernah tahu dan tidak pernah merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku, tapi aku tidak bisa terima mereka dihina," ujar Vira.
"Sadar kamu jika orang tua itu harga dirimu, jadi jangan salahkan Yudha jika dia lebih membelaku dan menuruti apa keinginan dariku!"
Yudha berdiri dan menghampiri ibunya. Dia tidak ingin perdebatan antara istri dan ibu Desy, ibu kandungnya. Bagi Yudha keduanya begitu berarti. Tidak akan bisa dia memilih diantara ibu dan Vira istrinya.
"Bu, sudahlah. Apa yang dikatakan Vira itu benar. Aku yang menginginkan semua ini. Bukan Vira yang meminta," ujar Yudha.
"Kamu juga, Yudha. Kamu itu kepala keluarga. Harus tegas. Jangan menye-menye. Jangan jadi suami takut istri. Buat emosi saja. Ayo, kita berangkat. Nanti kemalaman. Weny dan kedua orang tuanya pasti telah menanti kehadiran kita," ucap Ibu.
Ibu Desy menarik tangan putranya untuk melangkah meninggalkan kamar. Di ambang pintu, wanita yang telah melahirkan suaminya Vira itu berbalik. Dia menatap ke arah menantunya.
"Seharusnya kau bersyukur karena Yudha tidak meminta kamu hadir untuk melamar Weny secara resmi," ujarnya.
"Bu, sudah cukup. Kenapa selalu berkata kasar dengan Vira," ujar Yudha.
Ibu memandangi Yudha dengan tatapan tidak suka. "Jangan membela istrimu terus. Setelah menikahi Weny istri kamu ada dua orang. Jangan hanya membela Vira terus!" ucap Ibu.
Wanita itu melangkah dengan cepat. Diikuti Yudha dibelakangnya. Ketika terdengar suara mesin mobil, Vira melangkah menuju jendela. Mengintip kepergian suaminya.
Ada waktu untuk berharap, dan ada waktu untuk berhenti. Ada masa untuk memperjuangkan, namun ada juga untuk mengiklaskan. Jika mengingatnya membuatmu merasa sesak, maka tidak perlu melakukannya lagi. Tak perlu teteskan air mata untuk dia yang telah meninggalkanmu. Luka terdalam adalah ketika kamu tak mampu melihat dengan mata, dan kesedihan terpendam adalah ketika kamu tak mampu mengucapkan dengan kata-kata.
...****************...
Sementara menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini.