MANTAN. Apa yang terbesit di pikiran kalian saat mendengar kata 'MANTAN' ?
Penyesalan? Kenangan? Apapun itu, selogis apapun alasan yang membuat hubungan kamu sama dia berubah menjadi sebatas 'MANTAN' tidak akan mengubah kenyataan kenangan yang telah kalian lewati bersama.
Meskipun ada rasa sakit atas sikapnya atau mungkin saat kehilangannya. Dia pernah ada di garis terdepan yang mengisi hari-harimu yang putih. Mengubahnya menjadi berwarna meski pada akhirnya tinta hitam menghapus warna itu bersama kepergiannya.
Arletta Puteri Aulia, gadis berkulit sawo matang, dengan wajah cantik berhidung mancung itu tidak mempermasalahkan kedekatannya lagi dengan cowok jangkung kakak kelasnya sekaligus teman kecilnya-- Galang Abdi Atmaja. Yang kini berstatus mantan kekasihnya.
Dekat? Iya,
Sayang? Mungkin,
Cemburu? Iya,
Berantem? Sering,
Jalan bareng? Apa lagi itu,
Status? Cuma sebatas mantan.
Apa mereka akan kembali menjalin kasih? Atau mereka lebih nyaman dengan -MANTAN RASA PACAR- julukan itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmi SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
“Lemes banget lo? Kenapa?” Tanya Doni menyeruput capucinno miliknya. Ia menatap Galang yang banyak diam sejak pulang sekolah tadi.
“Kayak ngga tahu aja, mantan tercintanya kan udah jadi milik orang,” timpal Rangga mengambil kentang di depan Galang. Galang menatapnya garang. Rangga hanya nyengir kuda ditatap seperti itu.
“Arletta?” Tanya Beni kepo. “Siapa lagi? Kan cuma dia yang bikin Galang jadi bucin,” timpal Rangga lagi.
“Berisik lo!” Galang mengambil cangkir kopinya dan mulai meminumnya. Matanya menelisik ke arah pintu cafe itu, ia berhenti meminum kopinya kala melihat Arletta dan Bian masuk cafe itu.
Melihat Galang yang diam menatap satu arah, Rangga, Beni dan Doni sama-sama menoleh pada apa yang menjadi pusat perhatian Galang saat ini. Mereka kembali menatap Galang setelah melihat kedatangan Arletta.
“Bukannya itu anak baru di sekolah kita ya?” Tanya Rangga entah tertuju untuk siapa. Doni mengangguk, ia tahu Bian, Bian memang sukses menjadi perhatian banyak gadis di sekolahnya saat baru masuk di SMA Pancasila.
“Tapi gue denger-denger mereka teman kecil, berarti dia juga teman kecil lo kan Lang?” Ucap Rangga menganalisa. Galang hanya menghela nafas kasar, matanya masih menatap dingin dua sejoli yang tengah asyik bercanda itu.
“Sejak kapan lo suka ngegosip?” Doni mengalihkan tatapannya pada Rangga. “Kayak ngga tahu aja, istirahat kelas kan dia suka ngerumpi bareng cewek-cewek,” timpal Beni asal. “Enak aja! Gue jarang ya ngerumpi, cuma pas kepepet aja kalo ada cerita seru,” ucap Rangga melebarkan senyumnya.
“Kebanyakan ngegosip ntar hidup lo ngga berkah,” timpal Beni. “Emang iya ya? Tapi asyik tahu kalo ngerumpi tuh, jadi ngga ketinggalan info, kayak it-“
Krakkk..
Ketiga cowok itu tersentak kala Galang meletakkan cangkir itu kasar di atas meja. Galang berdiri dari sana dan mulai melangkah meninggalkan ketiga temannya itu.
“Woyy! Ke mana lo?” Seru Rangga namun tidak digubris sama sekali oleh Galang.
“Lo sih, udah tahu Galang lagi badmood, malah cerita yang ngga-ngga,” ucap Doni sambil memakan kentangnya.
“Kok gue sih, lagian gue tadi ada salah ngomong? Ngga kan?” Bela Rangga pada dirinya sendiri. Beni dan Doni mengedikkan bahunya.
Rangga mendengkus kembali menatap kepergian Galang yang ternyata pergi menemui Arletta. “Eits! Bentar-bentar, Galang ngapain tuh! Astagaa!” Rangga terpekik lalu berdiri dari sana. Begitu juga Beni dan Doni yang menyusulnya.
Banyak pasang mata yang melihat mereka.
“Galang stop woy! Dilihatin orang!” Lerai Rangga memisahkan Galang dari Bian. Tangan Galang masih setia di jaket yang Bian kenakan. Sudut bibir Bian sudah terlihat lebam. Bian memang tidak melawan. Membuatnya tersungkur ke lantai.
Dengan susah payah akhirnya Galang melepaskan cengkeramannya pada Bian. Beni mengulurkan tangannya membantu Bian untuk berdiri. Sedangkan Galang hanya menatapnya nanar.
Arletta sendiri menatap mereka tak percaya, kejadian itu sungguh sangat singkat membuatnya panik dan mematung di sana.
“Ada apa ini? Kalau kalian mau bikin ribut, mending kalian keluar!” Seorang satpam datang dengan tatapan garangnya. Galang memang tidak mempedulikan kehadiran satpam itu, ia menggenggam tangan Arletta lalu membawanya keluar.
“Kalian? Pergi sekarang juga!”
Empat cowok itu pergi bersama meninggalkan cafe itu. Entah apa yang mereka pikirkan sekarang. Merekapun tidak tahu apa yang membuat Galang se marah itu. Bertanya pada Bian? Itu tidak akan mungkin. Bian menyalakan motornya dan pergi lebih dulu.
“Woy! Gue gimana pulangnya?” Ucap Rangga karena memang tadi ia ke cafe berbonceng dengan Beni. Namun Doni sudah lebih dulu duduk di motor Beni.
“Udah naik ojol aja,” ucap Doni, Beni menyalakan motornya dan melewati Rangga yang mencak-mencak di tempatnya.
“Dasar bocah sialan! Ngga ada setia kawannya!” Umpat Rangga.
***
Beberapa saat lalu...
“Sampai tuan puteri,” ucap Bian menghentikan motornya di depan cafe. Arletta berdecak. Pasalnya ia yang ingin bermalas-malasan di rumah justru Bian datang mengajaknya nongkrong di cafe.
Arletta turun dari sana dan menunggu Bian ikut turun. Mereka memasuki cafe itu dan memilih duduk di dekat dinding kaca. Mereka duduk bersisian.
“Lo mau pesen apa?” Ucap Bian melihat-lihat menunya. Arletta tampak berpikir, “eum, matchalatte deh, sama cupcake blueberry.”
“Oke, matchalatte dua, cupcake blueberrynya satu,” ucap Bian pada waiters itu. Waiters itu mengangguk lalu pergi dari sana.
“Lo suka matchalatte?” Tanya Arletta penasaran. Bian tampak berpikir lalu mengedikkan bahunya. “Ngga tahu, pengen nyoba aja. Kayaknya lo sering minum itu, emang enak ya?”
Arletta mengangguk antusias. “Gimana ya, tadinya gue juga ngga terlalu suka sih, waktu itu pas gue ja-“ Arletta berhenti sejenak. Hampir saja ia Mengatakan ‘jalan sama Galang’
Bian menyipit, “ja?” Arletta tampak bingung, “jalan sama Andini sama Raya, gue pesen cappucino dan waktu itu matchalatte salah satu menu baru di sana, gue nyobain dan itu enak. Akhirnya jadi minuman favorit sampai sekarang,” ucap Arletta. Benar memang seperti itu, hanya saja bukan dengan Andini ataupun Raya. Melainkan dengan Galang.
Bian mengangguk, pesanan merekapun sampai. Bian menatap Arletta yang tengah meminum matchalattenya.
“Hmm, coba deh,” ucap Arletta menunjuk dengan dagunya. “Ppftt,” Bian menahan tawanya.
“Ck,” decak Bian sedikit mendekatkan wajahnya.
Nafas Arletta tercekat kala Bian terus mendekat. Posisi mereka memang saling hadap, apalagi Bian yang tampak memiringkan kepalanya. Tangan Bian terulur membersihkan sisa matchalatte yang ada di sudut bibir Arletta.
“Makanya kalo minum tuh jangan buru-buru, sampe belepotan gin-“
Bugh.. brakk ..
Arletta berdiri, terkejut mendapati Bian yang tersungkur. Ia lebih terkejut lagi saat melihat siapa pelakunya, Galang?
“Brengs*k lo!” Galang mencengkeram kuat jaket yang Bian kenakan itu. Kejadian itu cukup membuat perhatian para pengunjung cafe.
“Galang stop woy! Dilihatin orang!” Lerai Rangga memisahkan Galang dari Bian. Tangan Galang masih setia di jaket yang Bian kenakan. Sudut bibir Bian sudah terlihat lebam. Bian memang tidak melawan, ia terduduk di lantai.
Dengan susah payah akhirnya Galang melepaskan cengkeramannya pada Bian. Beni mengulurkan tangannya membantu Bian untuk berdiri. Sedangkan Galang hanya menatapnya nanar.
Arletta sendiri menatap mereka tak percaya, kejadian itu sungguh sangat singkat membuatnya panik dan mematung di sana. Tidak lama kemudian seorang satpam datang.
“Ada apa ini? Kalau kalian mau bikin ribut, mending kalian keluar!” Seru satpam itu dengan wajah garangnya.
Galang memang tidak mempedulikan kehadiran satpam itu, ia menggenggam tangan Arletta lalu membawanya keluar.
Arletta masih diam saat Galang menyeretnya menjauh dari cafe itu. Mereka naik di atas motor Galang dan pergi meninggalkan cafe itu. Ia tak tahu Galang akan membawanya ke mana.
Motor itu berhenti di depan sekolahnya. Arletta menatap punggung Galang dari belakang, tangan itu setia menggenggam tangan Arletta. Mereka sampai di rooftop.
Galang melepas kasar tangan Arletta.
“Mana Tata yang gue kenal? Lo berubah Ta,” Ucap Galang menatap dingin lawan bicaranya. Arletta menatapnya bingung, tidak tahu ke mana arah bicara Galang.
“Harus ya, ngelakuin itu di depan umum?”
Arletta menggeleng makin tidak paham, “Lo ngomong apa sih Lang, gue ngga ngerti.”
Bukan menjawab, Galang justru mendekatinya. “Ini kan yang lo mau?” ucap Galang lirih. Ia terus mendekat pada Arletta yang tampak ketakutan.
“Lo mau apa?” Cicit Arletta mundur dari tempatnya berdiri. Air matanya mulai menetes kala punggungnya menabrak tembok di belakangnya. Galang terus mendekatkan wajahnya pada Arletta.
“Gue mohon Lang, jangan lakuin itu,” ucap Arletta menunduk dengan suara serak, menahan tangisnya. Tangannya tersilang di depan dadanya. Takut, ia tidak pernah melihat Galang seperti ini.
Galang tidak menggubrisnya dan terus mendekatkan wajahnya.
“Lang, jangan gue mohon,” ucap Arletta pelan. Ia semakin takut saat Galang terus mendekatkan wajahnya. Nafas mereka saling beradu. Bisa Arletta rasakan nafas Galang yang memburu.
Arletta memejamkan matanya. Tidak ada yang berubah, tidak terjadi apapun.
Bugh ...
tinggal urusan cintanya aja yang masih jauh🤭