HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Lelah, tapi tak terasa. Mungkin itu adalah situasi yang paling pas untuk menggambarkan kedua insan itu setelah pesta pernikahan mewah selama 7 hari 7 malam itu. Sebagaimana yang pernah Ibra perintahkan bahwa Gavin harus menyiapkan sebuah hunian baru untuk Ibra tinggali.
Sebagai pengganti pihak keluarga, Siska dan Lorenza turut mengantar Kanaya ke rumah barunya. Dan keduanya menganga seakan tak percaya bahwa yang kini mereka pijaki adalah peristirahatan yang Ibra beli dengan atas nama Kanaya Alexandra.
"Hadiah pernikahan?"
Kanaya menggeleng, dia tidak paham karena tidak ada ucapan semacam itu padanya dari Ibra. Pria itu hanya mengatakan jika tempat ini adalah istana untuk mereka menjalin cinta kasih hingga nanti-nanti.
"Kaya banget sih, Nay ... kalau begini aku rela kok jadi istri kedua mas Ibra beneran," celetuk Lorenza asal-asalan karena sungguh kagum luar biasa dengan pemadangan yang kini ia lihat.
PLAK
"Sadar diri, Ibra geli kalau sampai dengar kata-kata dari mulutmu itu, Lorenza!!"
Seperti biasa, Siska dengan mulut bak toa masjid dan Lorenza dengan pikiran ceteknya tengah beradu mulut dan membuat suara mereka bergema di dalam kamar tidurnya.
"Bilang aja iri, kamu nggak berani kan bilang gini karena kemaren di semprot sama mas Ibra," ejek Lorenza merasa dirinya lebih baik daripada Siska yang sempat jadi amukan Ibra lantaran gaun pernikahan Kanaya.
"Terserah kamu, Za," ucap Siska menyerah, padahal sama saja, Lorenza pun pernah disemprot Ibra lantaran terlalu agresif pada saat foto bersama.
"Kalian kapan damainya, Lorenza juga sembarangan ... sekalipun kamu mau, aku nggak bakal mau punya madu, sinting."
Menyebalkan sekali rasanya, padahal hari ini tubuhnya pegal-pegal, dan jujur saja saat ini yang Kanaya butuhkan hanya tidur, itu saja.
Selama pesta mereka berada di hotel dan itu sudah sangat melelahkan baginya, walau sebenarnya Ibra tidak melakukan apa-apa, tapi pengaruh kehamilan, Kanaya menjadi mudah lelah.
"Canda, Nay ... serius amat, btw kalian udah em-em belom?" tanya Lorenza tiba-tiba serius dan ikut naik ke tempat tidur super empuk itu.
"Em-em apa?" tanya Kanaya polos karena memang pikiran hari ini sangat suci, jauh dari hal-hal kotor seperti pikiran Lorenza.
"Em-em ituloh, masa nggak paham? Kamu pura-pura polos, nggak seru banget." Lorenza mencebik dan menganggap Kanaya tengah pura-pura dan enggan membahas hal itu dengannya, padahal janji mereka ketika salah satu telah menikah maka harus mau menceritakan walau tidak secara detail.
"Ya em-em apa, Lorenza? Kamu kan tau sendiri aku nggak paham kalau pakai bahasa isyarat begitu." Kanaya mulai frustasi sementara Siska sudah memerah, mungkin karena ingat kejadian beberapa waktu lalu di apartemennya.
"ML NAY ML, Kan penganten baru biasanya begitu," ujar Lorenza sembari menyelipkan jempol diantara telunjuk dan jari tengahnya.
"Iya, Nay ... aku jadi penasaran, malam pertama kalian gimana?" tanya Siska genit sembari mencubit lutut Kanaya.
"Malam pertama apaan? Malam nerusin nggak sih?" tanya Lorenza sarkas, memang benar pernyataannya jika itu bukan malam pertama.
"Buahah nggak kuat, Kanaya kenapa jadi gitu mukanya?" Siska tak kuasa menahan tawa kala Kanaya memerah.
"Iya kan? Nggak mungkin enggak, di hotel seminggu dan pasti kalian ...." Mata Lorenza melirik Kanaya dengan tatapan usilnya, wanita itu sontak angkat bicara dan merasa tengah diejek dua manusia ini.
"Enggak, mas Ibra nggak minta dan aku belum mau," jawab Kanaya singkat, padat dan tanpa kebohongan.
Meski tetap saja dia memiliki ketakutan pasca akad, akan tetapi lelah yang dia rasa memang luar biasa dan Kanaya bahkan langsung terlelap ketika tubuhnya berbaring di atas tempat tidur.
"Masa? Nggak percaya ... sebelum kalian nikah aja dia hampir minta jatah, kamu kira aku lupa, Nay?"
Memang benar, sebuah rahasia jika sudah dipegang sahabat maka suatu saat akan menjadi senjata untuk membuatnya tersudutkan.
"Aku serius, mas Ibra memang nggak minta dan kalau malem ya tidur, kalian berdua kenapa sih?" kesal Kanaya kala mereka membuat pernyataan seenak jidat dan ini membuatnya amat lelah.
"Nggak percaya sih sama Kanaya kali ini," ucap Lorenza menggosok hidungnya, semua yang Kanaya ucapkan bisa saja demi melindungi citra seorang Ibra, pikir Lorenza.
Ceklek
"Kanaya."
Panggilan itu terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Sontak Lorenza turun dari tempat tidur kala menyadari yang datang adalah tuan rumah.
Pria itu tersenyum kala memasuki kamar, menatap kedua sahabat Kanaya bergantian. Wajahnya tampak bersahabat kali ini, dan tujuannya ke dalam kamar hanya untuk menemui Kanaya.
"Kalian boleh menunggu di luar sebentar? Aku ingin bersama istriku?"
Bak mendengar perintah dari seorang atasan, Siska dan Lorenza segera mengangguk dan keduanya berlalu tak lupa menundukkan kepala. Lucu sekali melihatnya, kenapa mereka jadi begitu, pikir Ibra.
"Ck, dasar aneh." Ibra lagi-lagi menganggap mereka aneh, walau tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya memang aneh.
"Gavin udah pulang?" tanya Kanaya membuka percakapan, karena memang Ibra tengah membicarakan sesuatu pada Gavin ketika dia dan kedua sahabatnya masuk kamar.
"Hm, kamu baik-baik aja, Nay?"
Ibra menempelkan punggung tangannya di kening Kanaya, pria itu khawatir dengan kondisi Kanaya yang tidak seceria Lorenza ataupun Siska.
"Aku nggak sakit, Mas," tutut Kanaya lemah sembari menyingkirkan tangan Ibra, kenapa pria itu selalu beranggapan dia sakit, pikirnya.
"Tapi pucat, apa hamil memang begini?" tanya Ibra menatap lekat setiap inci wajah Kanaya, bibir pucat dan mata yang masih terlihat sendu, sepertinya Kanaya memang sangat lelah.
Pria itu duduk bersila di samping Kanaya, setelah menjadi istrinya Kanaya terlihat berbeda dan lebih banyak diam entah apa sebabnya. Apa mungkin karena fakta Ibra yang mulai terbuka membuatnya terkejut, atau memang karena hal lainnya.
"Kanaya," panggil Ibra memecah kesunyian, sejak tadi Kanaya hanya diam dan menurut kala Ibra memeriksa setiap inci wajahnya.
"Iyaa?" sahut Kanaya pelan, matanya masih sibuk menatap ke jemari yang tengah saling bertautan.
"Tatap aku," titah Ibra meraih dagunya, salah satu kebiasaan yang melekat dalam diri Ibra, dia akan menatap setiap mata orang yang dia anggap berharga dalam bicaranya. Dan begitupun sebaliknya, dia akan meminta orang tersebut melakukan hal yang sama.
"Apa yang kamu pikirkan sebenarnya, hm? Kamu tidak bahagia berada di sisiku, Kanaya?" tanya Ibra lembut, lembut sekali karena tak ingin membuat Kanaya semakin tertekan.
"Nggak ada, Mas kenapa tanya begitu?" Kanaya heran dengan pertanyaan Ibra yang justru menebak dirinya tidak bahagia.
"Jawab, Sayang ... Mas nggak minta ditanya balik." Lembut memang, tapi terdengar seperti pertanyaan yang harus dijawab paksa dan Ibra seakan mengancamnya dibalik pertanyaan itu.
"Bahagia?" tanya Ibra sekali lagi dan kini lebih singkat.
"Hm." Kanaya mengangguk sembari menjawab dengan jawaban sesingkat itu, demi Tuhan rasanya lelah sekali.
"Kamu kecapekan, tidur Kanaya," titah Ibra kini membantu istrinya untuk tidur dengan posisi nyamannya, Ibra tidak mengerti posisi nyaman untuk wanita hamil bagaimana, yang jelas dia berusaha melakukan segala yang ia pahami demi membuat Kanaya dapat terlelap cepat.
"Maafkan aku, Kanaya," batin Ibra merasa kasihan melihat tubuh istrinya yang terlihat lemah, ambisinya untuk menunjukkan betapa hebatnya dia kepada orang-orang yang mencemooh dan menganggap Kanaya hina justru berdampak pada kesehatannya.
TBC