Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Debaran Rasa
Dari hari ke hari kuliah terlewati. Siang ini habis mata kuliah ketiga Rudi pergi sendiri keluar gedung fakultas. Seperti hari-hari lain, menjelang tengah hari Rudi melenggang ke utara menuju mesjid universitas.
Di belakang, Intan dikelilingi para perempuan, ramai membicarakan potongan lengan baju Evita, tas Mira, model kerudung Nurzakiyah dan flat-shoes baru Intan. Gadis itu tiba-tiba melihat Rudi. Ia mohon izin berpisah dari kerumunan.
“Intan mau ke mana?” tanya Mira
“Mau ke Abang!” jawab Intan.
“Abang?” gumam Evita, heran.
“Abang siapa sih?” bisik Nurzakiyah
“Nggak tahu.” jawab Julia.
“Akhir-akhir ini Intan emang suka gitu.”
“Suka gimana?”
“Tiba-tiba hilang.”
“Intan, nggak mau ikut ke kosan Evita?!!!” teriak Resti.
“Kalian aja, aku mau ke Abang dulu, daaah!!!!” sahut Intan setengah berlari menjauhi kerumunan.
“Ya ampuuun, itu kan A Rudi…”
“Mana, mana?”
“Ituuu!!!”
“Oh ituuu… Mmmmm… pantesan.”
“Itu mah… Abang Ganteng!”
“Ya udah deh biarin aja.”
“Pantesan ngilang-ngilang mulu.”
“Lagi kasmaran…”
“Iya gitu? Iiiiih kok A Rudi sama Intan sih?”
“Hmmm… kalian baru tahu ya?”
“Hmm, Intan cantik sih!”
“Apa hubungannya?”
“Satu ganteng, satu cantik, cocok kan?”
“Kalian kok gitu siiih?”
“Kenapa siiih, cemburu ya?”
“Bukan gitu! A Rudi kan kakak kita semua…”
“Mentor!”
“Iyaaa, mentor!”
Intan berlari-lari kecil hampiri Rudi. Dalam beberapa detik Intan sudah tiba di belakang Rudi.
“Abang!” panggil Intan.
Rudi tersentak kaget dan menengok.
“Apa?” jawan Rudi, meringis.
“Abang mau ke mesjid?”
“Iya!”
Intan berhasil menyusul Rudi, kemudian mengatur nafasnya yang terengah-engah. Beberapa mahasiswa tak dikenal berlalu lalang di sekitar mereka. Intan melongok-longok melihat wajah Rudi. Air muka gadis itu berubah menjadi cemas.
“Hari ini Abang kecapean lagi?” tanya Intan.
“Sedikit.” jawab Rudi singkat.
“Sedikit?”, Intan cemberut. “Mau permen?”
“Boleh!” sahut Rudi sambil tersenyum.
Intan mengeluarkan sebutir permen dari dalam tasnya, kemudian memberikannya kepada Rudi.
“Bang! Abang belum makan loh!”
“Masa sih? Udah kok Dek!” sangkal Rudi.
“Nggak aaah, waktu istirahat Abang tidur di kelas gituuu! Mau bangunin takut ganggu, padahal teman-teman yang lain pada ke kantin.”
Rudi teringat.
“Eh iya ya, tapi… pagi-pagi sudah kok!”
“Siangnya beluuum…”, manyun.
Rudi terkekeh.
“Muka kamu kok gitu sih Dek?”
“Apaaa?”, manyun.
Rudi terkekeh lagi.
“Abis dzuhur, makan yuk!” ajak Intan.
“Di mana?”
“Abang maunya di mana?”
“Mmm… di depan ya, deket tukang cukur!”
“Boleeeh…” sahut Intan sambil tersenyum.
Mesjid Universitas Siliwangi mulai ramai. Puluhan mahasiswa mengantri di tempat wudhu. Adzan dzuhur berkumandang. Rudi bergabung dengan jamaah laki-laki, sementara Intan masuk ke balik hijab berbaur dengan jamaah perempuan. Suasana sholat berjamaah kala itu lebih ramai dari biasanya.
Habis dzuhur Rudi dan Intan beranjak pergi ke sisi timur kampus. Selama perjalanan Intan mengungkapkan rasa sukanya bahwa Rudi rajin ke mesjid. Selama ini Intan suka memperhatikan dan ia pun tahu bahwa selama di kampus Rudi selalu pergi ke mesjid di waktu dzuhur dan ashar.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah warung nasi sederhana pinggir tukang cukur tak jauh dari gerbang samping Unsil. Di warung itu mereka sempat bermain-main melihat ikan pada sebuah kolam taman kecil. Selesai makan Rudi dan Intan kembali menyusuri jalan utama kampus menuju gedung fakultas.
Beberapa hari yang lalu Intan sempat bertanya, apakah Rudi masih narik angkot. Rudi pun menjelaskan bahwa ia sudah ganti pekerjaan. Sekarang Rudi sibuk berjualan sate dari sore hingga malam. Siangnya belanja ke pasar kecamatan Tawang beli keperluan jualan bila tidak ada jadwal kuliah. Mendengar itu Intan sumringah, kemudian berkata bahwa katanya ia suka sekali sate. Dulu waktu di Jakarta gadis itu sering jajan sate sore-sore di depan rumah tantenya.
“Abang nggak ke pasar hari ini?” tanya Intan.
“Nggak Dek. Kemarin sudah beli stok banyak. Sengaja, karena hari ini jadwal kuliah kan padat.”
Intan tersenyum.
“Sukur deh, kalau gitu!”
Mereka terus berjalan. Sebentar lagi lewat di depan gedung olahraga. Ketika berlalu di depan taman gedung besar itu tiba-tiba Intan mengaduh. Rudi membawa Intan duduk sejenak di bangku taman depan gedung.
“Abaaang… kaki Intan sakit…”
“Coba buka sepatunya!” pinta Rudi.
Rudi memeriksa.
“Tumit kamu lecet Dek.”
“Duuuh… periiih!”
“Nggak apa-apa, biar Abang obati…”
Intan mengangguk.
“Tunggu sebentar!”
Rudi bergegas ke koperasi mahasiswa membeli obat luka perban dan plester. Tak lama ia kembali. Dengan hati-hati diobatinya luka lecet di kaki Intan kemudian ditutup sedikit perban dan direkat plester. Rudi melihat ada sedikit noda lumpur di pergelangan kaki gadis itu. Karena kasihan ia hapus noda itu dengan sisa perban dan sedikit air dari dalam botol.
Cuaca memang sedikit panas. Intan melihat titik-titik peluh berkilauan di dahi Rudi. Dahi yang menyimpan mutiara kecerdasan dan kebijaksanaan yang ia kagumi semenjak pertama bertemu hingga hari ini. Gadis itu masih belum percaya pria itu kini ada di dekatnya, mengobati luka dan membersihkan noda di kakinya.
Ingin rasanya ia mengambil tisu, kemudian memohon izin kepada Rudi untuk menghapus titik-titik peluh itu. Tapi ia ragu.
“Gimana, mendingan?” tanya Rudi sambil menengadah ke arah Intan.
Intan tersipu dan mengangguk. Tampak dalam terpaan cahaya teduh di bawah pepohonan taman, pipi gadis itu bersemu merah, persis seperti saat bertemu Rudi kali kedua di mesjid universitas waktu itu.
“Coba pake lagi sepatunya!”
Perlahan-lahan Intan mengenakan sepatunya. Habis itu mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung fakultas. Pepohonan cemara berjajar sepanjang jalan. Tak ada yang berubah. Tapi entah kenapa siang ini di mata mereka pohon-pohon itu tampak jauh lebih indah dari biasanya.