"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
PRANG!!
Pecahan dari sebuah vas bunga bahkan botol wine tampak berserakan di lantai itu bersama isinya, emosi Aslan meledak usai ia menahannya sejak berada di dalam mobil.
Tatapan Aslan seolah mampu membelah siapapun.
“Sialan!!” Umpat Aslan memaki.
Dadanya bergemuruh dengan emosi yang hebat, kemarahannya yang tertahan akhirnya bisa terluapkan.
Mengingat Shea dipeluk oleh seorang pria lain yang berstatus sebagai suami membuat Aslan tak terima. Bagi Aslan, Shea hanya miliknya dan Shea tak boleh diinginkan oleh siapapun selain dirinya saja.
Aslan tak bisa mengendalikan amarahnya.
“Bagaimana mungkin kau berbuat seperti ini padaku Shea? Tidakkah kau mengerti bahwa hanya aku yang paling mencintaimu selama ini? Ini sangat salah Shea, kau menikah dengan pria lain itu sangat salah!” Ucap Aslan.
Lagi Aslan meraih beberapa gelas wine yang berada di meja lalu ia hempaskan dalam hitungan detik semuanya hancur begitu saja.
Prang! Prang!
Aslan merasa tak rela dan tak terima, selama ini cintanya tak berkurang sedikitpun tapi Shea malah dengan mudahnya berpaling darinya.
Tangan Aslan terkepal, emosinya masih saja tak berkurang.
Tatapannya benar-benar akan menakuti siapapun yang melihatnya.
Hingga tiba-tiba...
~Ceklek~
Pintu ruangan terbuka menampilkan Yumna berdiri.
Ya, keberadaan Aslan saat ini memang ada di kantornya. Aslan menoleh menatap Yumna, terlihat bahwa tatapan Aslan masih sama.
Sedangkan Yumna geram saat tahu kelakuan Aslan yang sangat memuakkan. Ruangan itu terlihat berantakan dan mengerikan.
Entah kenapa Aslan suka sekali emosi. Aslan kini banyak berubah.
“Aslan, apa yang kau lakukan?” Tanya Yumna melihat keadaan ruangan itu sungguh kacau.
Aslan berdecih muak melihat kedatangan Yumna di kantornya.
Tak bohong kalau Aslan menyalahkan Yumna atas takdir cintanya dengan Shea, ada banyak penyesalan bagi Aslan karena tak mempertahankan hubungannya di masa lalu.
“Pergilah Mom.” Ucap Aslan datar.
Jika Aslan bisa sedikit menahan Shea di masa lalu mungkin Shea tak akan berakhir dengan menikah pada seorang pria dengan nama Matthew Cassius itu.
Yumna dengan berani melangkah masuk melewati keadaan ruangan yang tampak kacau itu.
“Aslan, dimana letak kewarasanmu itu hahh? Kenapa kau jadi seperti ini Aslan?!” Tanya Yumna.
Mata berkilat Aslan semakin mengerikan.
“Mom, pulanglah sebelum ucapanku lebih menyakitimu.” Ucap Aslan.
Yumna berhenti melangkah.
“Kau akan berani untuk itu? Katakanlah pada Mommy, apa yang membuatmu jadi seperti ini? Jawablah!” Ucap Yumna mendesak.
Kini tubuh yang tadinya hanya tegap dan diam saja, mulai bergerak. Tangannya meraih sesuatu dari meja, ada bingkai foto seorang wanita cantik di dalam foto itu.
Aslan sedikit membantingnya ke meja membuat Yumna melihat siapa yang ada dalam bingkai itu.
“Mommy sangat tahu siapa dia kan? Sosok yang tak pernah berhenti untuk aku cintai, dia Shea Marlove. Saat ini dia sudah kembali dan aku berharap hubunganku dan Shea akan seperti dulu lagi.” Ucap Aslan.
Tangan Yumna langsung terkepal.
“Jangan gila Aslan! Apa yang kau harapkan dari wanita biasa itu? Dia hanya wanita bekasmu saja, kau bisa dapat yang baru dan belajarlah melupakan dia Aslan! Semua telah berlalu sangat lama, lupakan dia Aslan!” Ucap Yumna dengan tegas.
Kini sebuah vas bunga dengan bentuk kayu, tampak Aslan lemparkan ke cermin karena emosinya kembali tersulut.
Prang!
Pecahan muncul lagi dan berserakan kesana kemari, rasanya jantung Yumna berdetak lebih kuat dari sebelumnya melihat tingkah Aslan.
Tatapan penuh kebencian Aslan membuat Yumna meraih satu beling.
“Apa kau mau Mommy mati saja di hadapanmu, begitu Aslan? Lihat dirimu Aslan, usai kedatangan wanita itu kau malah bersikap seperti ini. Bahkan di hadapan wanita yang telah melahirkanmu, hidupmu kacau itu karena dia.” Ucap Yumna.
Aslan menatap Yumna yang bersiap menggores tangannya sendiri, decakan penuh kemuakan Aslan terdengar.
“Terserah padamu! Lakukan saja sesuka Mommy, bahkan hidupku telah hancur tanpa Mommy sadar bukan? Aku bukan lagi Aslan yang dulu, persetan itu semua! Aku hanya mau Shea! Hanya Shea!” Tegas Aslan dengan sorot mata yang tajam.
Ia lewati tubuh Yumna begitu saja, ia tak hiraukan wanita berumur itu.
Brak!
Pintu ruangan itu ditutup Aslan dengan kuat.
Tangan Yumna bergetar, beling itu sudah ia genggam dengan sangat kuat hingga darah mengucur jatuh ke lantai.
“Shea kau adalah wanita sialan! Harusnya sejak dulu kau lenyap saja! Kau tak berhak ada dalam kehidupan Aslan.” Ucap Yumna.
***
Di sisi lain.
“Love, minum dulu.” Ucap Matthew menyerahkan segelas air hangat untuk Shea membuat Shea menyambutnya.
Shea meminum air itu dengan pelan, tampaklah Matthew mengusap lembut puncak kepala Shea.
“Love, aku tak mau kau terlalu bersedih. Jika ini memang takdir maka aku berharap kau mau menganggapku sebagai keluargamu yang utuh. Aku akan ada bersamamu dan mencintaimu sampai kapanpun, Love.” Ucap Matthew.
Shea meletakkan gelas itu, ia menoleh menatap wajah Matthew yang berada di sampingnya.
Shea masih diam, Matthew ini terlalu baik dengannya.
“Bagiku, kau dan Sean adalah segalanya buat aku Love. Hidupku yang biasa saja kini mulai berwarna, aku punya alasan untuk melanjutkan sisa hidup yang panjang. Aku ingin kau dan Sean terus disisiku, walau aku hanyalah orang asing buatmu.” Ucap Matthew.
Shea langsung menggeleng.
“Matthew, kau bukan orang asing. Kau adalah suamiku, kau terus ada untukku selama ini, aku yang harus banyak bersyukur karena Tuhan mengirimkanmu jadi pasangan terbaik untukku.” ucap Shea.
Matthew tersenyum mendengar ucapan Shea.
Tampaklah Shea mendekati wajah Matthew lalu memberikan kecupan yang begitu lembut di bibir Matthew, tanpa ragu Matthew membalas. Tengkuk Shea ditahan oleh Matthew membuat ciuman terjadi.
Matthew menuntun tubuh Shea naik, bahkan tubuh Shea berakhir duduk di pangkuan Matthew.
Ciuman itu masih tak terlepas, Matthew tak menghentikannya sama sekali.
Terlihat kegiatan Matthew mulai turun ke leher jenjang milik Shea.
Shea memejamkan matanya saat Matthew beberapa kali memberikan sesuatu di kulit leher Shea, tampak beberapa tanda mampu terlihat di sana.
“Matthew, aku…”
Matthew semakin memberikan tanda itu bahkan di tempat lain, hingga beberapa saat setelahnya Matthew menjauh dari sana.
Posisinya masih tetap sama, Shea masih duduk di pangkuan Matthew.
“Love, maafkan aku.” Ucap Matthew.
Shea membuka kembali matanya, tatapan mereka jadi saling bertemu. Senyum Shea terukir sedangkan tangannya menangkup wajah Matthew.
“Jangan meminta maaf Matt, aku akan merasa bersalah jika kau begitu. Apa kau menginginkannya? Mungkin ini sudah waktunya, aku tak keberatan jika memberikan tugasku sebagai seorang Istri untukmu Matt.” Ucap Shea mengelus rahang tegas milik Matthew.
Matthew tersenyum mendengar ucapan Shea.
“Aku mencintaimu Love.” Ucap Matthew.
Matthew melanjutkan ciuman itu, bibirnya menempel bahkan tangannya mengusap punggung Shea dengan lembut.
Perlakuan Matthew membuat kenangan di masa lalu Shea muncul. Tentang ia dan Aslan tiba-tiba hadir dalam benak Shea sampai suara ponsel milik Matthew berbunyi.
Saat itu juga ciuman keduanya terhenti, jujur saja beberapa kali Shea menarik nafas karena isi pikirannya tampak kacau. Otaknya malah harus mengingat kenangan yang sangat lama tentang ia dan Aslan.
Shea yang duduk di pangkuan Matthew memilih memeluk Matthew sedangkan Matthew mengangkat panggilan itu.
“Hmm?” Ucap Matthew pada si penelepon.
Tak lama respon Matthew kembali terdengar setelah sejenak diam.
“Katakan apa yang terjadi?” Tanya Matthew.
Shea memundurkan posisinya, ia menatap wajah Matthew. Baru saja nada suara Matthew cukup bergetar, seolah ada kecemasan disana.
“Tidak! Tidak mungkin!” Ucap Matthew mulai menampakan kecemasan dan ketakutan.
Panggilan itu diputuskan oleh Matthew.
“Kenapa Matt?” Tanya Shea sambil menatap wajah Matthew yang terlihat begitu terpukul.
Mata yang saling bertemu membuat suara pelan Matthew terdengar.
“Mommy dan Daddy ku meninggal, Love. Mereka mengalami kecelakaan.” Ucap Matthew membuat Shea tak kalah terkejut.
Shea segera turun dari pangkuan Matthew.
“Ayo kita kesana Matthew, ayo kita temui mereka.” Ajak Shea mulai cemas.
Bagaimana tidak, orang tua Matthew adalah mertua Shea. Bahkan Shea pernah bertemu mereka walau itu hanya diacara pernikahan ia dan Matthew, karena sejak itu Shea tak lagi berjumpa dengan pasangan itu.
Matthew tampak lemah, tubuhnya terlihat bergetar membuat Shea langsung memeluk Matthew dengan penuh sayang.
“Matt.” Ucap Shea lembut berharap Matthew bisa sedikit tenang.
Matthew langsung membalas pelukan Shea tak kalah erat.
“Apa aku pernah mengatakannya padamu Love? Orang tuaku, ada di kota ini. Mereka membuat sebuah perusahaan cabang, bahkan perusahaan itu sudah besar dan kejayaan mereka malah membuat kabar buruk untukku. Aku berencana akan mengajakmu bertemu dengan mereka Love, aku ingin memberikan kejutan pada mereka yang selama ini kesal padaku namun semuanya…”
Nafas Matthew tampak tercekat, ucapan itu tak bisa ia lanjutkan lagi.
Shea melepaskan pelukan itu, dada Matthew ia usap dengan pelan. Terlihat Matthew sudah meneteskan air matanya.
Shea tak tahu bagaimana caranya menenangkan perasaan seseorang yang sedang berduka, nyatanya Matthew baru saja kehilangan orang tuanya.
“Matt…”
Matthew kembali menarik Shea, ia memeluk Shea dengan erat, Shea bahkan dapat merasakan sesuatu yang Matthew rasakan untuk saat ini.
“Tolong jangan pernah tinggalkan aku Love, teruslah ada disisiku. Aku tak memiliki siapapun lagi selain kau, kumohon.” Ucap Matthew penuh harap.
Shea menganggukkan kepalanya pelan.
“Hmm, aku tak akan meninggalkanmu Matthew.” Balas Shea yakin.
Pelukan Matthew makin erat.
'Aku pegang ucapanmu, Shea Marlove.' Ucap Matthew membatin.
Bersambung…