Feng Yan seorang pemuda yang tadinya di anggap jenius telah membangkitkan jiwa beladiri berupa manik hijau misterius yang tidak pernah di kenali dan tidak memiliki tingkatan kualitas sehingga semua orang mulai memandang rendah dirinya. dari yang tadi jenius yang di puja kini berubah menjadi sampah yang di pandang rendah.
tahun demi tahun berlalu. Feng Yang tidak pernah berputus asa hingga suatu hari dia kembali dengan kekuatan yang luar biasa. dia bangkit dengan kekuatan yang menggemparkan Dunia.
ikuti terus perjalanan Feng Yan untuk menjadi yang terkuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jin kazama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Melanjutkan Perjalanan.
Bab 3. Melanjutkan Perjalanan.
Setelah keempat monster serigala terjatuh dan berubah menjadi kerangka yang terbalut kulit merah tipis, pagi mulai menjelang di hutan sunyi. Feng Yan perlahan membuka matanya, merasakan kehangatan matahari menyapa wajahnya. Dia terkejut mendapati semua luka yang menghantuinya telah sembuh total. Kulitnya kembali utuh, dan rasa sakit yang pernah menyiksanya kini lenyap.
Dengan rasa bingung, Feng Yan bangkit dan memandang sekeliling. Dia tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sebelum dia pingsan, tetapi satu hal yang pasti: dia masih hidup. Rasa syukur mengalir dalam dirinya, menyadari bahwa dia telah selamat dari pertarungan yang hampir merenggut nyawanya.
Di dalam lautan jiwanya, manik hijau kini kembali tenang, seolah mengingatkan bahwa dia memiliki kekuatan baru di dalam dirinya. Menatap kerangka-kerangka monster yang tergeletak, Feng Yan merasa lega. Mereka adalah ancaman yang hampir mengakhiri hidupnya, dan kini hanya sisa-sisa dari kekuatan yang pernah menakutkan.
Dia menggelengkan kepala, mencoba mengingat apa yang terjadi. Dengan suara pelan, dia mulai berbicara pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya terjadi? Aku ingat bertarung, tapi kemudian… semuanya gelap.”
Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan matahari di wajahnya. “Tapi aku masih hidup. Ini adalah kesempatan kedua. Aku tidak bisa menyia-nyiakannya.”
Feng Yan menatap manik hijau di dalam lautan jiwanya, merasakan energi yang tenang. “Terima kasih. Entah bagaimana kamu menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan datang, tapi aku bersyukur untuk setiap detik yang diberikan.”
Dengan tekad yang baru, dia menatap kerangka-kerangka monster itu dan berkata, “Kau akan membantuku dalam perjalanan ini.” Dia mulai memungut kulit-kulit monster tersebut, merobeknya dengan hati-hati. Kulit merah yang kuat itu akan dijadikannya mantel, pelindung dalam perjalanan yang penuh bahaya.
“Mungkin aku belum sepenuhnya memahami kekuatan ini, tapi aku akan belajar. Tidak ada yang bisa menghentikan ku lagi.”
Dalam sekejap mata tiga hari berlalu begitu saja. Feng Yan terus berjalan dengan kewaspadaan yang tinggi. Belajar dari pengalaman sebelumnya. Matanya selalu menatap sekeliling dengan waspada. Untungnya tidak ada satu monster pun yang mendekat.
Keheningan yang mencekam di Hutan Senyap benar benar sesuai dengan rumornya. Tiga hari kembali berlalu dengan cepat, namun Feng Yan tidak merasakan sedikit pun kelegaan. Sebaliknya, keheningan yang melingkupi dirinya justru membuatnya semakin waspada.
Ia tahu, dari pengalaman sebelumnya, bahwa keheningan yang sempurna sering kali menandakan bahaya tersembunyi.
Hutan Senyap, sesuai dengan namanya, benar-benar sunyi. Tidak ada angin yang berbisik, tidak ada suara satupun hewan, seolah-olah seluruh hutan menahan napas dalam kekosongan misterius.
Satu-satunya yang terdengar adalah suara langkahnya yang teredam oleh tanah lembut dan dedaunan kering yang sesekali ber gemerisik di bawah kakinya.
Pepohonan menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling menjalin, menciptakan kanopi yang menghalangi sinar matahari untuk menyentuh tanah. Hawa dingin merayap melalui udara, membelai kulit Feng Yan dengan dingin yang menembus hingga tulang.
Bayangan gelap menari-nari di antara cabang-cabang, seakan-akan ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Feng Yan bergerak dengan langkah hati-hati, matanya tak pernah berhenti mengawasi sekeliling.
Pengalaman sebelumnya mengajarkannya bahwa tempat yang terlalu tenang sering kali menyembunyikan sesuatu yang berbahaya. Monster atau sesuatu yang lebih buruk bisa muncul kapan saja, terutama di tempat seasing ini.
Selama tiga hari, tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada makhluk yang melintas, dan itulah yang semakin membuatnya cemas. Setiap langkahnya terasa seperti sebuah taruhan dengan nasib, seolah ada kekuatan tak kasatmata yang menanti kesalahannya.
Kelelahan mulai merayapi tubuh dan pikirannya, namun Feng Yan tahu bahwa satu detik kelengahan bisa membahayakan nyawanya. Setiap suara sekecil apapun ditangkap oleh telinganya, tetapi hanya keheningan yang menjawabnya.
"Hutan ini terlalu tenang," Gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ingatannya kembali ke pertempuran sebelumnya, di mana keheningan serupa melingkupi mereka sebelum segerombolan monster muncul dari balik bayang, menyerang tanpa peringatan.
Kecerobohan saat itu hampir merenggut nyawanya, dan kini, kenangan itu terus menghantuinya, menjaga kewaspadaannya tetap tinggi.
Feng Yan berhenti sejenak di sebuah celah di antara dua pohon besar, mencari tempat yang dianggapnya cukup aman. Dia mengambil pisau kecil dari sarung di pinggangnya, mengukir tanda di batang pohon sebagai penanda perjalanannya—sebuah kebiasaan yang selalu dilakukannya agar ia bisa melacak jejak dan menyadari perubahan di sekitarnya. Setelah itu, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang tegang.
Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah. Dari kejauhan, terdengar suara gemerisik yang berbeda dari suara alami hutan. Mata Feng Yan menyipit, tubuhnya secara otomatis memasuki mode siaga penuh.
Tangannya dengan cepat meraih pedangnya yang berat, bersiap untuk apa pun yang mungkin muncul dari kegelapan. Suara itu berhenti sejenak, lalu hilang, seolah lenyap bersama angin.
"Tidak mungkin hanya angin," pikirnya, tubuhnya tegang. Dia tahu ini bisa menjadi taktik musuh, keheningan diikuti oleh gerakan yang hampir tak terdeteksi.
Terkadang, makhluk-makhluk di hutan ini menunggu korbannya untuk lengah, lalu menyerang dengan kecepatan yang mematikan. Feng Yan tahu bahwa ia harus tetap waspada, meski kelelahan mulai menggerogoti kekuatannya.
Lapar dan haus semakin memperburuk keadaan. Perutnya terasa kosong, dan tenggorokannya kering, namun ia menyingkirkan rasa itu. "Lapar dan haus... itu tidak penting. Aku harus bertahan," gumamnya dengan nada penuh tekad.
Feng Yan selalu percaya bahwa rasa sakit fisik bisa diabaikan, namun luka yang tak terlihat. Rasa diremehkan dan diabaikan oleh orang-orang yang seharusnya mendukungnya.
Itulah yang membakar semangatnya untuk bertahan hidup. Rasa sakit emosional itu jauh lebih menyakitkan daripada sekadar rasa lapar.
Tiba-tiba, telinganya menangkap suara samar. Bukan gemerisik yang aneh seperti sebelumnya, melainkan gemericik air, jauh di kejauhan. Jantungnya berdegup lebih cepat.
"Apakah itu... air?" Gumamnya, harapan muncul seketika. Suara air yang mengalir deras, seperti air terjun. Dia segera bergerak ke arah suara tersebut, meski kelelahan hampir melumpuhkan tubuhnya. Semakin dekat dia melangkah, semakin jelas suara itu terdengar deru air jatuh yang membahana.
"Air terjun!" Pikirnya, rasa lega mulai menggantikan cemasnya.
Setelah beberapa menit berjalan, Feng Yan akhirnya tiba di sebuah celah di antara pepohonan yang lebat, dan di sana dia melihatnya
Sebuah air terjun kecil yang mengalir deras dari tebing batu, menciptakan kolam jernih di bawahnya. Air itu berkilauan di bawah cahaya yang menerobos kanopi, seperti permata yang memantulkan sinar.
“Akhirnya… air!” Serunya dalam hati, senyumnya merekah untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Tanpa ragu-ragu, dia berlari ke tepi kolam, membiarkan tubuhnya jatuh di tanah.
Tangannya langsung meraup air jernih itu, meminumnya dengan rakus. Setiap tegukan membawa sensasi dingin dan segar, seolah-olah kehidupan sedang mengalir kembali ke dalam tubuhnya.
Setelah puas meminum, Feng Yan duduk di tepi kolam, membiarkan angin sejuk menyapu tubuhnya yang lelah. Rasa syukur menyelimuti hatinya, dan untuk sesaat, dia tertawa kecil.
"Aku berhasil menemukannya… ini seperti keajaiban." Ucapnya pelan. Alam, meski penuh dengan bahaya, tampaknya masih memberi sedikit kelonggaran untuknya. Perjalanan yang berat ini mengajarkannya banyak hal, tetapi pada akhirnya, dia tahu bahwa selama dia bertahan, selalu ada harapan di ujung jalan.
"Terima kasih." Bisiknya pada air terjun itu, seolah alam memberikan jawabannya. Tekadnya untuk terus maju semakin kuat, karena di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.
Bahaya mungkin masih mengintai di balik keheningan hutan, tetapi Feng Yan siap untuk menghadapi apa pun yang datang.
Sementara itu Di Kediaman keluarga Cabang Klan Feng.
Di dalam aula besar keluarga Feng, suasana mencekam, seolah-olah setiap inci udara berat mengikat semua yang hadir dalam kecemasan. Feng Han, kepala keluarga Feng yang biasanya penuh wibawa, duduk di kursinya dengan pandangan kosong. Wajahnya tampak tegar, namun tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang menggulung di dalam dadanya.
Pagi itu, berita tentang hilangnya Feng Yan menyebar cepat di seluruh keluarga. Bukan sekadar hilangnya seorang anggota keluarga, melainkan seorang anak yang, meskipun tidak memiliki kejeniusannya seperti saudara-saudaranya, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga Feng. Kehilangan ini menciptakan ketidakpastian yang mengganggu rencana dan ambisi masa depan keluarga.
Di sekeliling meja besar di tengah aula, saudara-saudara Feng Han—Feng Kun, Feng Heng, Feng Ma, dan Feng Guo—berdiri dalam kecemasan. Tak satu pun dari mereka mampu menyembunyikan kekhawatiran yang tergurat di wajah mereka. Biasanya penuh percaya diri dan wibawa, kali ini mereka terdiam, seolah-olah kata-kata telah kehilangan maknanya di tengah rasa khawatir yang menyelimuti mereka.
Feng Kun, yang biasanya tegas dan berani, hanya bisa berdiri dengan kening berkerut, memikirkan apa yang mungkin terjadi pada Feng Yan. Meski dia tahu bahwa Feng Yan tidak pernah menjadi yang paling berbakat, tidak pernah mencapai prestasi gemilang seperti saudara-saudaranya, namun dia adalah anggota keluarga Feng. Dia adalah darah daging mereka.
Feng Heng, yang terkenal cermat dan analitis, berdiri dengan tangan terlipat, memandangi lantai dengan sorot mata yang penuh pikiran. Bagaimana mungkin Feng Yan yang selalu sederhana dan pendiam bisa menghilang tanpa jejak? Berbagai skenario muncul di benaknya, tetapi tidak ada yang menawarkan penjelasan yang menenangkan.
Feng Ma, biasanya yang paling ceria di antara mereka, tampak murung. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan takut yang menjalar dalam dirinya. Feng Yan mungkin tidak pernah sehebat mereka dalam hal kecerdasan atau kemampuan bela diri, tetapi dia selalu memiliki semangat yang kuat. Kehilangannya, meskipun tidak mempengaruhi kekuatan keluarga secara langsung, tetap terasa menghantam hati mereka semua.
Feng Guo, yang selalu berbicara dengan semangat dan kemarahan, kali ini hanya terdiam, menggertakkan rahangnya. Dia tahu Feng Yan sering diremehkan karena tidak secerdas mereka, tetapi tidak pernah terpikirkan bahwa Feng Yan akan menghadapi sesuatu seperti ini.
Rasa frustrasi dan kekhawatiran bercampur aduk dalam pikirannya, membayangkan kemungkinan terburuk.
Suasana hening dan tegang di dalam aula mendadak terpecah ketika Feng Han, dengan wajah serius, memecah keheningan. Dia mengeluarkan sebuah surat dari saku jubahnya dan mengangkatnya di hadapan saudara-saudaranya.
"Ini adalah surat dari Yan'er," Ucapnya dengan suara bergetar.
Semua mata terfokus pada surat yang dipegang Feng Han. Dia membuka perlahan kertas itu, menghirup napas dalam-dalam sebelum mulai membaca isi surat yang kini menjadi satu-satunya petunjuk tentang keberadaan putranya.
Surat Feng Yan:
Ayah, Paman, dan semua saudara-saudaraku,
Aku tahu bahwa selama ini aku tidak pernah menjadi yang terbaik di antara kalian. Aku bukan yang paling berbakat, bukan yang paling pintar, dan aku tidak pernah mencapai prestasi gemilang seperti saudara-saudaraku yang lain. Aku selalu menjadi yang terbelakang, yang dianggap lemah.
Aku minta maaf karena kelemahanku selama ini telah membuat keluarga merasa kecewa. Tapi aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketidakmampuanku. Keputusan untuk pergi adalah jalanku untuk memperbaiki diri, untuk menemukan kekuatan yang selama ini tidak bisa aku temukan di sini.
Meskipun aku tidak sehebat saudara-saudaraku, aku tetap bertekad untuk menjadi lebih kuat. Aku tidak ingin menjadi beban bagi kalian, apalagi bagi keluarga Feng. Suatu hari nanti, jika aku masih hidup dan berhasil, aku berjanji akan kembali sebagai seseorang yang layak untuk dihormati. Sebagai seseorang yang mampu membanggakan kalian.
Maafkan aku untuk segala kekecewaan yang aku buat, dan tolong doakan agar aku berhasil menemukan jalan yang benar.
Feng Yan
Saat Feng Han selesai membaca surat itu, suasana aula kembali diliputi keheningan yang mencekam. Meskipun Feng Yan tidak pernah dianggap sebagai penerus utama keluarga Feng, surat ini memperlihatkan keinginannya untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu menjadi sesuatu yang lebih. Di dalam surat itu terdapat keberanian, harapan, dan rasa putus asa yang selama ini mungkin tak pernah mereka lihat dari dirinya.
Kini, keluarga Feng hanya bisa berharap bahwa di mana pun Feng Yan berada, dia akan menemukan kekuatan yang dia cari, dan suatu hari akan kembali sebagai seseorang yang layak dihormati.
Sementara itu, Feng Tian, Feng Zhen, dan Feng Chen berdiri dalam keheningan yang penuh penyesalan setelah mendengar isi surat dari Feng Yan. Meskipun mereka selama ini sering mengejek dan meremehkan Feng Yan, itu semua hanyalah naluri anak-anak yang belum dewasa dan berpikiran pendek.
Mereka tidak pernah bermaksud menyakiti perasaan saudaranya, semua itu dianggap sebagai candaan belaka. Namun kini, perasaan bersalah menyelimuti hati mereka ketika menyadari betapa seriusnya keadaan.
Feng Tian menundukkan kepala, merasa sangat bersalah.
"Seharusnya aku lebih mendukung saudara Yan. Selama ini aku menganggap dia lemah, padahal mungkin dia hanya butuh waktu untuk menemukan jati dirinya.” Suaranya penuh penyesalan, seolah-olah ia ingin mengubah semua yang telah terjadi.
Feng Zhen menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata.
"Aku selalu berpikir kami bisa terus bersenang-senang tanpa memikirkan perasaannya. Sekarang aku menyesal telah mengabaikannya." Perasaan hampa menyelip di hatinya saat ia teringat akan semua saat-saat yang mereka lewati bersama.
Feng Chen, yang biasanya ceria dan energik, kini tampak lesu.
Kita seharusnya lebih peka terhadap perasaannya. Sekarang, semua yang kita lakukan terasa sia-sia,” Ujarnya, suaranya pelan dan penuh kesedihan.
Dia menyadari bahwa kehadiran Feng Yan sangat berharga dan merasa kehilangan yang mendalam. Feng Yan adalah sosok yang selalu bersemangat sabar dan tidak pernah marah.
Di sisi lain, Feng Xiao Lan merasa lebih cemas dan khawatir dibandingkan ketiga saudaranya. Tubuhnya gemetar dan hatinya terasa sakit melihat saudaranya pergi meninggalkan rumah.
Pikiran-pikiran gelisah menghantuinya.
"Bagaimana saudara Yan bisa bertahan? Di mana dia tidur dan makan? Bagaimana jika ada orang jahat yang mengganggu dan menindasnya? Aku harus menjadi lebih kuat dan mencari saudara Yan." Gumamnya dengan penuh tekad.
Sejak saat itu, Feng Xiao Lan berubah. Dia berlatih dengan sangat keras, dan sifatnya yang dulunya ceria kini menjadi lebih dingin. Hanya kepada Feng Tian, Feng Zhen, dan Feng Chen, ia tetap bersikap biasa, meskipun para saudaranya menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya.
Mereka maklum akan perubahan itu, terutama karena betapa dekatnya dia dengan Feng Yan. Terutama jika ada yang membicarakan hal buruk tentang Feng Yan, Feng Xiao Lan tidak segan-segan menunjukkan kemarahannya.
Dengan kekuatan es yang dimilikinya, ia bisa membekukan lawan bicaranya seolah-olah ingin mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh meremehkan saudaranya. Kekuatan dan tekad yang baru lahir dalam dirinya menjadi cerminan cinta dan rasa sayangnya yang mendalam kepada Feng Yan.
Kembali ke Hutan Senyap.
Hutan Senyap adalah tempat yang mencekam, dipenuhi bayang-bayang dan bisikan angin yang seolah menyimpan rahasia kelam. Pepohonan tinggi menjulang dengan cabang-cabang melengkung seperti tangan raksasa, seakan ingin merenggut siapa pun yang melintas.
Cahaya matahari hanya dapat menembus ke dalam hutan dengan sulit, menciptakan suasana gelap dan misterius. Suara binatang buas kadang terdengar jauh, menambah kesan angker yang mengelilingi Feng Yan.
Namun, di tengah suasana yang menakutkan itu, Feng Yan merasa hatinya berdebar-debar penuh kegembiraan ketika akhirnya menemukan air terjun yang megah. Suara gemuruh air terjun yang jatuh menyentuh batuan di bawahnya adalah melodi yang sangat dinantikan setelah perjalanan panjang dan melelahkan.
Melupakan semua rasa takut yang menyelimuti hutan, dia mendekati kolam yang jernih dan mengisi telapak tangannya dengan air dingin. Tanpa ragu, dia meminumnya sebanyak-banyaknya, merasakan kesegaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kesejukan air itu seolah menghapus semua rasa takut dan kelelahan yang menyelimutinya. Dia berteriak dengan gembira.
“Ini luar biasa!” Lagi lagi kata itu terucap dari bibirnya. Tidak memperhatikan suasana sekeliling yang mencekam, Feng Yan melepas pakaiannya dan melompat ke dalam sungai yang bening.
Air dingin menyambutnya, membelai kulitnya dan menghilangkan semua beban yang mengikatnya. Dia berenang dengan ceria, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikannya.
Setelah beberapa waktu bermain-main di dalam air, Feng Yan merasa perlu untuk mencuci kulit monster serigala yang berhasil dia buru sebelumnya. Dengan tekad, dia merendam kulit itu dalam air, menggosoknya dengan hati-hati sambil merasakan ketegangan dan ketakutan hutan yang mulai pudar.
Setelah selesai membersihkan kulit tersebut, ide untuk bereksperimen muncul di pikirannya. Dia ingin merajut kulit monster serigala itu menjadi mantel pelindung yang kuat.
Feng Yan duduk di tepi sungai, mengumpulkan energi Qi yang ada di sekitarnya. Dia mulai membentuk benang energi dari Qi, berusaha merajutnya perlahan-lahan ke dalam kulit monster. Namun, karena kekuatan Qi-nya masih lemah, dia berkali-kali mengalami kelelahan.
Energi Qi yang dia kumpulkan memudar dengan cepat, meninggalkan Feng Yan kehabisan tenaga. Dia berjuang memadatkan energi Qi dari alam sekitar, tetapi tubuh dan tingkat kultivasinya masih lemah sehingga kontrolnya saat memanipulasi energi juga sangat buruk.
Setelah beberapa kali istirahat, Feng Yan terus berusaha, mengatur napas dan memfokuskan pikirannya. Dia merajut benang energi dengan sabar, meski rasa lelah mulai menguasainya. Waktu berlalu, dan selama lima jam, dia terus berjuang, berkali-kali terjatuh dalam keletihan namun bangkit kembali dengan semangat yang tidak padam.
Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan, Feng Yan merasakan keberhasilan. Mantel dari kulit monster serigala itu benar-benar selesai dibuat. Dia memandang hasil kerjanya dengan penuh rasa bangga dan kepuasan.
Mantel merah itu berkilau di bawah cahaya sinar matahari. Bahkan ada semacam energi panas dari elemen api yang masih tersisa, Mantel itu kuat dan siap melindunginya dari segala ancaman di Hutan Senyap.
Dengan semangat baru dan rasa syukur, Feng Yan bersiap untuk melanjutkan petualangannya. Dia tahu bahwa meskipun Hutan Senyap mungkin menyimpan kegelapan.
Kehadiran air terjun yang menakjubkan ini dan mantel yang telah dibuatnya memberinya kekuatan dan ketenangan. Dengan keberanian dan semangat, dia siap menghadapi tantangan yang menantinya di luar sana.