"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MULAI DARI NOL
Kamar yang akan Zilfi tempati berada di kamar nomor 5 berisikan 7 orang , di antara semua kamar,, kamar Zilfi lah tampak lebih tenang dan besar dibandingkan kamar lain.
“Ini kamarmu. Kamu akan tinggal dengan satu teman sekamar, tapi sepertinya dia belum tiba. Silakan beristirahat dan membereskan barang-barangmu dulu,” ujar Rena salah satu santri yang paling dewasa di kamarnya sambil tersenyum. “Jika ada apa-apa, kamu bisa cari saya ya.”
Zilfi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil yang dipaksakan. Ia melangkah masuk ke dalam kamar, lalu pintu tertutup di belakangnya. Ruangan itu cukup luas untuk 7 orang, dengan lemari berjajar di sudut-sudut ruangan. Tidak ada dekorasi yang mencolok, hanya dinding putih bersih dan lantai kayu yang terawat.
Ia meletakkan kopernya di samping tempat tidur dan mulai membuka barang-barangnya satu per satu. Memasukkan pakaian ke dalam lemari, menata buku-buku di atas lemari.
Di tengah kesibukan mengatur barang-barangnya, pikiran Zilfi terus kembali ke kenyataan yang harus ia hadapi. Ibunya tidak tahu bahwa hari ini ia sudah berada di asrama. Ayahnya meminta agar rahasia ini disimpan rapat-rapat. Zilfi merasa terjebak di antara cinta kepada ibunya dan ketaatan kepada ayahnya. Bagaimana jika ibunya tahu? Bagaimana jika ia mencoba menghubungi Zilfi dan mendapati bahwa Zilfi tidak ada di rumah?
Ketakutan itu terus menghantui pikirannya, tetapi Zilfi berusaha untuk tetap tenang. Ia harus menjalani ini, setidaknya untuk sementara waktu.
Malam itu, setelah semua kegaduhan di asrama mereda dan lampu-lampu kamar dipadamkan, Zilfi berbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit kamar yang kosong. Pikirannya melayang kembali ke rumah, ke wajah ibunya yang tersenyum saat mereka terakhir kali bertemu. Rasanya aneh tidur di tempat asing tanpa ibunya tahu di mana ia berada.
Dalam kegelapan kamar, Zilfi merasakan kehampaan yang semakin dalam. Di tempat asing ini, ia tahu perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Hari pertama di asrama telah berakhir, tetapi perjuangan batinnya baru saja dimulai.
Dengan air mata yang akhirnya tumpah, Zilfi menutup matanya, berharap bahwa hari-hari ke depan akan memberinya jawaban atas semua kebingungannya. Namun, satu hal yang pasti ia harus menjalani ini, meski harus menyimpan rahasia besar dari ibunya.
Meski masih merasa canggung, Zilfi mulai menjalin hubungan dengan teman-teman di asramanya. Suatu sore, ketika ia dan Rena sedang duduk di kantin, seorang gadis lain bergabung dengan mereka. Namanya Riya, seorang santri tahun ketiga yang terkenal ramah dan cepat akrab dengan siapa saja.
“Hai, kamu anak baru, ya?” tanya Riya dengan senyum hangat. “Aku Riya. Boleh ikut duduk?”
“Boleh banget! Ayo duduk,” jawab Rena sambil tersenyum lebar.
Riya duduk dan mulai mengobrol dengan mereka. Dalam waktu singkat, mereka bertiga larut dalam pembicaraan yang ringan. Riya bercerita tentang kehidupannya di asrama, bagaimana dia awalnya juga merasa asing, namun seiring waktu asrama menjadi seperti rumah kedua baginya.
“Awalnya aku juga nggak suka tinggal di sini,” kata Riya sambil mengaduk minumannya. “Tapi, setelah beberapa bulan, aku jadi punya banyak teman, dan kita saling bantu. Asrama jadi tempat yang nggak terlalu buruk.”
Zilfi mendengarkan dengan saksama, meskipun ia masih sulit membayangkan asrama sebagai tempat yang nyaman. Namun, ia mulai merasa bahwa mungkin, suatu saat nanti, ia juga bisa menemukan tempatnya di sini.
Malam itu, setelah kembali ke kamar, Rena tersenyum pada Zilfi.
“Lihat kan, Fi? Pelan-pelan kita bisa punya teman-teman di sini. Lama-lama kamu bakal suka tempat ini,” kata Rena dengan nada optimis.
Zilfi tersenyum kecil. “Iya, semoga aja.”
Meski kata-kata Rena menghiburnya, Zilfi masih merasakan bayangan besar yang terus mengintai rahasia yang ia simpan dari ibunya. Setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, setiap kali ia tertawa dengan mereka, perasaan bersalah itu semakin dalam.