Pandemi korona, tidak mengubah apapun dari hidup Niki Arsenio. Ia tetap tidak punya pacar. Boro-boro pacaran, punya teman saja tidak. Salahnya, karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game alih-alih bergaul dengan anak-anak sebaya.
Sampai suatu ketika, Niki terperangkap oleh kecerobohannya sendiri. Akibat mengabaikan tugas sekolah, ia terpaksa menjadi pacar untuk tiga orang cewek sekaligus!
Bagaimana mungkin? Cewek? Mau jadi pacarnya? Udah gitu tiga orang pula!?
Dengan channel youtube yang harus diurus dan UAS yang sudah di depan mata, nggak ada waktu untuk Niki berpikir.
Demi membuktikan diri dan mempertahankan password WiFi, Niki pun harus berjibaku dengan plot klise seperti di anime-anime komedi romantis. Mampukah Niki melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pisanksalto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Administrator (Part 3)
Aku menatap datar cewek gila di depanku ini. "Kadang, aku bingung bagian mana dari ucapanmu yang berupa candaan dan serius."
"Mau coba memastikan?"
"Nggak gitu!"
Sial, aku benar-benar penasaran, kenapa Ferra menghukumku menjadi pacarnya. Bukan Cuma Ferra, sih, Sheina juga. Nggak mungkin, kan, mereka tiba-tiba kepikiran ide gila kayak gini? Pasti ada asal-usulnya. Motifnya. Cuman, mereka nggak mau bilang. Malu, kah? Gengsi, kah? Aku sama sekali nggak punya petunjuk. Arini? Nggak perlu ditanya. Cewek itu sudah jelas-jelas menolakku.
"Kalo kamu juga pertama kali, terus kenapa kemarin kamu sok-sok an mau ngajarin aku pacaran?" tanyaku, teringat akan janjinya tempo hari.
Dan saat itu juga, Ferra memekik. "Kyaaaa!" Diiringi gerakan tubuh yang perlahan rebah ke lantai. Arah jatuhnya, mengingatkanku pada batang pohon pisang depan rumah yang baru ditebang Ayah beberapa hari yang lalu. "Ternyata kamu masih mengingat kata-kataku! Aku seneng banget! Kyaaa!" Ferra histeris menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Napasnya tersengal.
Aku tercengang. Nggak percaya dengan tingkah ajaib Ferra. Mirip adegan dalam anime pas si cowok mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan si cewek. Si cewek lalu kesenangan dan mengira itu adalah tindakan paling perhatian yang ditujukan si cowok khusus untuknya. Padahal cuma sekedar basa basi. Aneh memang. Nggak realistis. Itulah mengapa, kukira Ferra hanya berakting sekarang ini.
Dari kejauhan tiba-tiba Tya berteriak. "Nona Ferra!" Dilemparnya nampan di tangan ke atas. Teko dan dua gelas antik itu pun melayang di udara beserta isinya yang tumpah. Tya berlari kencang dari dalam rumah ke arah gazebo. "Jauhkan tangan mesummu itu dari Nona Ferra!"
"Tunggu! Kamu salah paham! Aku nggak ngapa-ngapain—Akh!" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Tya sudah lebih dulu melompat. Sulit buatku yang sedang duduk bersila menghindari terjangannya. Aku pun terjengkal. Tya meniarapkan tubuhku lalu duduk di atasanya. Aku meringis, menahan rasa sakit dan senang. Sakit, karena Tya memiting lenganku lagi. Senang, karena satu dari tiga impian liar cowokku terkabul. Ya. Diduduki cewek. "Tolong, dengerin aku dulu. Ini semua salah paham!"
"Diam, kau, Penjahat Kelamin! Atau kupanggil polisi!" Tya mendorong kepalaku hingga dahiku menghantam lantai. Aw! "Nona Ferra, anda baik-baik saja?" Tya beralih pada Ferra, tapi tangannya menahan kepalaku. Persis kayak polisi membekap maling yang hendak kabur. Asem!
"Iya, aku baik-baik saja. Bahkan, aku nggak pernah sebaik ini." Setelah kembali tenang, Ferra menjelaska pada Tya kejadian sebenarnya. Tya percaya, lalu melepaskanku begitu saja. Tapi ia tetap curiga. Alih-alih balik ke dapur, Tya memilih menemani Ferra setelah kembali mengambilkan teh untuk ke dua kalinya.
Tya pun menuangkan teh ke dalam dua gelas berlainan. Menambahkan tiga sendok teh gula pasir ke dalam gelas pertama, menyajikannya pada Ferra. "Silakan, Nona Ferra."
"Terima kasih, Tya," Ferra menyeruput teh-nya sejenak, sebelum lanjut meng-scrol lini masa media sosialnya.
Tya lalu menoleh padaku. "Mau berapa banyak gulanya?"
Aku menggeleng cepat. "M-makasih. Aku bisa sendiri." Memasukkan dua sendok gula ke dalam gelas, entah mengapa dari tadi aku merasa seperti diawasi. Bahkan sampai tetes terakhir teh-ku, Tya tak henti-hentinya mengamati tiap gerak-gerik yang kuperbuat. Aku mulai merasa nggak nyaman. Apa seburuk itu aku di mata Tya? Padahal sudah jelas tadi itu hanyalah sebuah kesalahpahaman, lalu kenapa dia terus melihatku dengan tatapan seolah mengatakan "Masih, saya awasin." Meski kata-katanya sopan tetap aja nyeremin, njir!
Aku nggak tahan lagi, aku harus segera kabur dari sini!
Saat kepalaku tengah sibuk memikirkan cara untuk kabur, tiba-tiba muncul desakan hebat di bawah perut. Minta dikeluarkan. Aku pun segera berdiri. Ferra dan Tya memandangku heran.
"Emm, sepertinya ada panggilan alam. Permisi, ya. Aku segera kembali," kataku.
"Kamu tahu di mana letak kamar mandinya?" tanya Ferra.
Aku menggeleng. Ferra mengatakan padaku bahwa ada tiga jenis kamar mandi di rumahnya. Pertama, kamar mandi khusus anggota keluarga; Kedua, kamar mandi khusus tamu; Ketiga, kamar mandi khusus asisten rumah tangga termasuk supir dan satpam. Kamar mandi Ferra, terletak di lantai tiga di dalam kamarnya.
"Ngapain kamu kasih tahu aku kamar mandimu?" protesku, sambil mencak-mencak menahan dorongan yang semakin kuat.
"Siapa tahu kamu butuh."
"Bangeeet," cibirku. "Kasih tahu aja kamar mandi terdekat."
"Kalo gitu kamar mandi khusus asisten rumah tangga. Letaknya di lantai pertama dekat tangga dapur."
"Sekarang atau tidak sama sekali."
Apesnya, aku tetap nggak tahu bagaimana cara ke sana. Rumah Ferra lebih besar dari yang terlihat. Maksudku, dari luar saja sudah besar, apalagi dari dalam. Kurasa aku tersesat. Aku sudah melihat vas bunga ini lima kali. Aku berjingkit-jingkit menahan kencing. Masa aku kepikiran buat kencing di sebelah vas bunga, dong? Yang benar saja, otak! Rumah pacar pertamaku ini. Jaga attitude. Kencingin pohonnya lah sekalian, biar subur. Ngaco!
Di tengah keputusasaan itu, sang malaikat penyelamat muncul. Seorang wanita berdaster berumur kira-kira akhir dua puluhan keluar dari balik pintu. Memperkenalkan diri sebagai Mbak Siti. Perutnya buncit. Mengindikasi dia sedang hamil. Dengan senang hati, beliau pun mengantarku ke kamar mandi di lantai pertama.
Urusanku selesai lebih lama dari rencana. Sekembali aku dari kamar mandi, aku berniat langsung ke gazebo dan lanjut mengerjakan tugas. Atau setidaknya melakukan apapun yang nanti akan diminta Ferra dariku sebagai pacarnya. Sebab, hukuman masih berlanjut. Namun, langkahku terhenti saat aku mendapati Ferra merebahkan kepalanya di meja. Wajah itu lagi. Wajah seseorang yang kehilangan sesuatu, tapi tidak tahu sesuatu itu apa dan di mana harus mencarinya.
Aku hendak langsung menghampiri Ferra dan menanyakan apakah yang selama ini menggangunya itu berhubungan dengan hukumanku ketika Tya tiba-tiba sudah berdiri disampingku. "Tuan Niki Arsenio," katanya.
"Whoa!!!" Aku terlonjak. Kaget bukan main. "Kamu ini mirip Ferra, ya. Suka ngagetin orang!"
"Terima kasih. Banyak yang bilang saya mirip Nona Ferra, tapi saya rasa itu wajar. Karena Nona Ferra adalah satu-satunya keluarga saya. Tapi saya sama sekali tidak bermaksud mengagetkan Anda." Aku mengerutkan alis. Gaya bicara Tya terlalu berbelit-belit dan formal untuk cewek seusianya. Membuatku rada kesulitan memahami maksud kata-katanya. Seolah bisa mengetahui kebingunganku, Ferra melanjutkan. "Maksud saya memanggil Anda ialah untuk mengajak Anda tukar pikiran."
"Tukar pikiran? Tentang apa?"
"Nona Ferra."
Sebelah alisku terangkat. Meminta penjelasan lebih.
"Karena saya tidak bisa membujuk Nona Ferra lebih jauh lagi, saya pikir, saya harus menurunkan ego saya sendiri dan mencoba pendekatan berbeda dengan berbicara dengan anda selaku kekasih Nona Ferra. Mungkin beliau akan mendengarkan anda."
"Ok ok ok. Kamu bikin aku makin penasaran. Langsung ke intinya saja."
Tya mengalihkan pandangan pada Ferra yang tengah duduk sendirian di gazebo. Aku mengikuti. Ferra masih merebahkan kepala di meja. Melihatnya murung seperti itu, setelah menjadikanku bahan olok-olokan sedikit banyak membuatku puas. Tapi perasaan apa ini? Perasaan ingin mengejarnya dan bilang kalau aku peduli? Memalukan. Orang yang dihukum nggak berhak punya perasaan kayak gitu.
Tya berbalik, menunduk hormat. "Saya mohon Tuan Niki Arsenio, untuk putus hubungan dengan Nona Ferra."
Huh?