NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:334
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dimensi Lain

Rafael berjalan di koridor sekolah, langkahnya berat dan pikirannya berkecamuk. Suasana sekolah yang biasanya ramai terasa berbeda hari ini. Udara di sekitar terasa lebih dingin, dan suara riuh siswa yang bercanda-canda seakan teredam. Setiap langkahnya terasa seperti semakin jauh dari keramaian.

Lalu, tanpa peringatan, suara itu mulai terdengar. Pelan, seperti bisikan halus yang datang entah dari mana.

“Mereka semua jahat, Rafael... Teman-temanmu... Mereka nggak peduli sama kamu...”

Rafael berhenti sejenak, memicingkan mata. Siapa yang berbicara? Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sumber suara itu, tapi tidak ada siapa pun di sekitarnya. Koridor tampak sepi. Seseorang harusnya berada di dekatnya, kan? Tapi tidak ada apa-apa.

Dia menggeleng pelan, mencoba menenangkan pikirannya. “Diam! Gue nggak mau denger!” gumamnya pelan, setengah berharap suaranya bisa mengusir bisikan itu.

Namun, suara itu tidak berhenti.

“Kau tahu... Mereka semua cuma ngeledekin kamu. Mereka nggak pernah anggap kamu teman. Mereka cuma pengen liat kamu jatuh...”

Rafael berusaha menutup telinganya, tapi suara itu terus masuk, semakin jelas dan semakin mempengaruhi pikirannya. “Gak... nggak benar itu...” gumam Rafael, suaranya bergetar. Tubuhnya mulai menegang, kepalanya terasa penuh dengan suara-suara yang membuat dadanya semakin sesak.

Beberapa siswa yang kebetulan lewat menatap Rafael dengan bingung. Mereka melihat Rafael tampak berbicara sendiri, mulutnya komat-kamit seakan sedang melawan sesuatu yang tidak terlihat. “Dia kenapa, ya?” bisik seorang siswa kepada temannya, tapi mereka hanya lewat tanpa benar-benar peduli.

Sementara itu, di kepala Rafael, suara-suara itu terus berputar. Lebih kuat, lebih menguasai.

“Mereka cuma pengen kamu celaka, Rafael. Mereka nggak bisa dipercaya. Lebih baik kau ikut aku...”

Rafael meremas rambutnya, napasnya mulai tersengal. Dia menggigit bibirnya, berusaha melawan bisikan itu, tapi semakin dia berusaha, semakin kuat suara itu merasuk. “Diam... Diam!” teriaknya pelan, meski di dalam dirinya dia tahu suara itu tidak akan pergi begitu saja.

Tanpa sadar, kakinya mulai bergerak. Rafael mulai berjalan lagi, tapi kali ini langkahnya tidak terarah. Dia tidak lagi memperhatikan ke mana dia pergi. Seakan dalam keadaan setengah sadar, Rafael mulai berjalan menuju pekarangan sepi di belakang sekolah. Tempat yang jarang dikunjungi oleh siapa pun. Tempat yang sunyi, terpencil, dan tampak seperti berada di dunia lain.

“Ya... Ikut aku, Rafael. Tinggalkan mereka semua...”

Suara itu kini semakin kuat, menguasai pikirannya sepenuhnya. Dan tanpa dia sadari, Rafael terus melangkah menuju pekarangan itu, semakin jauh dari keramaian dan teman-temannya.

***

Jam pelajaran sudah hampir dimulai, tetapi Rafael belum juga kembali ke kelas. Tristan mondar-mandir di dekat jendela, matanya terus menatap ke luar dengan cemas. “Ke mana dia? Kenapa belum balik juga?” gumamnya sambil sesekali mengerutkan dahi. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran, tetapi dia tidak tahu harus mencari ke mana.

Seisi kelas mulai gelisah. Sorakan kecil-kecilan mulai muncul lagi dari beberapa teman yang masih saja tidak bisa menahan diri.

“Eh, Tristan masih nungguin pacarnya, tuh,” celetuk seseorang di sudut kelas. Beberapa tawa terdengar, meskipun kali ini tidak terlalu kencang. Sorakan kecil itu semakin menjadi, dan Tristan yang sudah di ambang batas kesabarannya langsung berhenti berjalan.

“Lo masih nungguin dia, ya? Gak bisa lepas dari dia, Tris? Beneran gak bisa sendirian, ya?” teriak salah satu teman dari belakang kelas, membuat tawa kecil pecah lagi.

Tristan mengepalkan tangannya. Napasnya mulai memburu, dan amarah yang tadi sudah coba dia tahan kini mulai mendidih lagi. Dengan langkah cepat, dia berjalan ke tengah kelas, berdiri tegak di depan teman-temannya yang masih asyik tertawa.

“Diam!” Tristan berteriak, suaranya menggelegar di dalam kelas. Sorakan dan tawa langsung terhenti, digantikan oleh keheningan yang mencekam.

Kelas mendadak hening. Semua orang menatap Tristan, yang kini berdiri dengan wajah merah karena marah. “Kalian pada gak ngerti, ya?” teriaknya lagi, suaranya bergetar dengan emosi. “Kalian semua terus ngejek gue sama Rafael, tapi kalian gak pernah tau apa yang sebenernya terjadi!”

Beberapa siswa menatap Tristan dengan bingung, sementara yang lain mulai merasa tidak nyaman. Tristan menggerakkan tangannya dengan frustrasi, menunjuk ke arah meja Rafael yang kosong. “Kalian tau Rafael belakangan ini celaka terus, kan? Kalian kira itu semua kebetulan? Kalian kira itu hal yang bisa diledekin?”

Tatapan Tristan semakin tajam. “Rafael dalam bahaya. Gue sahabatnya, dan gue gak bisa ninggalin dia sendirian! Gue pengen pastiin dia baik-baik aja. Tapi kalian malah bikin semua ini jadi lebih susah. Kalian ngejek, kalian nyebarin gosip, sementara Rafael bisa kenapa-napa setiap saat!”

Teman-teman sekelas Tristan terdiam, tidak ada yang berani menyela. Beberapa dari mereka mulai terlihat menyesal, sementara yang lain hanya bisa menunduk. Suasana kelas yang tadinya penuh dengan canda dan ejekan, kini berubah menjadi tegang dan sunyi.

Tristan menghela napas dalam-dalam, menatap setiap wajah di kelas itu dengan penuh kekecewaan. “Kalo Rafael sampe kenapa-napa... itu salah kalian! Bukan gue, bukan dia, tapi kalian yang bikin semuanya makin sulit.”

Tak ada yang menjawab. Keheningan terasa begitu tebal, hingga napas Tristan yang berat terdengar jelas. Beberapa siswa mulai saling melirik dengan cemas, menyadari betapa seriusnya situasi yang baru saja Tristan ungkapkan.

***

Rafael terus melangkah, seperti orang yang tidak sadar. Kakinya bergerak tanpa arahan, seakan ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke tempat yang lebih dalam, lebih gelap. Pekarangan sepi di belakang sekolah tampak sunyi, seperti dunia terpisah dari hiruk-pikuk para siswa yang ada di dalam gedung. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi menambah kesan misterius dan mencekam, dengan dedaunan tebal yang membuat suasana semakin tertutup.

Bisikan-bisikan itu tidak berhenti.

“Mereka jahat, Rafael. Mereka tidak peduli denganmu. Tinggalkan mereka... ikutlah bersamaku.”

Kepala Rafael terasa berat. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan mual yang mulai muncul. Seolah ada sesuatu yang sangat salah dengan tempat ini, namun langkah kakinya terus bergerak tanpa bisa ia kendalikan. Dalam hati, dia merasa semakin jauh dari kenyataan, seolah dunia yang dia kenal mulai kabur.

Ketika Rafael tiba di pekarangan, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Tanah di sekitarnya terasa semakin dingin, dan udara yang sebelumnya sejuk kini terasa menusuk kulitnya. Pandangannya mulai kabur, dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Dia menoleh ke belakang, ingin melihat apakah masih ada jalan kembali ke sekolah, tetapi yang dia lihat hanyalah kegelapan. Pekarangan yang seharusnya terbuka ke arah sekolah kini tampak seperti lorong gelap yang tidak berujung.

“Apa... yang terjadi?” bisik Rafael, suaranya hampir tak terdengar. Dia mencoba melangkah mundur, tetapi tubuhnya kaku. Di sekelilingnya, suasana berubah total. Sekolah, teman-teman, bahkan suara keramaian sekolah yang tadinya terdengar sayup-sayup, semuanya lenyap.

Pohon-pohon besar yang mengelilinginya terasa lebih tinggi dan lebih menakutkan, seperti raksasa yang mengawasi setiap gerakannya. Dedauan bergerak-gerak di atas kepala Rafael, meski tidak ada angin yang berhembus. Dan dari sudut pandangannya, dia bisa melihat bayangan-bayangan hitam melintas dengan cepat di antara pepohonan.

“Kau sudah masuk, Rafael... kau tidak bisa keluar lagi.”

Suara itu kini berubah menjadi lebih dingin, lebih menuntut. Rafael merasakan getaran aneh di tanah di bawah kakinya, seperti ada sesuatu yang sedang bergerak di bawahnya. Dia mencoba melangkah lagi, tetapi setiap langkah yang dia ambil malah membuat pekarangan itu terasa semakin menekan.

Dia mencoba mengatur napasnya, tetapi rasanya semakin berat untuk bernapas. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. “Apa... ini?” bisiknya lagi, matanya liar mencari jalan keluar. Namun, semua yang dia lihat hanyalah kabut tipis yang perlahan muncul dari tanah, menyelimuti seluruh area pekarangan.

Dan kemudian, di antara kabut, sosok-sosok mulai terlihat. Awalnya hanya seperti bayangan samar, tetapi semakin lama semakin jelas. Mereka tampak seperti orang-orang... atau setidaknya seperti sosok manusia. Wajah-wajah mereka pucat, hampir transparan, dengan mata yang tampak kosong. Mereka berdiri di kejauhan, menatap Rafael dengan pandangan yang menakutkan.

“Siapa... kalian?” Rafael mencoba berbicara, suaranya gemetar. Tetapi sosok-sosok itu tidak menjawab. Mereka hanya berdiri diam, semakin mendekat tanpa menggerakkan kaki. Tubuh mereka tampak seperti melayang di atas tanah, seolah mereka bukan bagian dari dunia ini.

Rafael merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia mundur, tetapi kakinya terperosok ke dalam tanah yang terasa semakin lengket, seakan-akan tanah itu ingin menahannya di sana.

“Mereka bukan temanmu, Rafael. Mereka hanya ingin menyakitimu... mereka ingin kau menderita...”

Bisikan itu terdengar lagi, tapi kali ini lebih dalam, seolah datang langsung dari pikirannya sendiri. Bayangan-bayangan itu semakin dekat, dan sekarang Rafael bisa melihat dengan jelas wajah-wajah mereka. Wajah-wajah yang familiar... wajah teman-temannya. Tristan. Nasya. Bimo. Mereka semua ada di sana, tetapi dengan mata kosong yang menatapnya tanpa ekspresi, seolah-olah mereka adalah versi gelap dari teman-temannya yang sesungguhnya.

Rafael mulai merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. “Tidak... ini gak mungkin!” teriaknya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pekarangan yang kini tampak hidup. Setiap gerakan yang dia lakukan semakin memperparah situasi, seakan-akan tempat itu ingin menelannya hidup-hidup.

Sosok Tristan melayang paling dekat, mulutnya terbuka, tetapi suara yang keluar bukanlah suara Tristan. Suara itu adalah gema dari bisikan yang sudah mengganggu Rafael sejak awal.

“Mereka bukan temanmu... mereka ingin kamu jatuh... ikutlah bersamaku...”

Dengan sisa-sisa tenaga, Rafael mencoba berontak, memukul udara di sekitarnya seolah ingin menyingkirkan sosok-sosok itu. “Pergi! Pergi dari sini!” teriaknya keras, tetapi suaranya hanya bergema di antara pohon-pohon tinggi. Tidak ada yang mendengarnya. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya.

Bayangan Tristan mendekat, dan sebelum Rafael bisa melakukan apa-apa, sosok itu langsung menerjangnya dengan tangan dingin yang melingkar di lehernya. Rafael merasakan napasnya semakin sesak, dunia di sekitarnya semakin kabur.

Dan kemudian... gelap.

1
KrakenTidur
wkwkwk benjut T_T
KrakenTidur
ikut dag-dig-dug aku ;-;
KrakenTidur
tadi g isi bensin dulu, sihh
KrakenTidur
sedih 😔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!