[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]
Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.
Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALTAIR AGUNG CARIYAWARTA DATANG
Sepeninggal Arka, Bu Harnum segera menghampiri Diyan dan mencoba mencairkan suasana. "Sini, ibu bersihkan dulu tangannya."
Dia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Diyan pun tidak menolak saat sang ibu meraih tangannya untuk dibersihkan. Bu Harnum memperhatikan darah kehitaman yang keluar dari luka Diyan dan tiba-tiba saja tersenyum.
"Nggak apa. Kalau darah kotornya sudah habis, lukanya juga bakal menutup sendiri," ujarnya dengan suara bergetar dan senyum pun semakin lebar.
Pak Satria bergegas mendekat dan ikut memperhatikan. Benar saja, darah itu sekarang kehitaman, tidak merah segar seperti yang tadi.
"Itu berarti An baik-baik saja, kan? An, kamu masih ngerasa aliran darahmu ndesak di bawah kulit, nggak?"
Diyan tidak langsung menjawab. Dia menatap terpaku ke depan sambil berkonsentrasi untuk merasakan aliran darah dalam tubuh. Setelah cukup lama, dia pun menggeleng.
Saking leganya, Bu Harnum tidak bisa menahan diri. Dipeluknya Diyan erat-erat. "Syukurlah. Puji Sahen Yang Agung."
Sementara itu, Pak Satria tidak mengucap apa-apa, tetapi embusan napas lega sudah mewakili apa yang dirasakan hatinya.
"Maaf ...." Diyan berbisik dengan suara tersendat.
"Lupakan, yang penting sekarang kamu baik-baik saja." Bu Harnum menepuk-nepuk lembut punggung putra bungsunya penuh sayang. Tatapannya pun lembut sarat akan pengertian.
Pak Satria mengacak sayang rambut Diyan sambil berujar, "Basah, lepek. Mending mandi dulu sana."
Diyan mengangguk juga tersenyum seperlunya. Sentuhan ayah dan ibunya terasa hangat dan menentramkan. Membuat perasaannya jauh lebih baik dan dia pun jadi heran. Kenapa tadi begitu marah?
Di dapur, Pak Fikri dan Bu Salamah yang tetap tinggal untuk membantu menyiapkan makan malam, bekerja dengan cekatan sambil bercengkrama. Suara keduanya terdengar samar-samar sampai ke kamar Arka.
Masih dalam balutan bathrobe warna putih, rambut pun masih basah, Arka duduk termenung di tepi pembaringan. Dia sangat menyesal karena sudah membentak adiknya. Menyesal kenapa bisa lepas kendali.
Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan penuh penghayatan, dia berharap dadanya yang terasa sempit bisa lega. Namun, ternyata tiada guna, dadanya tetap saja bagai terhimpit.
"Salam sejahtera, Arka." Ucapan salam tanpa ada wujud itu menggema di udara dengan tiba-tiba. Arka pun buru-buru bangkit.
"Sugeng rawuh dan salam sejahtera, Guru Agung Cariyawarta," ucapnya sambil menunduk khusyuk.
Gumpalan cahaya muncul tepat di depan Arka dan wujudnya perlahan berubah menjadi sosok manusia bersayap berjubah emas. Dialah sang Altair Agung Cariyawarta.
Mengangkat wajah, senyum Arka terkembang lebar nan tulus, matanya pun berbinar penuh kerinduan. "Akhirnya Guru Agung Cariyawarta datang berkunjung." Bibirnya yang bergetar berujar lirih.
Altair Agung Cariyawarta balas tersenyum. "Semua telah direncanakan, sekecil apa pun diperhitungkan, tidak akan datang terlambat ataupun terlalu cepat. Nasib bisa diperbaiki, setelah takdir digenapi," tuturnya arif dengan suara lembut laksana pelantun kidung surgawi.
Arka menatap terpaku dengan mata sayu yang tampak lebih hidup, senyum pun masih menghiasi wajahnya. Altair Agung Cariyawarta yang dia ditunggu-tunggu kedatangannya, sekarang sudah berdiri dihadapan. Rasanya seperti sedang bermimpi.
"Sepertinya kamu butuh pakaian." Altair Agung Cariyawarta menyentuh bahu Arka dan keajaiban pun terjadi, bathrobe yang dikenakanya berubah menjadi jubah putih cemerlang.
"Terima kasih, Guru Agung Cariyawarta."
Hanya senyum tipis nan tulus yang altair agung beri sebagai balasan ucapan terima kasih dari Arka. Dia lalu duduk di tepi pembaringan dan meminta Arka untuk duduk di sampingnya.
"Arka, jika ada yang ingin kamu ketahui, tanyakanlah."
Keduanya duduk bersisian dalam suasana santai. Meskipun Arka sangat menghormati dan menjunjung tinggi Altair Agung Cariyawarta, tetapi dia sudah terbiasa bersama sang altair agung itu dari kecil. Jadi baginya, selain sebagai guru, Altair Agung Cariyawarta juga seperti saudara tuanya. Dalam bersikap dan bertutur kata, tidak ada kecanggungan sedikit pun meski tetap saja terkesan formal.
"Apakah itu berarti aku boleh bertanya apa pun?"
"Tentu saja." Altair Agung Cariyawarta tersenyum lembut. "Sudah saatnya kamu mengetahui semua yang seharusnya kamu ketahui."
Cukup lama Arka terdiam untuk berpikir dan menimbang yang mana yang akan dia tanyakan lebih dahulu. Altair Agung Cariyawarta menunggu dalam diam. Dia tahu Arka tidak tamak. Walau diizinkan bertanya apa pun, tidak lantas akan membuat altair muda itu menumpahkan semua unek-uneknya. Arka pasti sedang memilah dan akan memilih yang menurutnya paling penting.
"Guru Agung, kenapa An harus dibesarkan di bumi dan kenapa aku yang diutus untuk menjadi saudaranya?" Akhirnya Arka melontarkan pertanyaannya.
"Karena Diyan harus menggenapi takdirnya, begitu juga kamu. Kamu yang diutus karena kalian sebelumnya adalah satu," jawab Altair Agung Cariyawarta lugas dan tenang.
Dahi Arka pun seketika mengernyit. Dia dan Diyan sebelumnya adalah satu, bagaimana mungkin itu terjadi? Dia masih ingat betul ketika pertemuan pertama, Diyan masih bayi, sedangkan dirinya sudah berusia lima tahun. Dia dari Sahen Gaganantara dan Arka dari ....
"Gimana mungkin aku dan An adalah satu? Bukannya saat bertemu di Mega Dipta, An masih bayi?"
"Itu karena dia telah mengambil sebagian dirimu dan kami baru bisa merebutnya kembali setelah melakukan pengejaran selama lima tahun waktu di bumi."
"Dia? Dia siapa?"
"Namanya Cariyabanu. Satu-satunya Altair Agung yang pernah berkedudukan lebih tinggi dari Altair Agung Cariyapurna."
Lagi-lagi dahi Arka mengernyit. Rasanya sulit membayangkan pernah ada Altair Agung yang mampu melebihi Altair Agung Cariyapurna.
"Dia dibutakan oleh kesombongan dan keserakahan akan kemuliaan, hingga akhirnya jatuh dalam pencobaan, mencuri cahaya mulia, dan mengkhianati Sahen Gaganantara."
Arka terdiam, tetapi binar di matanya menyiratkan rasa ingin tahu. Hanya saja hatinya ragu. Masihkah dia boleh mengajukan pertanyaan? Sepertinya dia sudah terlalu banyak bertanya.
Memahami muridnya dengan sangat baik, Altair Agung Cariyawarta tersenyum teduh. "Bukankah aku sudah bilang kamu boleh bertanya apa pun?"
Senyum penuh syukur pun seketika menghiasi bibir Arka. "Terima kasih, Guru Agung. Kalau begitu apa hubungan semua itu denganku dan An?"
"Kamu adalah cahaya itu dan sebagian cahaya yang dicuri oleh Cariyabhanu menjelma menjadi Diyan. Cahaya Diyan pernah mendekam di dalam jantung makhluk yang penuh angkara murka dalam waktu yang cukup lama, pastinya sedikit banyak telah tercemar. Diyan harus memurnikan jiwa, mengusir sisa-sisa Cariyabhanu yang menempel padanya. Bila berhasil maka dia bisa tinggal kembali di Sahen Gaganantara. Namun jika gagal, jiwa raganya akan musnah. Di Sahen Gaganantara tidak ada tempat baginya, di alam fana pun tidak, bahkan di alam bawah pun tidak."
Arka merasakan detak jantungnya seperti tersendat sesaat, ludah yang dia telan paksa pun rasanya seperti gumpalan batu mengganjal kerongkongan.
Altair Agung Cariyawarta menepuk bahu Arka, kemudian meremasnya lembut. "Hanya kamu yang bisa menolong Dyan. Oleh karena itulah kamu yang diutus. Kalian sungguh-sungguh memiliki ikatan."
"Apa yang harus aku lakukan?" Wajah Arka pucat dan tegang.
Senyum yang sedari tadi senantiasa menghiasi wajah Altair Agung Cariyawarta pun telah sirna, sekarang garis rahangnya terlihat semakin tegas dengan bibir terkatup rapat. Remasan pada bahu Arka pun kian menguat sebagai bentuk dukungan.
"Tiga hari lagi Diyan genap berusia tujuh belas tahun. Lusa, sebelum tengah malam kamu harus membawa dia ke Mega Dipta. Mungkin akan ada sedikit gangguan, tapi jangan khawatir. Harnum dan Satria sangat bisa diandalkan."
”Ha-hanya itu?" Saking tegangnya, untuk mengutarakan pertanyaan singkat saja, rasa-rasanya Arka tidak mampu. Lidahnya terasa sangat kelu.
Altair Agung Cariyawarta menggeleng dan berkata, "Tidak. Ini hanyalah permulaan."
[Bersambung]
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/