🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Terombang-ambing
Hafsa turun dari mobil setelah Mabrur memarkirkan kendaraan roda empat itu di parkiran pesantren. Sembari berpegangan pada badan mobil, Hafsa berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang mulai limbung. Kepalanya pusing sekali, ia harus cepat-cepat minum obat untuk meredakannya.
"Ning," Sebuah tangan besar meraih pergelangan tangan Hafsa, mencegahnya jatuh ke tanah. Hafsa menoleh, tampak Gus Ihsan melihatnya dengan tatapan khawatir.
"Ah, maaf Ning," Gus Ihsan melepaskan pegangannya, menyadari apa yang ia lakukan kurang pantas. "Saya reflek karena melihat njenengan mau jatuh,"
"Tidak apa-apa Gus," Hafsa cepat-cepat menjauh, untunglah keseimbangannya sudah kembali. "Kok, njenengan bisa di sini?"
"Oh, kebetulan saya sedang ada sosialisasi di pesantren sekitar sini, terus saya dapet telpon dari anggota kalau Umi Zahra masuk rumah sakit. Makanya saya cepat-cepat datang supaya bisa menjenguk,"
"Oh begitu. Alhamdulillah Umi sekarang sudah baik-baik saja Gus, cuma memang harus dirawat dulu beberapa hari di rumah sakit,"
"Alhamdulillah," Gus Ihsan merasa lega mendengar penjelasan Hafsa. "Tapi Ning, njenengan nggak menjaga Umi ke rumah sakit?"
Hafsa terdiam sejenak. Mau tidak mau ia kembali mengingat argumennya bersama Gus Sahil tadi.
"Saya harus urus para anggota PPI Gus, sekalian mengawasi para santri," Jawabnya sembari memalingkan muka, takut raut sedihnya ketahuan.
"Yasudah Ning, kalau begitu biar saya bantu," Gus Ihsan menawarkan diri.
"Memang njenengan tidak sibuk Gus?"
Gus Ihsan menggeleng. "Sosialisasinya sudah selesai. Tiga hari ke depan saya mungkin ikut menginap di sini. Tapi, njenengan tidak apa-apa kan Ning? Wajah njenengan pucat sekali,"
Hafsa spontan menyentuh wajahnya yang memang panas dingin. "Tidak apa-apa Gus, hanya agak demam sedikit,"
"Kalau begitu, njenengan istirahat saja di ndalem. Biar saya yang handle semuanya dulu,"
"Jangan Gus," Hafsa menggeleng lemah. "Saya takut merepotkan njenengan,"
"Tidak apa-apa Ning, saya yang nggak tega membiarkan njenengan seperti ini,"
Hafsa mengangguk lemah. Baiklah, lagipula badannya sudah lemas sekali. Ia harus istirahat dulu sekarang.
...----------------...
Gus Sahil masih duduk di depan kursi tunggu kamar pasien dengan muka lesu. Kemejanya sudah diganti dengan yang baru. Tangannya kemudian sibuk mengetik pesan, membalas satu persatu ucapan doa untuk Umi Zahra dari para kyai dan jamaah.
Roha keluar dari ruangan. Ia sudah selesai membantu Umi Zahra ke kamar mandi. Gus Sahil mendongakkan kepalanya melihat kemunculan Roha.
"Sudah makan, mbak?" Gus Sahil bertanya lembut.
Roha menggeleng. "Saya puasa Gus,"
"Oh, maaf," Gus Sahil tampak menepuk-nepuk kedua pahanya canggung.
"Gus," Roha yang hendak pergi berbalik lagi, tampak ragu-ragu berucap.
"Ada apa mbak?" Gus Sahil mengerutkan dahi.
"Saya mau minta maaf. Gara-gara saya, njenengan dan Ning Hafsa harus cekcok tadi,"
Gus Sahil menggelengkan kepalanya. "Bukan salahmu mbak,"
"Tapi saya merasa tidak enak Gus. Seharusnya memang yang berada di sini itu Ning Hafsa, selaku istri njenengan sekaligus menantu Umi Zahra,"
"Sudahlah mbak," Gus Sahil menenangkan. "Tadi aku sudah bilang ke Hafsa, dan dia mau mengerti kok,"
Roha menggigit bibir. Sebagai sesama perempuan, dia jelas mengerti bagaimana perasaan Hafsa yang sebenarnya.
"Saya harap, njenengan memperlakukan Ning Hafsa dengan baik Gus," Roha berkata lirih.
Pandangan Gus Sahil seketika beralih ke Roha. "Maksud kamu?"
"Saya harap, njenengan sudah melupakan masa lalu kita,"
"Kalau aku bilang belum, apa kamu percaya?"
Roha tercekat. Ia tak menyangka jawaban tersebut akan keluar dari mulut Gus Sahil.
"Memang, kamu sudah melupakan semuanya Ha?" Gus Sahil bertanya lagi. Kali ini ia tidak menyebut Roha dengan panggilan 'mbak'.
"Saya.." Roha memilin ujung pakaiannya gugup. "Saya akan berusaha melupakan njenengan. Saya akan menerima lamaran Kang Alwi, jadi saya pasti akan melupakan njenengan,"
Wajah Gus Sahil seketika mengeras. "Apa kamu bilang?!"
"Mari berbahagia dengan pasangan kita masing-masing Gus,"
Roha beranjak pergi, Gus Sahil hendak menyusul, tapi kemunculan Umi Hana dan Abah Ali membuat langkahnya berhenti.
"Hil, gimana keadaan Umi?" Umi Hana bertanya dengan nada khawatir, membuat Gus Sahil harus menjelaskan dengan pelan-pelan. Bahwa Umi baik-baik saja, dan sekarang hanya perlu dirawat untuk memaksimalkan kesembuhannya. Sejenak, Gus Sahil menatap terlebih dulu pintu yang tadi dilewati Roha, sebelum masuk ke kamar mengantarkan kedua mertuanya.
...----------------...
Malamnya, Hafsa datang ke rumah sakit bersama dengan Mabrur dan Gus Ihsan. Gus Ihsan sampai kerepotan membawa dua kantong plastik besar, membuat meja rumah sakit tiba-tiba penuh dengan buah-buahan.
"Nggak usah repot-repot loh Gus," Umi Zahra merasa tak enak hati.
"Tidak repot sama sekali Umi," Gus Ihsan menyalami Umi Zahra, kemudian menyalami Abah Baharuddin, Abah Ali dan Umi Hana.
"Kenapa kamu bisa bareng Gus Ihsan?" Gus Sahil bertanya penuh selidik, sedikit berbisik supaya tidak kedengaran yang lain.
"Gus Ihsan tadi membantu saya mengurus para santri, jadi ikut sekalian waktu saya bilang mau kesini,"
"Jadi kamu dengan Gus Ihsan satu mobil?"
"Menurut njenengan? Memang Gus Ihsan lari di belakang mobil?" Hafsa menjawab kesal. Sakit kepala membuatnya makin tidak sabar meladeni pertanyaan tidak penting Gus Sahil.
Gus Sahil menatap tajam ke arah Gus Ihsan yang sudah tampak akrab dengan kedua orang tua dan mertuanya. Pembawaan Gus Ihsan yang supel memang membuat semua orang suka bicara dengannya.
"Nanti Hafsa nginep kan Nduk?"
Tangan Hafsa yang masih sibuk mengupas apel terhenti. Pertanyaan Umi Zahra membuatnya terkejut.
"Sa, ditanyain Umi Zahra itu loh, kenapa malah bengong?" Umi Hana menyadarkan Hafsa.
"Oh, begini Umi.." Hafsa menjawab terbata-bata.
"Loh, kok masih mikir to Hafsa? Ya sudah jelas kamu nginep di sini lah menemani mertuamu," Umi Hana menyahut dengan tidak sabar. "Kamu ini mikirin apa to?"
Hafsa melirik ke arah sang suami yang tampak kebingungan.
"Sebenarnya, saya yang minta Hafsa untuk pulang ke pondok saja Mi, soalnya tidak ada keluarga ndalem yang menjaga para santri sekarang," Gus Sahil menjelaskan.
"Loh, kan ada kamu Hil?" Umi Zahra bertanya keheranan. "Kamu saja yang pulang ke pondok, biar Hafsa jagain Umi di sini,"
"Tapi Mi?" Gus Sahil merasa tidak rela. "Sahil pengen nemenin Umi,"
"Kamu ini kaya anak kecil saja Hil," Umi Zahra mendengus. "Sudah, kamu pulang sana. Umi pengen diurus sama menantu Umi,"
Raut wajah Gus Sahil seketika berubah masam. Ia melirik Hafsa yang tampak tidak peduli. Istrinya itu terlihat sibuk mengupas apelnya kembali.
Pada akhirnya, Gus Sahil malam itu pulang ke pondok bersama Abah Baharuddin. Tentunya ada Gus Ihsan dan Mabrur juga di sana.
"Jadi program Abah nanti begini San," di bangku belakang, Abah Baharuddin tampak seru membahas program pondok dengan Gus Ihsan.
"Wah, itu sudah bagus Bah, tapi kalau boleh menambahkan, menurut saya lebih baik begini,"
Gus Sahil yang mendengar percakapan mereka hanya bisa memanyunkan bibir, sama sekali tidak ada celah untuknya masuk ke obrolan mereka.
Sebagai gantinya, Gus Sahil mengalihkan pandangan ke arah Mabrur. Merasa kaget setelah menyadari sesuatu.
"Loh, kamu kapan cukur rambut Brur?" Gus Sahil terheran-heran. Seingatnya sejak tadi Mabrur sibuk bolak-balik mengantarkan keluarganya ke ndalem dan rumah sakit.
"Oh, tadi waktu njenengan suruh saya antar Ning Hafsa pulang, saya disuruh cukur rambut dulu Gus,"
"Oh," Gus Sahil mengangguk-anggukkan kepala.
Ia baru menyadari kalau Hafsa ternyata cukup perhatian juga pada orang di sekitarnya.
"Oh iya Gus," Gus Ihsan tiba-tiba menginterupsi. "Tadi waktu di pondok, saya lihat wajah istri njenengan pucat, sepertinya beliau sedang sakit,"
"Iya Gus, tadi Hafsa bilang ke saya kalau dia agak demam," bohong Gus Sahil. Mana mungkin kan dia menjawab tidak tahu di depan Gus Ihsan? Walau sebenarnya memang itu kenyataannya.
Gus Sahil tampak mengingat-ingat percakapannya dengan Hafsa tadi, tapi tak ada satupun perkataan Hafsa yang mengeluh kalau dirinya sakit. Kalau Hafsa memang benar-benar sakit, kenapa istrinya itu tidak bilang padanya?