Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
Ruang BK di sekolah itu selalu memiliki aroma yang sulit dijelaskan. Campuran dari kertas tua, pengharum ruangan murahan, dan… tekanan yang tak terlihat. Kebanyakan siswa datang ke sana bukan untuk ‘konseling’, tapi karena disuruh. Seperti ruang interogasi yang dibungkus label ‘bimbingan’.
Dita duduk di sofa abu-abu yang keras, menunggu giliran dipanggil. Podcast-nya yang viral bersama Juno dan Nala menarik perhatian banyak pihak—termasuk Bu Sinta, guru BK.
Tak lama, pintu terbuka. “Dita, masuk ya,” kata Bu Sinta dengan senyum tipis yang seperti... bukan senyum.
Dita masuk, duduk, dan meletakkan tasnya di samping kursi.
“Kamu sehat, Dit?” tanya Bu Sinta sambil membuka catatan.
“Sehat, Bu.”
“Saya udah denger podcast kamu. Yang tentang... ingin jadi bodoh.”
Dita menahan napas. “Iya, Bu.”
“Kenapa kamu merasa ingin seperti itu? Kan kamu selama ini pintar, berprestasi.”
“Itu justru masalahnya, Bu,” ucap Dita, suaranya pelan. “Saya capek harus terus jadi sempurna. Nilai, ekspektasi, semuanya bikin saya gak bisa nafas.”
Bu Sinta menulis sesuatu di catatannya. Dita mencuri pandang. Tulisan tangan itu rapi tapi tegas. Terlalu tegas.
“Kamu pernah cerita ini ke orang tua kamu?” tanya Bu Sinta lagi.
Dita menggeleng. “Takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut dianggap manja.”
Hening sebentar. Lalu Bu Sinta bersandar. “Dita, saya ngerti kamu punya tekanan. Tapi kamu juga harus hati-hati. Di usia kalian, banyak yang terlalu larut dalam emosi. Kadang yang kalian anggap ‘kebebasan berekspresi’ bisa jadi bumerang.”
“Podcast itu bukan untuk memberontak, Bu. Kami cuma... jujur.”
“Kejujuran itu bagus, tapi kalau salah cara, bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
Dita menatap mata Bu Sinta. “Iya Bu, makanya kami bilang pelan-pelan. Gak semua orang bisa langsung ngerti. Tapi bukan berarti kami harus diam.”
Suasana jadi canggung.
Lalu, tiba-tiba Bu Sinta berkata, “Kamu pernah ikut konseling sebelumnya?”
“Belum.”
“Oke. Saya mau mulai jadwal rutin untuk kamu. Seminggu sekali. Bukan karena kamu bermasalah, tapi biar kamu bisa cerita. Siapa tahu, kamu bisa lihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda.”
Dita ingin menolak. Tapi ia juga tahu, mungkin ini bisa jadi ruang aman—kalau bukan sekarang, mungkin nanti.
“Iya, Bu,” jawabnya pelan.
Sore itu, Dita keluar dari ruang BK dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah pertemuan itu berguna, tapi satu hal yang ia sadari: menjadi jujur memang tidak nyaman. Tapi setidaknya, itu nyata.
Sementara itu, Juno dan Nala sedang duduk di perpustakaan. Membuka komentar di episode terbaru.
“Lo lihat ini?” tanya Nala sambil menunjukkan komentar:
‘Dita mewakili semua anak pintar yang sebenarnya tertekan. Thanks, Podcast Gagal Paham.’
Juno tersenyum. “Dia berani akhirnya.”
“Dan dia yang paling kita pikir akan susah ngomong.”
“Gue rasa, generasi kita ini bukan gak bisa bicara. Kita cuma capek ngomong tapi gak didenger.”
Nala mengangguk. “Makanya kita terusin podcast ini. Bukan buat viral. Tapi buat jadi suara buat yang gak bisa bersuara.”
Sepulang dari ruang BK, Dita tidak langsung pulang. Ia duduk di halte sekolah yang menghadap ke lapangan. Angin sore berhembus pelan. Sepi. Cuma suara gemerisik daun yang menari di antara bangku-bangku kosong.
Pikirannya masih berputar. Tentang kata-kata Bu Sinta. Tentang podcast. Tentang dirinya sendiri yang selama ini terlalu takut untuk jujur.
Juno datang menyusul, membawa dua es teh dalam plastik. “Tadi lo dipanggil Bu Sinta ya?”
Dita mengangguk pelan. “Dia suruh gue konseling seminggu sekali.”
“Karena podcast?”
“Karena gue ‘terlalu jujur’, katanya.”
Juno duduk di samping Dita. Menyerahkan satu es teh. “Gue heran deh. Sekolah ngajarin kita buat jujur, tapi giliran kita jujur, malah dianggap nyusahin.”
Dita tersenyum kecil. “Kayaknya yang mereka mau itu jujur yang... sesuai kurikulum.”
Juno tertawa kecil. “Iya. Jujur versi buku paket.”
Sesaat, tak ada yang bicara. Hanya es teh yang tinggal setengah, dan senja yang mulai menutup hari.
“Gue takut, Jun,” kata Dita akhirnya. “Kalau podcast ini bikin kita semua dalam masalah.”
Juno mengangguk. “Gue juga. Tapi lebih takut kalau kita gak ngomong apa-apa.”
Dita mengangguk pelan. Dalam diam, ada kesepakatan yang tak diucap: bahwa mereka memilih untuk tetap bersuara—meski pelan, meski takut.
---
Keesokan harinya, ruang BK kembali sibuk. Kali ini bukan Dita yang dipanggil, tapi Nala. Dan tak lama setelah itu, Juno menyusul.
Ternyata, Bu Sinta ingin membuat “kelompok konseling khusus” untuk mereka bertiga. Alasannya: supaya mereka bisa “menyalurkan keresahan dengan cara positif.”
“Dengan kata lain, Bu Sinta mau kita diem di podcast,” bisik Nala saat mereka duduk di ruang tunggu.
“‘Menyalurkan keresahan dengan cara positif’ \= diem dan ikut ekstrakurikuler debat,” sahut Juno.
Dita hanya mengangguk, menatap lantai.
Tak lama, mereka bertiga dipanggil masuk bersama. Di dalam, Bu Sinta duduk dengan senyum hangat, tapi kaku.
“Saya apresiasi keberanian kalian. Tapi saya juga khawatir. Podcast itu... sangat terbuka. Dan beberapa guru merasa tersinggung. Kita harus jaga nama baik sekolah.”
Juno menatap lurus. “Bu, kami gak pernah sebut nama sekolah. Gak ada guru yang kami sebut juga.”
“Betul. Tapi banyak yang merasa, narasi kalian terlalu... menyudutkan.”
“Bu,” Dita menyela, suaranya tenang tapi tegas, “kalau kami bilang kami kelelahan dan itu menyindir sistem, apakah sistemnya yang salah... atau kami yang harus diam?”
Pertanyaan itu membuat Bu Sinta terdiam sejenak.
Nala menambahkan, “Kami cuma pengen bicara, Bu. Yang lain mungkin gak bisa. Tapi kami bisa. Jadi kenapa harus ditahan?”
Bu Sinta memijat pelipisnya. “Saya tidak melarang. Tapi kalian harus siap dengan konsekuensi. Dunia ini tidak selalu ramah dengan kejujuran.”
“Kami tahu,” jawab Juno, “Tapi lebih baik kami tahu dari sekarang, kan, Bu?”
Setelah pertemuan itu, suasana sekolah mulai berubah. Beberapa guru jadi lebih ketat memperhatikan mereka. Ada yang menegur karena alasan sepele. Ada yang mulai mencatat kehadiran mereka dengan teliti. Bahkan, wali kelas mereka pernah berkata, “Kalian pintar, tapi jangan kebanyakan mikir.”
Tapi justru dari tekanan itu, podcast mereka semakin kuat. Mereka mulai mengundang teman-teman dari kelas lain untuk berbicara. Ada yang bercerita soal perundungan, soal tekanan orang tua, bahkan soal mimpi yang selalu ditertawakan.
Podcast Gagal Paham jadi tempat aman.
Tempat di mana suara-suara yang biasanya dibungkam, akhirnya bisa didengar.
Namun... ancaman bukan hanya datang dari guru. Beberapa siswa juga mulai risih.
“Lo ngerasa paling bener, ya?”
“Kalian tuh cari panggung doang.”
Komentar-komentar seperti itu mulai bermunculan. Bahkan suatu hari, poster podcast mereka di mading sekolah disobek. Di bawahnya, ada coretan: “Gagal paham? Emang kalian siapa?”
Dita berdiri di depan mading itu, menatap sisa sobekan poster. Dadanya sesak.
Tapi dari belakang, suara Nala pelan berkata, “Kalau mereka sobek, kita cetak lagi. Kalau mereka tutup mading, kita cari dinding lain.”
Juno datang dengan poster baru di tangannya. “Atau kita bikin mural aja sekalian.”
Dita tersenyum. Kali ini lebih lebar. Ia tahu, ketakutannya masih ada. Tapi sekarang ia tidak sendirian.