Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Apa Dia Bertanya Tentang Aku?
Rafael pulang dalam keadaan pikiran yang berkecamuk. Ia bahkan tuli dengan tangisan Safa di kursi belakang.
Marsha berada sangat dekat dengannya, tetapi pria itu tidak tahu. Aldo sang asisten pribadi tidak pernah memberitahunya. Apa pria itu memang tidak tahu? Atau sengaja merahasiakan tentang keberadaan Marsha darinya?
Sepertinya, Rafael harus memberi pelajaran pada sang asisten kesayangannya itu.
Ingin rasanya Rafael menghampiri, dan memeluk gadis itu. Namun logikanya masih waras. Di rumah, Sandra sedang menahan rasa sakit karena jatuh di kamar mandi.
Meski tidak mencintai sang istri, namun Rafael masih punya hati yang perduli dengan keadaan Sandra.
Rafael sudah meminta Manager restoran untuk mengirim data diri tentang Marsha. Ia ingin tahu, sejak kapan sang pujaan hati bekerja di hotel miliknya.
Sampai di rumah, Rafael membawa Safa ke kamar dimana Sandra berada. Disana juga sudah ada seorang dokter yang biasa menangani wanita itu.
“Ibu Sandra tidak apa-apa.” Ucap dokter itu sembari menyimpan peralatan periksanya. “Tetapi, untuk memastikan lebih jelas, ibu Sandra bisa datang ke rumah sakit. Kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.” Jelas dokter wanita yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu.
“Terimakasih, dok.”
Dokter itupun pamit undur diri. Rafael kemudian masuk, dan meletakan Safa di samping sang mama yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang.
“Maamaa.” Gadis kecil itu memeluk leher ibunya.
“Mama sakit?” Tanya Safa sembari mengusap pipi Sandra.
“Mama tidak apa-apa, sayang.” Jawab Sandra tersenyum.
“Bi, tolong bawa Safa makan siang.” Perintah Rafael pada bibi Rita.
“Papa, es klim.” Gadis itu kembali teringat dengan es krimnya. Begitulah Safa, jika belum mendapatkan apa yang diinginkan, gadis kecil itu akan terus menuntutnya.
“Iya. Nanti papa akan minta om Dodo membawakan kesini. Sekarang, kamu makan dulu sama bibi.” Rafael mengangkat tubuh sang putri, kemudian menyerahkan pada bibi Rita.
“Apa yang terjadi?” Tanya Rafael pada Sandra saat mereka tinggal berdua di dalam kamar.
Sandra menghela nafas pelan. “Aku buang air kecil. Entahlah, tiba-tiba terpeleset.” Wanita itu mengedikan bahunya.
Sebenarnya, Sandra mencoba untuk berdiri. Namun, kakinya mati rasa, dan ia tahu tentang hal itu. Tetapi wanita itu bersikeras mencoba.
“Kamu ingin kita pergi ke rumah sakit?” Rafael kembali bertanya. Sejak di nyatakan lumpuh permanen pada lima tahun yang lalu, Sandra menolak untuk melakukan terapi. Ia telah kehilangan semangat hidup, bersama dengan cintanya yang telah pergi.
“Tidak. Tidak ada yang fatal, Raf. Aku terjatuh juga tidak terlalu keras. Tetapi, bibi bersikeras memanggil dokter.”
Rafael menganggukkan kepalanya.
“Kamu pasti belum makan siang.” Terka Sandra dan Rafael mengangguk pelan.
“Kita makan bersama.” Tawar wanita itu.
“Tetapi kamu masih sakit. Aku akan minta bibi membawa makanan mu kesini.” Rafael pun bangkit dari duduknya.
“Aku baik-baik saja, Raf.” Sandra mencekal pergelangan tangan sang suami.
“Kita makan di ruang makan saja.” Ucap Sandra lagi.
Rafael mengalah. Ia pun memindahkan Sandra ke atas kursi roda. Kemudian mendorongnya menuju ruang makan.
Tiba di ruang makan. Rafael pun mengambilkan makanan untuk sang istri dan juga dirinya.
Sementara Safa tengah asyik dengan makanannya sendiri.
Di tengah kegiatan makan siang itu, bel pada pintu utama rumah mewah itu berbunyi. Tak berselang lama, seseorang pun masuk ke ruang makan.
“Om Dodo.” Safa bertepuk tangan sebab sang asisten papanya datang membawa es krim kesukaan gadis kecil itu.
Aldo meletakan es krim di atas meja. Sandra dengan cepat meraih dan membukanya untuk sang putri.
“Kamu baik-baik saja, San?” Tanya Aldo terheran. Bukannya bibi Rita mengatakan jika wanita itu jatuh di kamar mandi. Kenapa sekarang bisa ada di meja makan? Dan terlihat baik-baik saja.
“Aku tidak apa-apa, Al. Hanya terpeleset sedikit. Tetapi bibi yang heboh.”
Aldo menganggukkan kepalanya. Baru saja duduk bergabung, tanpa sengaja ia melihat tatapan membunuh dari Rafael. Seketika tengkuk pria itu meremang.
‘Apa hari ini, hari terakhirku? Sepertinya dia akan memakanku hidup-hidup.’
\~\~\~
Selesai makan siang, Rafael mengajak Aldo berbicara empat mata di ruang kerjanya.
Menelan ludah secara susah payah, dan melangkah dengan berat hati, Aldo pun mengikuti sang atasan.
“Apa yang— Bugh!! Belum selesai berbicara. Sebuah pukulan mentah mendarat pada rahang pria tampan yang masih melajang itu. Aldo tersungkur. Dengan mata berkubang, ia pun kembali menegakan tubuhnya.
Setelah lima tahun berlalu, ia kembali merasakan bogeman tangan Rafael. Seperti De Javu, karena saat kepergian Marsha, Aldo juga mendapat pukulan yang sama.
“Apa maksudmu merahasiakan keberadaan Marsha, Revaldo?” Rafael mencengkeram leher kemeja Aldo dengan kuat. Asistennya itu pun terbatuk.
“M-maafkan aku, Raf.” Kepala Aldo menunduk. Ia bahkan melihat cengkeraman tangan Rafael di lehernya.
Rafael seketika mendorong tubuh sang asisten dengan kasar. Membuat Aldo kembali limbung.
“Jadi kamu sudah tahu jika Marsha bekerja di hotel?” Tanya Rafael kemudian. Ia berusaha meredam amarahnya terhadap Aldo. Bagaimana pun juga, mereka sudah lama bersama.
“Satu bulan— Bugh!!
“APA MAU MU REVALDO?” Rafael kembali mencengkeram kerah kemeja Aldo. Suaranya bahkan meninggi beberapa oktaf.
“Sudah satu bulan, tetapi kamu tidak mengatakan apapun. Padahal aku juga sempat bertanya tentangnya.” Suara Rafael melemah. Ia lepaskan leher Aldo dengan pelan. Ayah satu orang anak itu meremat rambutnya dengan kasar.
“Si-al.” Tempat sampah di dekat meja kerja pun menjadi pelampiasan amarah Rafael. Pria itu menendangnya tanpa perasaan.
Sementara itu, Aldo hanya mampu menunduk. Kali ini, ia kembali salah mengambil langkah.
“Berikan alasan, kenapa kamu merahasiakannya dariku, Al?” Sembur Rafael murka. Dada pria itu naik turun karena marah.
“Maafkan aku, Raf.” Ucap Aldo lirih. Dengan rasa takut ia memberanikan diri mengangkat kepalanya.
“Aku ingin mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu. Sungguh.” Tangan Aldo terkatup di depan dada.
“Aku tidak ada maksud apapun. Aku hanya ingin, Marsha tetap disini dan tidak pergi lagi. Karena itu, aku belum memberitahukan padamu.” Jelas Aldo dengan jujur.
Rafael menatap Aldo dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Kamu tahu aku hampir gila mencarinya.”
Aldo menganggukkan kepalanya. “Karena itu aku tidak mau dia pergi lagi jika tahu tempatnya bekerja itu milikmu. Aku hanya menjaganya dari kemungkinan yang bisa saja terjadi.”
“Kalian sudah pernah bertemu?”
Aldo kembali mengangguk. “Baru beberapa hari ini dia tahu jika aku, Aldo.”
Rafael menghela nafas kasar. “Apa dia bertanya tentang aku?”
Dengan raut sesal, Aldo menggelengkan kepalanya. “Marsha tidak mau membahas tentang lima tahun lalu.”