Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kesurupan.
"Alhamdulillah, sudah laku banyak." Kata Lenny Anggraini saat aku tanyakan kabar warungnya. "Bener kata kamu Yon, ada sikep yang di tanam tepat di depan pintu masuk warungku."
"Bentuknya?"
"Kayak pocong, tapi kecil, terbuat dari kain kafan yang di gulung dan di ikat. Lalu ada tulisan arab gundul seperti yang kami katakan. Ustadz faizar pengurus masjid Al-Barkah pun ga bisa membaca tulisan arab gundul itu."
"Kalau mulai sepi lagi, biar aku cari tau siapa pelakunya."
"Idih, sekarang kamu sok jadi detektif ya?"
"Ahahaha. Setelah memecahkan kasusnya Naya, aku jadi ketagihan. kepingin explore explore lagi."
"Kalau di sini, mau explore di sebelah mana?"
"Lha iya itu. Hehehe. Dah lah, bikinin satu kayak biasanya. Lalu di bungkus buat Pak Jatmiko. Oh ya Len."
"Ya?"
"Kamu memang lebih pantas kalau dandan seperti itu." dan keplakan Lenny mendarat di kepalaku. "Aduh, mungkin juga karena kamu dandan kayak gitu jadi banyak pelanggan yang datang."
"Bodoh ah. Tadi belum sempat bersihin makeup ini setelah dari kantor polisi."
"Lha itu kan kemarin lusa. Kamu ga mandi atau cuci muka?" dan sekali lagi keplakan Lenny mendarat di kepalaku. Kali ini membalasnya dengan cara mengacak acak rambutnya.
Nex
Kasus Naya emang sudah berakhir. Tapi, seperti yang telah di katakan oleh Pak Kumis. Korban dan tersangka yang lain masih belum di ketahui keberadaannya. Para korban sudah tewas terbunuh seperti Naya atau masih hidup. Andaikan masih hidup, mereka ada di mana? Lalu, kalau mereka memang sudah tewas, mereka di buang atau di kubur dimana itu masih teka teki. Lalu tersangka satunya. Benarkah Pak Buang hanya melakukan kejahatan yang keji itu hanya berdua saja dengan sosok yang terekam di video barang bukti?
Tapi, Pak Kumis hanya menanyakan apakah aku pernah bertemu atau mengenal sosok itu. Tapi, sumpah demi apapun, aku belum pernah bertemu apa lagi mengenalinya.
Sudahlah, jangan di pikiran. Saat ini, fokus pada kasusnya Lenny. Siapa yang berniat buru kepadanya? Lalu, apakah usahanya Lenny mendatangi ustadz sudah ada hasilnya?
Ok kita tanya tanya ke dia. Kebetulan sekarang dia sudah mulai beres beres karena jualannya sudah habis terjual. Aku dan Pak De nya membantu bersih bersih. Pak De nya? Nah lho? Kok ada yang aneh ya? Kalian sadar akan sesuatu?
"Aku tidak punya prasangka ke siapapun." Kata Lenny ketika dia aku tanya apakah dia mencurigai seseorang yang telah menaruh barang barang aneh di sekitar warungnya. "Dan juga aku tidak mau berpikiran buruk kepada siapapun. Ini sudah berakhir, jadi aku anggap kalau warungku sepi ini gara gara cara berpakaian ku kurang menarik perhatian pelanggan. Yah, seperti yang kami katakan tadi."
"Ada warung Mie pangsit baru di dekat kelurahan." kata Pak De. Nama Pak De itu ternyata Pak Sudirman. Dan Lenny memanggilnya Pak De, sehingga aku kira Pak De adalah singkatan dari Bapak Gede. Kan Pak denya sudah meninggal.
"Di sebelah mana?" Tanyaku.
"Depan seberang jalannya. Dia jualan di sebelah jembatan."
"Anda pernah kesana?"
"Ya engga lah. Kan semua orang tau kalau aku ini membantu sedikit di warungnya Lenny. Apa kata orang kalau aku mampir ke sana."
"Benar juga ya. Bisa di tuduh sebagai mata mata tuh." Dan dia pun tertawa kecil mendengar lawakan ku. "Ah, benar juga! jaraknya ga terlalu jauh dengan rumahnya Angga, akan saya suruh dia mampir ke sana...."
"Sudahlah, yang penting warungku kembali ramai." sahut Lenny. "Aku ga mau memperpanjang masalah ini."
"Tapi Len. Aku ga terima kalau usaha keponakanku ini ada yang berupaya menghancurkannya." Kata Pak De.
"Bener Len. Aku juga ga terima. Beberapa ini melihat mu murung itu ga enak banget." Lho? Ada yang aneh lagi. Keponakanku? Hellow?
"Riyon!! Kamu mencemaskan aku? Seneng nyaa!!"
"Yang lain juga dodol. Bukan aku saja."
Nex
Keesokan harinya di sekolah.
"Udin ga masuk lagi?" tanyaku ke Angga.
"Sepertinya dia masih syok dengan kejadian itu." benar gaes, adik kandung bapaknya Udin, si Pak Buang, dia tewas tepat di depan rumahnya. Dan lagi, dia tidak mau percaya dengan kenyataan kalau Pak Lek nya itu menjadi tersangka kasus pembunuhan dan pemerkosaan. Pihak kepolisian hanya menunjukkan buktinya ke kedua orang tua Udin dan saudara saudaranya yang sudah dewasa. Menurut dari cerita kedua orang tuanya, Udin cukup dekat dengan Pak Buang, itulah mengapa dia tidak mau menerima kenyataan pahit itu.
"Nanti kita jenguk dia." kataku.
"Aku ikut." "Aku juga." "Aku iya." Dika Lenny dan Levi menyahut dari belakangku.
"Ok, sepulang sekolah kita langsung ke sana. Lewat TKP. Kalian penasaran dengan tempatnya kan?" Kata Angga. "Bagus!! Deal!!"
Nex
Sepulang dari sekolah
"Itu. Tempat Naya di temukan." Kata Lenny ke Levi. "Ga bisa di bayangkan gimana rasanya saat menemukan mayat lho."
"Hiii. Ngeri. Semoga aku ga pernah mengalami hal yang sama dengan kalian." jawab Levi sambil memeluk tubuhnya sendiri.
"Lalu, lihat rumah itu." kata Angga. "Di sanalah Riyono dan aku pertama kali melihat penampakan si pelaku. Awalnya kami kira mereka adalah setan, setelah Udin gembar gembor melihat penampakan kuntilanak. Ternyata bayangan itu bayangan pelaku dan korban yang berusaha untuk meminta tolong."
"Levi? Bisa segera menyebrangi jembatan ini?" tanyaku. Dia berdiri di tengah tengah jembatan kayu kecil yang ada di kali Gimun. Dia tak menjawab. "Halloo?"
"Levi?" kini Angga yang memanggil namanya. "Lev...." di saat itulah tubu Levi terkulai lemas dan terjatuh ke dalam sungai. Aku dan Angga langsung melompat ke kali Gimun untuk menolong dia. "Oi? Lev? Levi?"
"Gawat, matanya melotot! Tapi...!" Lenny tidak melanjutkan kata katanya, karena kami sudah melihatnya dengan mata kepala kami sendiri. Mata Levi melotot, tapi hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Seolah pupil matanya berada di dalam.
"Kita angkat dia dan bawa ke rumahnya Pak Jatmiko!" teriakku.
Nex
"AAARRKKK!!! TOOLLOONGG!! TOOLLOONGG!!" Levi melolong kan kata kata itu. Dia sudah kami baringkan di sofa ruang tamu. Beruntung sekali aku membawa kunci cadangan rumah tua tersebut.
"Banju! Dia harus harus segera ganti baju!" seru Angga. "Yon, ambil kan baju milik almarhum Naya. Aku akan membuatkan minuman panas untuk Levi. Lenny, jaga Levi baik baik!"
Nex
"Len. Ini tolong gantikan bajunya Levi." aku melempar gaun putih ke arah Lenny. Dan segera pergi dari ruangan itu supaya Lenny lebih leluasa untuk menggantikan bajunya Levi.
Nex
"Gimana ini? Apa aku perlu pergi ke rumahnya Levi dan mencari pertolongan?" tanya Angga.
"Ga usah Ngga. Aku sudah telfon ke rumahnya dia. Bu Devi akan segera ke sini." jawabku.
"Telpon? Emangnya di rumah ini ada telpon? Lalu, kamu tau dari mana nomor telponnya?" tanya Angga.
Aku mengeluarkan handphone Nokimen N93i ku dan menunjukkannya ke Angga. Angga dan Dika langsung mangap ketika melihat penampakan handphone sultan yang aku pegang. "Aku pernah main ke rumahnya Levi, saat itulah aku dapat nomor telpon rumahnya."
"Daa. Da. D... Daaaddari mmeememaana elelelelu dddadapat Hhahahapppeee iiititttu!!!???" teriak Angga.
"Kakakakmmuuu mamamamalllililing yayayaayya?" teriak Dika.
"Jancok!! Sembarang kalian. Ini di kasih Pak Jatmiko! Ngomong sembarang lagi tak samblek cangkem mu!" teriakku.
"Udah, udah. Kasihan Levi, dia bisa terganggu." Lenny menengahi kami.