Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 18
Pandangan Gisela menangkap rentetan buku-buku yang tersedia di sana. Ia mencari bacaan yang sekiranya bisa menemani ketika dirinya kesepian di rumah. Saking fokusnya, Gisela sampai tidak menyadari ada seseorang berdiri di belakang, menatapnya sejak tadi.
"Kamu di sini."
Tubuh Gisela terjengkit karena terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya cukup kencang. Ia menoleh lalu mendes*h kasar setelahnya ketika melihat Dirga sedang tersenyum ke arahnya. Rasanya sangat malas dan Gisela ingin sekali menghindar. Namun, tangan Dirga justru lebih dulu mencekal tangan wanita itu hingga langkahnya tertahan.
"Lepaskan aku, Dir. Aku harus pergi." Gisela sama sekali tidak mau menoleh ke arah lelaki itu. Ia benar-benar menghindar.
"Kenapa?" tanya Dirga. Gisela menoleh dan mengerutkan keningnya dalam.
"Apanya yang kenapa?" Gisela justru bertanya balik. "Tolong, lepaskan tanganmu, Dir. Aku tidak ingin ada yang salah paham dengan kita."
"Maaf." Dirga pun menurunkan tangannya tanpa melepas pandangan dari sosok Gisela. Wanita yang beberapa hari terakhir ini membuatnya susah tertidur. "Kenapa kamu sekarang menghindar dariku, Gis. Kamu membenciku?"
"Tidak." Gisela menjawab cepat. Ia memang tidak membenci lelaki itu. Hanya sebatas kecewa dan tidak ingin mengenal lagi.
"Lalu kenapa kamu menjauh seperti ini? Katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kita bisa kembali dekat. Kamu tahu, Gis, perasaanku masih sama seperti dulu. Masih tetap untukmu," ucap Dirga dengan suara berat.
"Maaf, Dir. Bukankah kamu tahu kalau aku sekarang adalah wanita bersuami maka tidak pantas kamu berbicara seperti itu lagi."
"Aku tidak akan pernah percaya itu sebelum aku tahu siapa suami kamu sebenarnya. Lagi pula, aku tidak melihat satu pun cincin di jarimu." Dirga tersenyum sinis. Wajah Gisela yang barusan tenang pun kini mulai gugup.
Ya, wanita itu baru menyadari tidak ada cincin pernikahan di jari manisnya. Abram tidak memberikan itu dan Gisela sama sekali tidak mau menuntut karena baginya, Abram sudah mau menikah dengannya saja sudah lebih dari cukup.
"Cincinnya aku simpan."
"Kenapa?" sela Dirga. Membuat Gisela merasa terpojok.
"Berhentilah bertanya kenapa. Itu sangat menggangguku." Gisela berbicara ketus. Lalu berjalan pergi meninggalkan Dirga begitu saja. Dia tidak ingin dekat lagi dengan lelaki itu. Namun, tidak untuk Dirga. Dengan sangat sabar ia mengekor Gisela secara diam-diam. Jujur, ia merasa sangat penasaran dengan sosok suami Gisela karena Hendarto tidak mau mengatakan pria mana yang sudah menikahi Gisela.
Mood Gisela benar-benar memburuk ketika bertemu Dirga barusan. Apalagi ketika Dirga terlalu ingin tahu tentang kehidupannya. Makin menambah kekesalan Gisela kepada lelaki itu. Gisela pun meninggalkan pameran buku tersebut tanpa membawa apa-apa kecuali rasa kesal dan marah.
"Ya Tuhan. Kenapa hidupku justru menjadi rumit seperti ini." Gisela mendes*hkan napas secara kasar saat sudah sampai di tempat sepi. Ia pun duduk bersandar tembok dan tidak menyadari ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan.
Ponsel Gisela berdering dan ia menatap lesu ke arah layar. Ingin sekali ia menolak panggilan dari Abram. Namun, ia juga takut jika lelaki itu akan marah besar kepadanya. Dengan sangat terpaksa, Gisela menerima panggilan tersebut.
"Di rumah sakit? Baiklah. Aku akan ke sana." Gisela mematikan panggilan tersebut secara sepihak. Lalu menyimpan kembali ponsel ke dalam tas dan dengan lesunya beranjak bangkit. Sebenarnya, ia sangat malas jika harus ke rumah sakit, menemani Stevani yang kembali dirawat karena tubuhnya drop. Namun, Gisela tidak memiliki pilihan lain lagi.
Ia segera bergegas ke rumah sakit dan mencari ruangan di mana Stevani dirawat. Ketika baru saja masuk ke ruangan, Gisela mendes*h kasar saat melihat hanya ada Abram dan Stevani di ruangan itu. Langkah Gisela pun tampak lesu.
"Dari mana saja kamu? Kenapa kamu baru datang?" tanya Abram. Mendekati Gisela dan menatapnya penuh amarah.
"Bukan urusanmu." Gisela menjawab ketus. Akan tetapi, setelahnya Gisela mengusap pipi kanannya saat Abram lagi-lagi mendaratkan tamparan di sana.