Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 24 Memberi Kesempatan
Edwin melepas tangan Mona yang memeluknya, membuka lemari disebelahnya, mengeluarkan brankas berisi surat-surat penting. Akta nikah, kartu keluarga, sertifikat rumah dan sertifikat aset lainnya berada dibrankas itu. Edwin mengambil kartu keluarga dan akte nikah membuat Mona bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Edwin pada kedua surat penting itu.
"Mau untuk apa itu, Mas?" tanya Mona.
Edwin tak menjawab, dia mengembalikan brankas ketempat semula, menutup lemari lalu memasukkan kartu keluarga dan akta nikah kedalam map.
"Berikan KTP mu," pinta Edwin.
"Tidak mau. Katakan dulu mau untuk apa Mas Edwin mengambil kartu keluarga dan akta nikah kita?" tanya Mona.
"Besok aku akan kepengadilan untuk mengajukan perceraian kita," jawab Edwin membuat Mona tersentak. Mona menggelengkan kepala tidak setuju. Dia tidak mau bercerai dengan Edwin.
"Aku tidak mau bercerai, Mas," kata Mona.
"Aku sudah lelah, Mona. Setelah bercerai kamu bisa bebas mengejar karir dan menggeluti hobi kamu. Kamu tidak akan lagi terikat denganku, harus melayani aku dan lainnya."
Tubuh Mona luruh kelantai dia memeluk kaki Edwin dan menangis disana.
"Bangunlah, Mon, jangan seperti ini," titah Edwin namun Mona masih memeluk kakinya.
"Aku mohon jangan ceraikan aku, Mas, Aku tidak mau bercerai denganmu, aku mencintai kamu."
Edwin memalingkan wajahnya kearah lain tak ingin melihat Mona menangis dan memohon padanya. Sungguh hati Edwin sakit melihat Mona seperti ini. Dia juga tidak ingin bercerai, dia sangat mencintai Mona tapi dia sudah lelah dengan ini semua.
"Aku janji aku akan berubah, tapi aku mohon jangan ceraikan aku," kata Mona masih menangis. Dadanya sesak sekali pria yang dia cintai ingin menceraikannya. Mona tidak ingin berpisah dengan Edwin dia ingin terus bersama Edwin.
"Tidak ada jaminan setelah ini kamu berubah, sebaiknya kita memang berpisah."
"Tidak, Mas, aku tidak mau berpisah denganmu. Aku janji akan melakukan semua yang kamu inginkan. Aku akan menghargai kamu, selalu ada untuk kamu, aku juga akan berhenti melukis, mengurangi pekerjaanku dikantor dan aku akan hamil anak kamu."
Mona terus memohon agar Edwin mau memberinya kesempatan dan tidak menceraikannya. Mona tidak ingin kehilangan Edwin--pria yang sangat mencintainya.
Edwin bergeming, sudut matanya berair membuatnya mengusap air mata itu, mengatur nafasnya yang terasa sesak lalu menatap Mona yang masih memeluk kakinya.
"Beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, Mas. Aku janji dalam waktu dekat ini aku akan hamil dan melahirkan anak untuk kamu. Aku tidak akan menunggu satu atau dua tahun lagi, aku juga tidak akan mendengarkan permintaan papa untuk tidak memiliki anak darimu. Tapi aku mohon jangan ceraikan aku."
Tangis Mona semakin pecah dia benar-benar tidak ingin Edwin menceraikannya. Mona tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa Edwin yang sangat mencintainya.
Edwin melepas tangan Mona yang memeluk kakinya lalu membantu wanita itu untuk berdiri.
"Hanya satu kali, jangan pernah kamu sia-siakan kesempatan itu."
Mona mengangguk, dia langsung memeluk Edwin dan menangis kencang dipelukkan pria itu.
...****************...
Andini menatap pesan yang baru dia kirim pada Edwin. Dia ingin menceritakan kondisi ibunya pada pria itu tapi Edwin tak kunjung membalas pesannya.
Semalam mereka hanya sedikit berbalas pesan dimana Edwin mengatakan alasan dirinya pulang kerumah karena sang istri sudah pulang.
"Pak Edwin pasti sedang sibuk dengan istrinya," gumam Andini.
Menghembuskan nafas kasar, dia lalu bersiap untuk berangkat bekerja. Kurang dari satu minggu lagi aktif kuliah Andini akan menikmati hari-hari terakhirnya bekerja. Tak lupa Andini membawa bekal makan siang untuknya yang biasanya akan dimakan bersama Edwin direstorant saat jam istirahat.
Saat jam istirahat tiba Andini ingin mendatangi Edwin keruangannya mengajak makan siang bersama namun urung karena mendengar beberapa karyawan mengatakan bila Edwin dan istrinya akan pergi honeymoon.
Tadi pagi Edwin memang mengatakan pada Arif--GM restorant bila dia akan pergi honeymoon selama 6 hari dan meminta agar Arif menghandle pekerjaannya. Kabar itu sudah didengar oleh semua karyawan restorant termasuk Andini yang baru mendengarnya.
"Jadi pak Edwin mau honeymoon," lirih Andini, dia jadi sedih mendengarnya. Andini berusaha acuh meski hatinya sedikit sakit.
Andini tetap aktif dengan pekerjaannya menyambut pengunjung yang datang dan melayani pesanannnya. Tak lama dia melihat sosok Edwin keluar dari dalam lift. Edwin melangkah keluar dari lift berjalan menuju pintu keluar restoran. Pandangan mereka bertemu namun Andini memutus lebih dulu agar hatinya tidak semakin sakit.
Edwin terus melangkah keluar dari restoran dan masuk kedalam mobil setelah tiba diparkiran. Dia lalu menelpon Andini memintanya untuk segera keparkiran dan masuk kedalam mobilnya. Tadi Edwin membaca pesan dari Andini yang mengatakan ingin menceritakan kondisi ibunya jadilah dia meminta Andini menemuinya.
Andini mengedarkan pandangannya memastikan bila tidak ada yang melihat dirinya masuk kedalam mobil Edwin barulah dia membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya.
"Ada apa?" tanya Edwin menoleh pada Andini yang duduk disebelahnya.
"Akupuntur kemarin tidak berhasil, Pak, ibu saya belum sadar."
Edwin mengusap kepala Andini. "Tidak apa-apa kamu jangan sedih, yakinlah suatu saat nanti ibu kamu akan sadar dan sembuh dari sakitnya."
Andini menatap Edwin kagum, pria itu selalu berhasil menenangkannya dan membuatnya selalu nyaman bersamanya.
"Ibu saya akan dilakukan akupuntur yang kedua, Pak, dan jaraknya dua minggu dari akupuntur kemarin."
"Lakukan saja saran dari dokter karena dokter pasti tahu yang terbaik untuk pasiennya, urusan biaya saya yang akan menanggungnya."
Andini mengangguk, tak lupa dia mengatakan terima kasih pada Edwin karena sudah membantunya dan membiayai hidupnya.
"Saya akan pergi ke Maldives dengan istri saya selama 6 hari, kamu hati-hati disini dan jaga diri kamu."
"Iya, Pak, anda juga hati-hati dijalan semoga bulan madunya dilancarkan," kata Andini padahal hatinya sakit saat dia mengatakan itu.
Edwin mengangguk, dia juga berharap seperti itu. Bulan madu lancar, hubungannya dengan sang istri membaik dan dia memiliki anak.
"Kalau begitu saya keluar, Pak."
"Ya."
Andini keluar dari mobil Edwin, dia kembali masuk kedalam restorant sementara Edwin masih duduk diam balik kemudi. Andini gadis yang baik, selalu ada untuknya, memberi perhatian, melayaninya, bahkan memuaskannya tapi kenapa Edwin sulit mencintai gadis itu? Apa karena dia sangat mencintai Mona?
Menghembuskan nafas berat, Edwin lalu mengemudikan mobilnya menuju kantor sang istri. Sebelum berangkat ke Maldives Mona dan Edwin akan mendatangi dokter kandungan untuk berkonsultasi.
Edwin mengirim pesan pada Mona bila dirinya sudah tiba dikantor wanita itu dan sedang menunggunya dibasement. Tak lama Mona dengan langkah tergesa menghampiri mobil Edwin dan masuk kedalamnya.
Mona ingin berubah dia berusaha untuk tidak mengabaikan suaminya dan Mona juga berusaha mengatur pekerjaan dan hobinya, hanya saja dia tidak benar-benar berhenti melukis seperti yang dia janjikan pada Edwin.