Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Brian Meminta Izin
Brian pulang ke rumahnya dengan wajah bertekuk-tekuk. Setiap dia mencurahkan hatinya pada Andre, pasti terjadi perdebatan diantara mereka. Ujung-ujungnya, Brian selalu merasa salah dan kalah. Namun, dia tidak bisa mengontrol hatinya dengan baik.
Masih pukul delapan malam. Namun rumah sudah tampak seperti tak berpenghuni. Dulu, sebelum Rinnada mendamparkan dirinya ke pelupuk mata Brian, rumah ini seperti surga baginya. Berdua pun dengan Zaira, sudah nikmat rasanya. Apalagi, istrinya itu sangat pandai memanjakan lidahnya dengan aneka ragam masakannya.
Jika waktu luang mereka bertemu, mereka memilih menonton film di rumah. Menyiapkan camilan dan aneka minuman.
Brian terdiam di depan rumahnya. Dia lesu. Seperti orang yang tidak tidur bermalam-malam. Membayangkan bertemu Zaira membuatnya sedikit sulit bernapas. Sebab ia selalu merasa bersalah.
Brian membuka pintu kamar tanpa suara. Ia takut membangunkan istrinya yang mungkin sudah tidur. Namun nampaknya tidak, Zaira duduk di tepi tempat tidurnya, membelakangi pintu. Dia termenung disana seperti memegang sesuatu.
Brian mendekat. Melihat apa yang dilakukan istrinya itu.
Zaira terkejut melihat sebuah bayangan di depannya. Ia refleks menoleh dan membulatkan matanya saat mendapati Brian berdiri di belakangnya, entah sejak kapan.
Brian pun ikut tertegun, melihat istrinya memegang alat tes kehamilan.
Mendapati itu, Zaira sontak berdiri. Merasa malu dengan Brian. Dia mencoba menggunakan alat itu lagi. Berharap ada keajaiban yang datang. Karena bagi Zaira, inilah alasan suaminya kini berpaling darinya.
"Sayang." Brian mendekati Zaira yang tertunduk.
Brian membantu istrinya duduk di tepi tempat tidur. Dia menekuk lututnya di atas lantai, menghadap Zaira. Ia memegang tangan istrinya yang masih tertunduk diam.
Brian menarik napasnya. "Apa kau menginginkan anak?" .
Zaira mengangguk. Dia menginginkannya sekarang. Menurutnya, kehadiran anak di waktu sekarang ini adalah hal yang tepat.
"Aku terlambat satu minggu. Aku hanya mencobanya saja."
"Zaira, ku mohon dengarkan aku sampai selesai." Brian mulai membicarakan niatnya. Mungkin inilah waktu yang tepat.
"Apakah kau ingat dengan ucapanmu tiga tahun lalu?" Brian menunggu respon Zaira. Ia sedikit takut untuk mengatakannya. Takut jika Zaira menolak dengan histeris dan menganggapnya ingin berselingkuh.
Zaira menggeleng. Mencoba tenang dan mendengarkan suaminya.
Brian mendongakkan kepalanya. Menatap Zaira yang duduk di atas tempat tidur.
"Dulu, kau memintaku supaya bersama perempuan lain hanya untuk mendapatkan anak." Brian melirik Zaira. Melihat responnya. Namun wajah wanita itu hanya diam menatap Brian.
"Kau bilang aku harus mempunyai keturunan untuk meneruskan garis keturunanku. Begitukan?" Tanya Brian, ingin memastikan apakah istrinya masih mengingat hal itu.
Zaira mengangguk. Sungguh, sampai disini, inilah respon yang di harapkan oleh Brian.
"Apakah kau mau memakainya sekarang?"
Tanya Brian lagi. "Pilihan itu, apakah kau masih mau aku melakukannya?"
Zaira tak bergeming dan mengalihkan bola matanya dari mata Barin. Sejak awal Brian mengingatkannya tentang hal itu, Zaira sudah tahu apa inti dari percakapan mereka ini. Hatinya bergetar. Ingin sekali dia menampar lelaki ini. Tapi ia menahannya. Zaira bahkan mampu menekan wajahnya agar tak mengeluarkan ekspresi buruk bagi Brian.
Dulu ia mengatakan itu karena yakin dengan hati suaminya. Namun sekarang, saat melihatnya mempunyai wanita lain seperti itu, pikirannya berubah.
Bukankah mereka terlalu berani? Melakukan hal semacam itu di sekitaran rumah dan saat Zaira disana pula.
"Apa kau sudah punya pilihan?" Tanya Zaira. Brian hanya mengangkat alisnya tanda tak mengerti. "Wanitanya. Apakah sudah ada pilihan sendiri? Atau aku yang memilihnya untukmu?" Pancing Zaira.
"Apakah kau menyetujuinya, sayang?" Terlihat garis senyum yang samar di bibir Brian. Ia tak sangka, begitu mudah rupanya. Terlalu lama ia menimbang selama ini.
Zaira terdiam sejenak. Brian tampak mengenggam tangannya lebih erat.
"Tidak". Ucapnya singkat. Namun sangat terlihat goresan kecewa di wajah Brian.
"Kau terlihat kecewa". Ucap Zaira menangkup wajah Brian dengan kedua tangannya.
"Sayang, tidak begitu." Kata Brian menggenggam tangan istrinya.
Zaira melepaskan tangan suaminya. Meletakkan tes kehamilan ke dalam sebuah kotak yang isinya sudah hampir penuh dengan alat itu. Semua hasil tes kehamilan di dalam kotak ia kumpulkan menjadi satu. Entah mengapa, dulu Zaira punya pemikiran, jika suatu saat muncul dua garis merah disana, saat itulah dia akan menghitung seluruh jumlahnya. Supaya menjadi kenangan, pada jumlah berapakah ia mendapatkan dua garis merah itu? Namun sekarang, ini adalah perbuatan yang sia-sia.
Zaira menuju pintu kamar.
"Mau dibawa kemana, sayang?" Tanya Brian yang melihat Zaira membawa kotak itu keluar bersamanya.
"Buang". Jawab Zaira singkat.
"Kenapa di buang?"
"Memangnya untuk apa lagi?"
Mendengar itu, Brian merasa kasihan pada istrinya. Bagaimanapun, Zaira adalah istri yang paling baik menurutnya. Namun jika hanya karena ia tidak mampu memberikannya anak lalu mencari pengganti, bukankah ia terlalu egois?
Brian mendengar pintu tertutup. Dia masih termangu disana. Ternyata Zaira tak mengizinkannya. Tetapi entah kenapa dia enggan meninggalkan Rinnada. Hatinya berat sekali. Ia sudah seperti terperangkap oleh jerat Rinnada. Wanita itu hadir dengan penampilan yang sangat memikat dirinya saat ini.
Zaira kembali masuk ke dalam kamar. Mendapati Brian masih di posisi yang sama. Namun ia tak menanyakan, mengapa? Mengapa Brian nampak sekali kecewa dengan keputusannya tadi?
Zaira naik ke tempat tidur. Menarik selimut dan membelakangi Brian yang mulai berdiri dari posisinya. Dia duduk di tepi tempat tidur. Memandang punggung Zaira. Punggung yang dulunya selalu ia peluk dari belakang terlebih jika Zaira tidak enak hati seperti saat sekarang ini. Ia selalu mampu meluluhkan hati istrinya.
Banyak kenangan melintas di pikirannya. Zaira adalah sosok istri yang dia kagumi dan sangat merasa bersyukur memilikinya. Tetapi mengapa sekarang perasaannya seperti berpaling jika ia berhadapan dengan Rinnada. Sementara sekarang saat melihat Zaira, hatinya hancur sendiri mengingat apa yang ia lakukan bersama Rinnada.
Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia merasa sangat bodoh jika berhadapan dengan Rinnada.
'Maafkan aku, Zaira'. Gumamnya dalam hati.
❣❣❣❣❣
"Aku ingat sesuatu, Ra". Kata Hani kepada Zaira. Mereka melangkah bersama di koridor rumah sakit.
"Apa?" Tanya Zaira tak penasaran. Ia memasukkan tangannya ke kantong jas dokternya.
"Dulu, kak Andre pernah tanya aku tentang suatu penyakit. Dia bilang, temannya punya pacar yang mengidap gangguan ingatan dan tingkah laku. Jadi, aku bilang padanya mungkin dia terkena penyakit kepribadian ganda". Hani menghentikan langkahnya. "Aku rasa, itu adalah cerita Kak Brian".
Zaira menoleh ke arah Hani. "Benarkah?"
Hani mengangguk. "Sayangnya, aku kurang tertarik dengan penyakit seperti itu, jadi aku tidak peduli lagi setelahnya". Hani sedikit merenung. "Kalau aku tahu kejadian itu akan berlaku sekarang, aku pasti korek itu dari kak Andre". Ucapnya menyesal.
Zaira hanya tersenyum. "Sudahlah. Biarkan mas Bian mengurusnya. Aku penasaran bagaimana dia menghadapi masa lalunya yang datang lagi."
"Ra, kau yakin? Itu pasti akan membuatmu sedih". Hani memegang pundak Zaira.
"Memang. Aku memberinya waktu satu bulan lagi untuknya menyelesaikan ini. Tapi, jika masa lalunya tidak di selesaikan olehnya, aku yang akan urus". Jelas Zaira.
"Kau yakin?"
Zaira mengangguk. "Aku menelfon Kak Andre pagi tadi, dan menceritakan kejadian tadi malam. Mas Bian meminta izin padaku, tentang sesuatu yang pernah aku minta dulu. Dia menagihnya lagi".
"Apa itu?" Tanya Hani penasaran.
"Dulu, aku pernah menyuruhnya mencari perempuan untuk seperti sewa rahim begitu."
"Kau gila ya!" Hani tak sengaja berteriak. Dia menutup mulutnya.
"Kau ini, sudah gila? Bisa-bisanya berpikir begitu". Ucapnya seperti berbisik. Merasa bersalah atas teriakannya tadi yang membuat beberapa orang lewat menoleh ke arah mereka.
"Iya aku tahu, aku gila. Akupun baru menyadarinya sekarang. Aku terlalu berlebihan karena rasa takutku melihatnya bersedih tak memiliki keturunan karena aku. Tapi sekarang.." Zaira menarik napasnya dalam-dalam. "Dia mendapat ujian dari masa lalunya. Dulu mungkin dia menolak karena aku satu-satunya saat itu. Lihat, tadi malam dia memintanya lagi, karena perempuan itu." Zaira mengusap dadanya supaya tidak menangis.
Hani mengusap-usap punggung Zaira. "Kau ini, kuat sekali"
"Entahlah. Aku cuma ingin dia menyelesaikan apa yang seharusnya sudah tuntas dan tertinggal di masa lalu. Kalau aku memintanya memilih, hatinya akan gusar karena masa lalunya yang muncul kepermukaan". Zaira menatap jauh ke depan. "Sekalian ingin lihat, seperti apa sebenarnya suamiku itu. Apakah dia benar-benar sanggup setia bersamaku?" Lanjutnya lagi.
"Bagaimana kalau dia ternyata benar-benar dengan wanita itu?" Tanya Hani lagi.
Zaira menarik napasnya. "Ya berarti, hubungan kami sampai disini."
Hani menggenggam erat tangan sahabatnya.
"Aku pernah mengatakan padanya, setelah kami mencoba baju pengantin dulu, bahwa aku tidak mentolerir yang namanya perselingkuhan apapun itu. Terlebih jika sudah berhubungan badan, aku pasti akan meninggalkannya apapun alasannya. Aku merasa jijik dengan lelaki yang sudah mencicipi wanita lain. Aku bahkan tak ingin lagi menyentuhnya sebab pasti bekas selingkuhannya, kan?" Zaira meyakinkan pendapatnya kepada Hani. Hani mengangguk-angguk setuju.
"Begitulah, aku yakin dia masih mengingat perkataanku."
"Kau benar-benar ya, jalanmu selalu di luar batas. Pantas saja Revi tidak memaksamu". Ucap Hani yang salut pada temannya ini. Dia berpikir mungkin dia takkan sanggup menjalani apa yang sedang terjadi pada rumah tangga sahabatnya itu."
"Lantas, kau bagaimana?" Tanya Zaira balik, sambil melanjutkan langkahnya.
"Ah, itu? Ya.. lancar, kok. Kami akan menikah mungkin sekitar dua atau tiga bulan lagi." Ucapnya mennyeimbangi langkah Zaira.
Mereka pun bercerita panjang lebar sambil berjalan ke arah ruangan masing-masing.
Bersambung ....
cow gk tahu diuntung