Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Selama dua hari menginap di rumah Mama, tak ada lagi pembahasan antara aku dan bang David.
Kali ini, biarlah ... aku mengunci rapat hatiku. Setidaknya, aku ingin membuktikan sendiri dengan mata kepalaku atas hubungan lelaki yang serstatus suami itu dengan adik kesayanganku. Ya ... walaupun senarnya aku telah yakin. Entahlah aku sendiri bingung, dengan apa yang harus aku lakukan.
Menyewa detektif untuk mengumpulkan informasi. Sadar woy ... berapa gajimu?
Ah, bahkan gajiku saja tak lagi bersisa. Hampir semuanya kuserahkan pada ibu dan Alina di sana. Hanya tersisa untuk ongkos dan keperluan sehari-hari.
Uang dari bang David? Biarlah nafkah yang dia berikan tetap dalam tabungan saja. Gengsi rasanya memakai uang itu. Setengah hati.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Bergegas beranjak dari ranjang untuk membuka pintu kamar. Pintu kamar ini memang selalu kukunci.
Tampak lelaki berbadan tinggi itu berdiri di depan pintu kamar. Aku membukanya lebar, lalu kembali masuk lebih dulu.
"Buka saja pintunya." Aku berucap tegas saat tangan bang David mendorong pintu itu guna menutupnya.
"Ann ...." Tentu saja di tidak menuruti kehendakku. Ah, siapalah aku ini?
Aku duduk di tepi ranjang. Membuang muka ke dinding. Sejenak menoleh mihatnya yang tengah berdiri menatapku.
"Kalau enggak ada yang penting untuk dibicarakan. Keluarlah, Bang! Aku capek, mau istirahat." Kemudian aku menundukkan kepala.
Kepala ini terasa berat, rasanya ingin menangis karena menahan sakitnya.
"Kamu kenapa gak turun untuk makan?" Suara lelaki itu lembut. Tumben, gak ketus. ck.
"Malas ... kalau enggak ada yang penting, keluarlah. Aku mau tidur." Aku menyandarkan kepala di kepala ranjang. Memejamkan mata ... kepalaku benar-benar sakit.
"Ann, kamu sakit, ya ...?" tanyanya dengan nada khawatir. Sedetik kemudian, kurasakan sentuhan di pipiku. Aku menepisnya dengan lemah.
"Panas ..., kita ke rumah sakit ya ...."
Aku menggelang, mengangkat kaki ke ranjang. Meringkuk menghangatkan tubuhku sendiri yang tiba-tiba saja menjadi dingin, menggigil. Gigiku mengerat menghasilkan bunyi gemelatuk.
Sepertinya , badanku meminta haknya untuk istirahat. Selain pikiran yang terukuras habis. Tubuh ini beberapa kali kehujanan sepulang dari kantor.
Entah apalagi yang terjadi? Aku telah terlelap dalam tidur.
Aku berharap tak usah bangun lagi, karena aku sadar dengan adanya diriku banyak hati yang akan terluka.
Maka, biarkan aku pergi ... terbang tinggi membawa senyum ibu yang menghiasi alamku.
***
Aku duduk di kamarku, kamar kesayangan penuh kenangan. Menikmati kehangatan pelukan ibu, usapan lembut di pucuk kepala menentramkan hati ini.
Tak ada apapun lagi yang kuinginkan, hanya rasa ini yang ingin selalu menghangatkan jiwaku. Tak ada masalah apapun yang menghampiri.
Tak ada status yang tak dianggap istri, tak ada senyuman mama yang terasa pilu, tak ada tangisan Alina.
Namun sayangnya, kehangatan ini berubah kemurkaan dan kesedihan. Kala suara Alina menangis tersedu-sedu di lantai.
"Kakak jahat! Kakak jahat!"
Lalu menyusul suara bang David yang marah padaku.
"Aku tidak mencintaimu!"
"Aku tidak mencintaimu!"
"Kau pantas merasakan kesakitan ini, gara-gara kami, kami tidak bahagia!"
Kemudian, belaian di pucuk kepala berubah menjadi tepukan-tepukan kasar di pundak.
"Kamu menghancurkan anakku. Kamu menghancurkan anakku!"
Aku menangis sejadi-jadinya, meraung-raung ...
"Ibu ... Mama ... maafkan aku. Maafkan aku ... Aku janji akan pergi, aku akan pergi."
"Ibu ... Ibu ... "
Aku sesunggukan memanggil nya, tak ada sahutan. Hanya tatapan benci orang-orang yang aku terima, seolah semua kesalahan dan kesedihan ini bersumber dariku.
***
"Anna ... Anna ... bangun, Ann." Goncangan keras di bahu membuka mataku.
Tatapan teduh menyambut kesadaranku. "Bang David."
Kemudian aku menoleh ke kiri dan ke kanan
Ini bukanlah kamarku. Tampak semuanya bercat putih. "Rumah sakit ...."
"Kami pingsan, aku khawatir ... lantas membawamu kemari. Tunggu sebentar ya, aku panggilkan dokter." Tidka memunggu jawabanku, lelaki itu berjalan keluar ruangan.
Sesaat kemudian dia kembali dengan dokter dan perawat bersamanya.
"Bagaimana istri saya, Dok?" tanyanya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tanganku.
"Tidak apa-apa, biarkan dia istirahat. Hanya butuh istirahat."
"Terimakasih, Dok."
Dokter dan perawat pun keluar, tinggallah kami berdua. Sialnya. Aku dalam keadaan sadar berduaan dalam satu ruangan dengannya.
Aku menarik tanganku dari genggamannya, kemudian membalikkan badan memunggunginya.
Memejamkan mata, mencoba untuk kembali tidur. Kenapa aku harus bangun, dan mendapati lelaki itu menjagaku?
"Ann, makan dulu ya ..." Bang David telah berada di depanku. Tangannya mengusap punggung, kemudian mengecup kepala.
"Kamu tahu, aku sangat khawatir. Kamu mengigau, terus meracau dan menangis." Setelah mencium kepalaku lama, lelaki itu duduk di ranjang. Membawa tanganku Dalma genggamannya. "Aku sangat khawatir, Ann. Sangat ..." Lantas mencium tanganku.
Perasaan senang dan sedih bercampur aduk dalam hatiku. Tak ingin larut dalam perasaan ini.
"Aku sakit apa?" Aku bertanya tanpa menatapnya.
"Typhes." Jawabnya lirih. Tangannya terus mengelus kepalaku.
Sepertinya, tangan bang David kali ini terus berselancar menyentuh bagian tubuhku seenaknya saja, ya ... aku mencoba menepisnya berkali-kali, tapi tak diindahkan olehnya.
Tenagaku juga sangat lemah untuk sekadar berdebat dengannya. Kuputuskan untuk diam dan memejamkan mata.
"Makan, ya ...." Aku menggeleng. "Kamu mau apa, nanti aku belikan?" Aku menggeleng lagi.
"Please Ann! Aku juga lapar. Kalau kamu enggak makan, bagaimana aku bisa makan?"
Jadi, bang David belum makan. Selama menjagaki di rumah sakit ini, dia belum makan? bohong!
"Abang kalau mau makan, ya ... makan aja?" desisku.
"Bagaimana bisa makan, kalau kamu begini?" Ketus lelaki itu.
"Terserah."
"Ck. Anna istri Abang, makan yaa ... terus minum obat."
Istri, sejak kapan dia menganggap ku sebagai istri?
"Sejak kapan aku jadi istri, Abang?" Sayangnya, air mata ini luruh. Mengalir deras tak tertahankan. Ah, saat sakit begini hatiku menjadi lemah.
"Maaf ... maaf ...." Bang David berdiri menggunakan lutut, mengelus kepalaku lali menghapus air mataku yang deras mengalir. Kemudian mencium kepalaku, dengan mengucapkan kata maaf berulang kali.
Sayangnya, ucapan itu justru melukai hatiku.
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat