FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Yang gak kuat skip aja!! Bukan novel tentang poligami ya, tenang saja.
Pernikahan sejatinya terjadi antara dua insan yang saling mencinta. Lalu bagaimana jika pernikahan karena dijodohkan, apa mereka juga saling mencintai. Bertemu saja belum pernah apalagi saling mencintai.
Bagaimana nasib pernikahan karena sebuah perjodohan berakhir?
Mahira yang biasa disapa Rara, terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan almarhum kakeknya bersama temannya semasa muda.
Menerima takdir yang sang pencipta berikan untuknya adalah pilihan yang ia ambil. Meski menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Namun, Rara ikhlas dengan garis hidup yang sudah ditentukan untuknya. Berharap pernikahan itu membawanya dalam kebahagiaan tidak kalah seperti pernikahan yang didasari saling mencintai.
Bagaimana dengan Revano, apa dia juga menerima perjodohan itu dan menjadi suami yang baik untuk Rara atau justru sebaliknya.
Tidak sa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Sup Buatan Rara
°°°
Rara mengambilkan masing-masing satu mangkuk sup ikan buatannya, untuk kakek dan Revan.
"Kau membuat sup ikan nak?" tanya kakek yang melihat makanan berkuah yang tersaji di depannya.
Rara pun mengangguk sebagai jawaban.
Sementara Revan tidak banyak berkomentar karena dia bukan orang yang pemilih pada makanan, ia akan memakan apa saja yang dihidangkan di depannya selama itu enak di mulutnya.
Kini saat nya Rara berdebar Seperti tadi, menunggu reaksi kakek yang mulai memasukkan satu sendok sup ikan ke dalam mulutnya.
Cukup lama kakek mengunyah dan merasakan sup itu di mulutnya sehingga membuat Rara was-was.
"Kakek kenapa menangis?" Rara panik yang melihat kakek menitikkan air mata setelah menelan sup buatannya.
Sementara Revan diam saja karena ia sudah bisa menebak seperti apa reaksi kakeknya saat mencicipi masakan istrinya. Ia pun sama merasakan apa yang kakeknya rasakan.
"Kak, kenapa dengan kakek." Rara bertanya pada suaminya yang seakan acuh saja melihat kakeknya menangis.
"Biarkan saja, begitulah orang tua." Menertawakan kakeknya sendiri malahan.
Tuk
"Dasar cucu tengil. Tidak tau kakek sedang terharu, kamu merusak suasana saja."
Kakek memukulkan tongkat kayunya pada lengan Revan.
"Sakit Kek." Revan mengaduh kesakitan seraya mengusap-usap lengannya.
Sementara Rara melongo melihat kakek dan cucu itu berulah.
"Tidak apa-apa nak, apa kau tau baru kali ini kakek merasakan masakan yang sama persis rasanya dengan buatan putriku. Itulah kenapa aku terharu dan karena rasa rindu yang terpendam begitu lama, mencuat begitu saja saat kakek mencicipi masakan mu."
Rara pun ikut terharu mendengar ucapan kakek, tidak jauh berbeda seperti reaksi bi Mur tadi. Sepertinya sosok mendiang ibu mertuanya sangat mengesankan di hati keluarga dan orang yang mengenal beliau.
"Benarkan, orang tua memang seperti itu. Sedikit-sedikit terharu, sedikit-sedikit menangis, jadi tidak perlu mengkhawatirkan kakek."
Ucapan Revan kembali mendapatkan amukan Kakek Tio. Kali ini bukan pukulan melainkan jeweran di telinga kiri sang cucu yang suka sekali mengejek kakeknya.
"Kau itu cucu nakal."
"Ampuun Kek, lepaskan telingaku. Aku bukan anak kecil lagi, jangan menarik telingaku seperti ini, Kakek."
Jika tadi reaksi kakek dan bib Mur seperti itu, lalu kenapa reaksi kak Revan sangat berbanding terbalik dengan yang lain. Padahal dia adalah putranya, atau ia tidak mengenal ibunya. Akan tetapi kata bib Mur, mendiang ibu mertua meninggal saat Kak Revan berumur 10 tahun. Menurutku itu umur yang cukup untuk kita bisa mengingat kenangan di waktu kecil .
Rara mengira-ngira ada apakah dengan sikap suaminya yang terlihat biasa saja.
Sepeninggalan kakek dan Revan dari meja makan, Rara merapikan dan membereskan peralatan makan, meskipun banyak pelayan tapi tidak membuat ia malas.
"Bi, kenapa Kak Revan tidak bereaksi apa-apa? Apa dia tidak suka sup buatan ku?" tanya Rara pada bi Mur yang tengah mencuci piring.
"Tuan Revan hanya tidak mau menunjukkan kesedihannya dihadapan kakek, dia akan terlihat biasa dan baik-baik saja setiap kali membahas ibunya. Tetapi nanti dia akan menangis sendirian di kamar atau ditempat yang tidak ada orang," jawab bi Mur.
Bi Mur tau karena dia pernah melihat sendiri Revan menangis sendiri di kamarnya sambil memandangi foto sang ibu.
"Apa kau salah bi, harusnya aku tak memasak sup itu. Mereka jadi sedih karena teringat mendiang ibu mertua."
Rara tidak tau jika kakek akan sesedih itu akhirnya.
"Tidak apa-apa Non, mereka hanya terharu sekaligus senang. Apa Nona tau jika selama ini tuan kakek sering kali menyuruh bibi atau koki yang hebat untuk memasak sup itu seperti buatan nyonya, tapi tidak ada yang berhasil menyamai buatan nyonya sekalipun itu koki yang hebat."
"Dan Nona berhasil membuatnya, tuan kakek pasti sangat bahagia."
Bi Mur juga bahagia saat mengatakannya.
,,,
Di mobil Rara tidak sadar jika sejak tadi matanya terus memperhatikan wajah suaminya dari samping sisi kirinya. Wajah tampan yang ternyata sangat pandai menyimpan kesedihannya.
"Apa ada yang salah dengan wajahku?" ujar Revan yang menyadari saat sang istri terus melihatnya.
"Haa... kenapa?"
"Kau itu aneh sekali, bukannya aku yang bertanya kenapa, ckckck..." Revan terkekeh.
"Ada apa, kenapa kau terus melihatku. Apa ada yang salah dengan wajahku atau kau terpesona dengan ketampananku."
"Haa..." Rara melongo mendengarnya. Tidak menyangka Revan akan berkata percaya diri seperti itu.
"Tidak mau mengaku?"
"Tidak, tidak kak, bukan seperti itu." Rara berkata seraya menggerakkan tangannya.
"Lalu kenapa?" Revan menoleh sebentar ke arah Rara dengan alis yang terangkat.
Apa tidak apa-apa jika aku bertanya tentang ibu mertua ya, pikir Rara.
"Mm... apa kak Revan tidak merindukan almarhum ibu mertua?" tanya Rara.
"Apa ini karena sup yang kamu buat tadi pagi," tebak Revan dan diangguki oleh Rara.
"Apa kau berpikir kalau aku bukan anak yang baik dan tidak merindukan ibu sama sekali." Revan menghentikan ucapannya sebentar.
"Ibu adalah wanita hebat dan sangat sabar. Dia membesarkan ku seorang diri tanpa suami yang mendampinginya, dia tidak pernah menampakkan kesedihan dan kesepiannya di depan aku dan kakek padahal hatinya amat terluka. Itu semua ia lakukan agar kami tidak ikut sedih dan mengasihaninya, dia memendamnya sendiri."
"Dalam ingatanku ibu selalu tertawa saat menemani ku bermain dan dia selalu tersenyum dihadapan kakek, sampai kami tidak menyadari jika dia menyimpan luka yang sangat mendalam bahkan hingga penyakit menggerogoti tubuhnya."
"Aku hanya tidak ingin menunjukan kesedihanku dihadapan kakek, di umurnya yang saat ini aku ingin membuat beliau bahagia melewati hari tuanya," jelas Revan mengenai perasaannya.
"Maaf kak, aku tidak tau itu," ujar Rara.
"Kau tidak salah kenapa meminta maaf, justru aku mau berterimakasih karena berkat kamu kakek jadi bisa merasakan masakan ibu lagi sekarang. Mungkin bi Mur sudah menceritakannya padamu jika selama ini kakek sering menyuruh orang memasak sup ikan, tapi tidak ada yang berhasil menyamai atau bahkan mendekati seperti buatan ibu."
Rara sangat tersentuh mendengar cerita suaminya tentang mendiang sang ibu mertua.
"Kamu tidak perlu lagi merasa bersalah Ra, kehadiranmu dirumah sudah banyak merubah suasana didalamnya, yang sebelumnya sepi dan dingin kini menjadi hangat kembali."
"Terimakasih. Kau tidak menolak perjodohan kita waktu itu."
Jujur saat Revan melihat tangis haru kakek tadi pagi ia amat bersyukur karena Rara telah hadir dalam hidupnya.
"Semua sudah diatur oleh Allah kak, pertemuan kita yang melalui perjodohan. Aku tidak akan menolak apa yang sudah Allah takdirkan untukku."
Rara senang mendengarnya, suaminya itu sedikit demi sedikit mulai membuka hatinya. Revan juga tidak menghindari hubungan pernikahan mereka.
"Tuliskan nomor ponselmu, aku tidak ingin kejadian seperti kemarin terulang lagi." Revan menyodorkan ponselnya.
Rara pun menerimanya dan mulai menuliskan nomor ponselnya.
"Ini Kak."
Revan mengambilnya dan melakukan panggilan ke nomor tersebut.
"Simpan nomorku, ingat telepon aku jika terjadi sesuatu."
"Baik." Mungkin memang sudah telat, sudah beberapa hari bersama tapi baru bertukar nomor telepon tapi itu tidak masalah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai dan memperbaiki keadaan hubungan mereka.
,,,
Sesampainya di kampus, seperti biasa Febby sudah menunggu lelaki yang ia anggap kekasihnya itu di parkiran. Dia tidak percaya kalau wanita seperti istrinya Revan yang berdandan biasa saja dan memakai pakaian tertutup itu bisa mengalahkannya.
Ya, hari ini Febby sengaja mengganti gayanya. Memakai dress yang amat cantik, menghias rambut dan kukunya, tidak lupa juga riasan wajah. Dia sudah memperhatikan lelaki di kampus yang tidak berkedip melihatnya, ia yakin jika Revan juga akan terpesona padanya.
"Hay cantik..." goda pria yang lewat.
Tentu saja Febby memberikan senyum termanisnya pada beberapa lelaki yang menyapanya, karena seperti itulah dia. Suka sekali tebar pesona dan menunjukkan keanggunannya didepan para pria.
to be continue...
°°°
...Like, komen , bintang lima jangan lupa yaaa....
...Salam goyang jempol....
...Sehat selalu pembacaku tersayang....