Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Frustasi
"Pentolan sekolah, si paling terkenal seantero sekolah. Justin, nama panjangnya tidak tahu siapa. Tetapi, si paling wah. Identitasnya hampir tidak bisa dibongkar. Sekarang, si pentolan sekolah, sudah mulai berulah." kata Anya.
Sejenak, ia melihat Justin meraba tubuh Abigail, hampir menyentuh area sensitifnya. Benar lebih berani daripada Matthew.
"Sekarang kamu minta maaf!" perintah Justin kepada Abigail.
"Oke, aku akan membuang semua barang-barang pemberian dari siapa pun di hidupku!"
"Nice,"
Kemudian, ia mencium bibir Abigail agak lama, memberikan sensasi lain. Sebelum akhirnya berbisik, "Kalau ada yang bertanya, anggap apa yang kulakukan ini adalah bentuk rasa cintaku padamu," Wajah Abigail sedikit lebam membiru di bagian bibir, akibat pukulan Justin tadi.
Abigail hanya mengangguk. Ia menunduk, lalu terduduk mengais sisa barang-barangnya yang tertinggal. Tas pemberian dari Matthew juga dibuang oleh Justin.
Di ujung sana, teman Anya dan tentu saja Anya sendiri, hanya tercengang. Mereka jelas bingung dengan apa yang terjadi pada Abigail. Benar dugaannya.
Abigail masih tersenyum, meskipun air matanya sedikit mengalir. Ia membalas dengan memberikan ciuman di pipi Justin. "Iya sayang! Terima kasih karena kamu telah mencintaiku!"
Helaan napas pelan.
O0O
Pikirannya berkecamuk. John membanting setir mobilnya. Matanya tertuju pada ponsel. Seseorang meneleponnya tadi sore. Seseorang yang mengatakan bahwa perusahaannya di Meksiko sudah di ambang kebangkrutan setelah beberapa karyawan disebutkan sebagai tersangka perjualan barang ilegal. Hal tersebut menyangkut sistem negara yang mulai diperketat.
Pemerintah Meksiko mulai memerangi perdagangan narkoba. Beberapa karyawan John bahkan sudah mendekam di sel tahanan. Itu pun hanya beberapa orang. Kekuatan kartel narkoba tidak bisa dianggap enteng. Butuh waktu puluhan tahun untuk mencapai titik pemberantasan narkoba secara keseluruhan.
Puluhan tahun juga para aparat keamanan memburu pabrik milik John, tetapi yang mereka temui hanyalah kegagalan, kegagalan, dan kegagalan. Maka dari itu, setelah tertangkapnya beberapa orang, pihak aparat keamanan cukup bisa menghela napas lega. Karena beberapa orang yang dimaksud ini adalah dalang dari perjualan benda haram tersebut.
"Bagaimana bisa?" Emosi John semakin meninggi. Ia tidak mampu membendungnya, meskipun hanya dari bola mata, amarah yang memuncak.
"Bagaimana jadinya para bajingan itu tidak becus untuk mengurus perusahaanku? Hanya segitu, mereka sampai harus ditangkap polisi? Bedebah sialan!"
Ia mengacak rambutnya dengan frustasi, membanting setir berkali-kali hingga memukul setirnya, sampai beberapa menit kemudian, ia cukup tenang untuk melanjutkan emosinya di kantor miliknya. John segera melajukan mobilnya untuk datang ke perusahaan keduanya.
O0O
"Owh, Justin!" Anya bertepuk tangan. Ia menyaksikan Justin setelah memukul pipi Abigail hingga kemerahan.
"Yeon?" batin Abigail. Pada saat itu, Yeon yang berkumpul dengan Anya untuk melihat rekaman, berjalan pelan ke arah Abigail, lalu memeluknya dengan erat.
Hampir menyentuh tubuh Abigail, tangan Yeon ditepis oleh Justin. Ia berkata, "Lebay banget sih. Abigail aku giniin karena aku tuh cinta sama dia dan tidak mau ia berpaling dariku!"
Obsesi seorang laki-laki terhadap perempuannya.
Kaki Abigail terlihat bergetar. Ia—Yeon menatap tas milik Abigail di tong sampah. Terlihat menyedihkan. Tas ini adalah tas kesayangan Abigail, pemberian dari Matthew, orang yang sudah lama tidak ada. Jadi, tidak mungkin Abigail kembali lagi atau selingkuh dengan Matthew, logikanya di mana kakanda?
"Abi!"
"Tidak usah lebay ya!" pinta Justin. "Iya, aku tahu kok. Aku memang biasa diliput sama kamera, tetapi tidak sampai menjadi paparazzi juga. Santailah, kalau mau foto bareng atau tanda tangan buku tulis masing-masing, silakan!"
'Narsistic,' batin mereka.
"Aku sudah menjelaskan berulang kali, kalau misalnya apa yang kulakukan kepada Abigail itu sebagai bentuk cinta, mengerti?" Justin berusaha memanipulasi.
"Oke, setelah ini kita akan belanja banyak barang untuk Abigail. Kamu mau pilih-pilih barang mewah atau bagus?" tanya Justin kepada Abigail, tepat di hadapan mereka. Abigail hanya mengangguk tipis.
"Kamu mau kecupan mesra, sebagai tanda cinta?" Abigail tetap tidak berkutik.
"Oke, nanti sepulang sekolah, ya!"
Kemudian, Abigail dan Justin berlalu pergi, meninggalkan kerumunan orang yang sebelumnya mengepung mereka. Pandangan Anya tertuju pada Yeon yang memungut tas di tong sampah.
"Tasnya Abigail?" tanya Anya. Ia melihat rasa sedih di raut wajah Yeon.
"Iya, tas ini pemberian Matthew. Benar-benar kesayangannya Abigail, sampai ia tidak mau membuat tas ini rusak atau robek. Tas ini juga saksi kebahagiaan Abigail, Matthew, dan orang tuanya kala itu!"
"Emang sekarang Abigail tidak bahagia?" tanya Anya. Ia penasaran dengan sisi lain dari Abigail.
"Tidak. Ia kehilangan dua orang berharga dalam hidupnya, ayahnya dan Matthew. Dua orang yang paling banyak mengukir kebahagiaan bagi Abigail. Bentuk rasa sayangnya selama ini ia tunjukkan dengan selalu membawa tas ini. Dua orang itu juga yang membiarkan Abigail larut dalam mimpi dan cita-citanya di masa depan."
"Ngomong-ngomong, Abigail punya cita-cita apa?" tanya Anya lagi. Ia sangat penasaran dan ingin mengorek kisah hidup Abigail lebih jauh.
"Dokter. Mantan terindahnya, Matthew, ia meninggal dunia karena kanker darah yang menggerogoti tubuhnya. Ayahnya juga meninggal dunia karena sakit. Jadi, dari situ Abigail ingin menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa orang-orang, sekaligus sebagai bakti kepada ayahnya yang sudah tidak ada!"
"Matthew, mantan terindah." Anya bergumam pelan, lalu ia mengelilingi tubuh Yeon dan mengambil tas dari tangan Yeon secara paksa.
"Cakep juga tasnya!" pujinya.
"Emang bagus. Makanya aku heran, cuma karena ada orang baru dalam hidupnya, tas berharga ini jadi pajangan di tong sampah. Karena orang barunya tidak mau melihat pacarnya dekat dengan tas pemberian orang lamanya." jelas Yeon.
Dari situ, Anya, Erika, dan Renata, sebagai penemu barang bukti busuknya Justin, langsung tercengang mendengar penuturan lain dari Yeon, selaku sepupu Abigail.
"Hm, tetapi aku penasaran kenapa kamu malah tidak terdengar dekat dengan laki-laki atau jangan-jangan kamu tidak suka laki-laki?" tebak Anya, langsung kena sasaran.
"Mana ada aku tidak suka laki-laki, enak aja. Aku suka laki-laki, tetapi hidupku dirancang bukan fokus untuk jatuh cinta, soalnya rasanya sakit!"
"Tinggal colek orang kamu pasti dapat Yeon, iya 'kan?" Renata dan Erika mengangguk. "Kamu cantik, pasti cepat dapat pasangan!"
Seketika, mata Yeon, Renata, dan Erika mengarah ke Anya. Mereka tampak syok dengan pujian yang dilontarkan Anya kepada Yeon. Memang paras rupawan Yeon yang menggoda, memiliki darah campuran Korea dan Indonesia membuat dirinya tampak manis, cantik, dan anggun. Tetapi, ya, tidak sampai dipuji oleh sesama jenis juga.
"Anya, apa yang kamu bilang itu?" teriak Erika syok.
"Cuma memuji Yeon," katanya pelan, lalu benar-benar mendapatkan pukulan dari kedua temannya.
"Dari Justin berpaling ke Yeon, bukan main!" teriak Erika, lalu Anya ikut syok. Ia berpikir bahwa temannya salah paham dengan pujian yang ia berikan.