Namanya adalah Haidee Tsabina, wanita cantik dengan hijabnya yang merupakan istri seorang Ibrahim Rubino Hebi. Kehidupan keluarga mereka sangat harmonis. Ditambah dengan seorang anak kecil buah cinta mereka yaitu Albarra Gavino Hebi
Tapi semua berubah karena sebuah kesalahpahaman dan egois yang tinggi. Rumah tangga yang tadinya harmonis berubah menjadi luka dan air mata.
Sanggupkah Haidee dan Ibra mempertahankan keluarga kecil mereka ditengah banyaknya rintangan dan ujian yang harus mereka hadapi? Atau mereka akan menyerah pada takdir dan saling melepaskan? Yuk baca kisahnya.
Follow Ig author @nonamarwa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Marwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Jangan lupa follow Instagram author @nonam_arwa
Jangan lupa like dan komentarnya juga ya
🌹HAPPY READING🌹
"Mama bangun lah. Apa mama nggak capek tidur terus. Apa mama nggak kasian sama Papa. Papa pasti kesepian ma, ayo bangun ma. hiks," ucap Dee yang sudah tidak kuat menahan tangisnya.
"Mama mau tau, sekarang Dee udah bebas. Ga tau siapa yang bebasin Dee, tapi Dee bersyukur Dee masih diberi kesempatan buat berkumpul lagi sama mas Ibra dan Al. Ayo ma, bangun lah. Kita buktikan kebenarannya bersama ma. Mama adalah harapan terbesar Dee," ucap Dee sendu.
Sedangkan Ibra yang tengah duduk di sofa bersama Wijaya dan Al hanya bisa mendengar dan menyimak setiap kata yang terucap dari mulut Dee.
Ibra berjalan menghampiri Dee, "sayang," panggil Ibra mengusap lembut bahu Dee. "Udah ya, doain aja biar mama cepat bangun. Sekarang kita periksa keadaan kamu dulu," lanjut Ibra. Dee mengangguk, "Iya mas, tapi aku mau ke kamar mandi dulu ya," izin Dee. Setelah mendapat izin dari Ibra Dee pergi toilet yang ada di ruangan Raina.
Ibra memandangi wajah Raina yang semakin pucat dan kurus, badannya membungkuk memberikan kecupan singkat di dahi Raina, "Mama bangun yaa, bantu aku buat menyelesaikan semua masalah ini," ucap Ibra sebelum ia berlalu kembali ke sofa.
Ibra berjalan menghampiri Wijaya dan Al, "Ibra, papa harap kamu menyelediki semua yang terjadi dan bisa menemukan pelaku yang sebenarnya. Jangan sampai salah dan kembali tenggelam dalam kesalahpahaman. Ingat Al, dia semakin besar. Sebagai kepala keluarga kamu jangan membiarkan kesalahpahaman menggerogoti rumah tangga mu. Kamu harus bisa bersikap," ucap Wijaya memperingati Ibra.
"Iya pa. Ibra juga sudah menghubungi Agam dan Kevin mengenai ini. Kami tidak melibatkan pihak kepolisian dalam kasus ini. Ada sesuatu yang harus Ibra pastikan. Biar orang-orang Ibra yang ngurus," jawab Ibra mantap kepada Wijaya.
"Hanya satu pesan papa. Jangan terlalu mempercayai orang terdekat mu, kadang mereka juga bisa menjadi penghancur mu. Mawar saja yang terlihat baik diam-diam bisa melukai orang yang merawatnya dengan duri yang ia miliki. Papa harap kamu paham maksud papa," ucap Wijaya.
Ibra bingung mendengar ucapan Wijaya, seolah-olah dia mengetahui sesuatu yang tidak Ibra ketahui. Tapi dia tetap menganggukkan kepala mengerti mendengar ucapan Ibra. Nanti juga dia akan tahu sendiri, pikir Ibra.
Al yang mendengar pembicaraan Abi dan kakeknya hanya memasang wajah polos anak-anaknya. Padahal dalam hatinya ia bersorak gembira mendengar nasehat yang diberikan Wijaya pada Ibra.
Tidak berselang lama Dee keluar dari kamar mandi. Dee berjalan menuju tempat suami, anak dan mertuanya duduk. Ibra dan Dee berpamitan kepada Wijaya untuk ke dokter memeriksa keadaan Dee. Wijaya sudah mengetahui apa yang terjadi pada menantunya itu karena Ibra telah menceritakan semua yang terjadi.
Setelah mendapat izin dari Wijaya, Ibra, Dee dan Al keluar dari ruangan Raina. Kini tinggal Wijaya seorang diri menemani istrinya.
"Cepat bangun ma, menantu kita udah bebas. Mama harus bangun meluruskan semua Kesalahpahamam ini. Papa percaya mama bisa dengar papa kan. Dan satu lagi, papa juga sangat merindukan mama," ucap Wijaya mengecup lama dahi Raina.
Wijaya naik keatas tempat tidur dan berbaring di sebelah Raina. Memeluk tubuh kurus dan pucat istrinya. Begitu cinta pria paruh baya ini kepada istrinya.
Tak terasa, Ibra dan Dee telah selesai memeriksakan keadaan Dee. Dokter mengatakan bahwa luka ditubuh Dee sudah tidak terlalu parah dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibra meminta dokter memberikan obat terbaik untuk Dee, biaya tidak akan masalah untuknya.
Kini mereka bertiga sudah ada di mobil menuju perjalan pulang. Tak berselang lama, mobil yang dikendarai Ibra sampai di rumah mewahnya.
"Adek duluan aja ya, mas ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan Kevin," ucap Ibra sebelum Dee membuka pintunya.
"Mas nggak makan siang dulu ?" tanya Dee. karena ini sudah waktunya makan siang dan mereka bertiga belum makan sama sekali.
Ibra menggeleng, "Nanti di kantor aja. Kevin udah nungguin dari tadi," jawab Ibra.
"Ya udah, jangan sampai lupa makan dan jangan kecapean juga," ucap Dee mengingatkan Ibra.
Ibra tersenyum dan mengangguk, "iya sayang. Kamu jangan lupa istirahat," jawabnya mengelus lembut pipi sang istri.
Ibra menoleh ke belakang melihat Al. "Al ikut Abi kekantor atau di rumah aja ?" tanya Ibra pada Al yang sedari tadi sibuk dengan kartun di iPad nya.
Al mendongakkan kepalanya, "Al di rumah aja, Abi," jawab Al. Karena dia saat ini ingin memastikan sesuatu.
Dee dan Al keluar dari mobil setelah menyalami tangan Ibra. Al langsung berlari menuju kamarnya tanpa menunggu Dee. Dee yabg melihat sikap Al hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Sabar, itulah yang harus dilakukan Dee. Terlalu kecil bagi Al untuk dipaksa mengerti. Tanpa Dee dan Ibra ketahui, Al mengetahui semuanya, kasih sayang kepada Uminya memaksanya untuk mengerti dan yang bisa dilakukannya hanya diam menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap segalanya.
Dee berjalan memasuki rumah, ia berjalan ke dapur meminta Bi Nini untuk menyiapkan makan siang untuk Al. Karena terlalu lelah, Dee langsung berjalan ke kamar mengistirahatkan tubuhnya karena lelah. Salah satu efek dari luka yang selalu diterimanya adalah daya tahan tubuh Dee yang mulai menurun, dia akan mudah lelah.
Al dikamarnya kembali membuka buku sketsa gambarnya. Anak ini sangat hebat dalam hal melukis dan menggambar. Entah bakat siapa yang ia dapatkan. Dengan senang dan semangat Al melukis wajah Dee di buku itu dengan kepala botaknya Dee. Meskipun botak, Dee nampak cantik di gambar Al. Anak ini selalu sempurna jika sudah menyangkut mengenai Uminya.
Selesai dengan kegiatannya, Al berjalan masuk menuju kamar Dee dan dengan berjalan mengendap anak itu mendekati Dee. Tangan mungilnya terulur mengusap lembut kepala Dee yang tidak tertutup oleh hijabnya, selembut mungkin agar tidak membangunkan Dee.
Pandangan Al turun ke bagian perut Dee. Tangan mungilnya menyingkap sedikit baju Dee dan melihat luka yang ada di dekat pusar Dee. Bibir mungilnya mencium luka Uminya. Sama persis seperti yang Ibra lakukan.
"Ini pasti sangat sakit kan Umi. Kalna kenakalan Al umi halus mendapat luka Ini. Maafin Al umi," gumam Al memperhatikan wajah damai Dee. Hatinya sakit saat tadi melihat tubuh Uminya di rumah sakit saat diperiksa. Ia menahan diri agar tidak bertanya, kesempatan ini sudah ia tunggu sejak tadi.
"Luka kita sama Umi," ucap Al. Tangannya membuka sedikit bajunya dan membandingkan luka yang ada ditubuh Dee dan tubuhnya.
"Al juga melasakannya Umi," gumam Al dengan suara bergetar. Sekuat mungkin menahan agar tangisnya tidak keluar.
"Mereka menyuruh Al diam supaya ndak nakal. Kalna kalau Al nakal umi akan dapat luka lagi. Maafin Al umi," gumam Al dengan terus memandang wajah Dee yang tertidur. Setelah puas, Al melangkah keluar dengan perlahan agar tidak membangunkan Dee.
......................
Hai Teman-Teman, Terimakasi sudah mampir dan menyaksikan bagaimana kisah Ibra, Dee dan juga Al ,,,
Jangan lupa like sama komentarnya yaa teman-teman agar novel ini tambah seru lagi,,,
Jangan lupa follow Instagram author @nonam_arwa untuk melihat ucapan ucapan mutiara author yaa.....
tapi seruuu puas bgt bacanya
terimakasih thooor
semoga karya mu selalu d gemari
berbahagialah dee
paling buat berobat Jaka 15rb tuuh beli betadine