NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Editor Tak Kasat Mata

Tik... tok... tik... tok...

Suara metronom itu terdengar kering dan tajam, memotong keheningan ruang tamu Rian seperti pisau silet. Iramanya lambat, namun konsisten. Seolah sedang menghitung mundur sisa kewarasan mereka yang memang sudah menipis.

"Buang," desis Rian. Wajahnya mengeras, matanya menatap benda kayu tua itu dengan kebencian murni. "Bobi, ambil plastik sampah. Jangan sentuh langsung pakai tangan kosong."

Bobi, yang mukanya udah pucat banget, mengangguk patah-patah. Dia berlari ke dapur, menyambar kantong kresek hitam besar, lalu membungkus tangannya dengan kain lap sebelum memungut metronom itu.

"Sumpah, ini benda berat banget. Padahal ukurannya kecil," keluh Bobi sambil memasukkan metronom itu ke dalam plastik, lalu mengikatnya simpul mati tiga kali. "Kayak ngangkat dosa."

"Gue buang ke tempat sampah depan komplek," kata Rian, menyambar kunci mobil. Dia nggak mau ambil risiko cuma naruh di tong sampah depan rumah. "Kalian tunggu di sini. Kunci pintu."

Rian keluar, membawa bungkusan plastik itu. Suara mobil terdengar menjauh.

Di dalam rumah, Elara duduk di sofa sambil memeluk lutut. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena dingin. Dia gemetar karena rasa takut dan rasa ingin.

Ada dorongan aneh di ujung-ujung jarinya. Rasa gatal, kesemutan, seolah ada aliran listrik yang menumpuk di sana dan menuntut untuk dilepaskan. Matanya terus melirik ke arah pintu kamar tamu, tempat laptopnya berada.

"El," panggil Sarah pelan. Dia duduk di sebelah Elara, tangannya yang dingin menggenggam bahu temannya. "Lo oke? Jangan dengerin tulisan itu. Kita nggak usah nulis apa-apa lagi. Kita block aja semua yang berbau horor."

Elara menoleh, matanya berkaca-kaca. "Masalahnya bukan di situ, Sar. Gue... gue ngerasa harus nulis. Kalau enggak, kepala gue rasanya mau pecah. Kayak ada yang bisik-bisik di dalam otak gue, diktein kalimat demi kalimat."

Sarah merinding. "Itu sugesti, El. Lo masih trauma."

Nggak lama kemudian, Rian balik. Dia masuk dengan napas ngos-ngosan, rambutnya agak basah kena gerimis.

"Udah," kata Rian tegas sambil mengunci pintu utama dan memasang rantai pengaman. "Gue lempar ke bak sampah besar di ruko depan. Besok pagi pasti diangkut tukang sampah."

"Terus tuts pianonya?" tanya Bobi waspada.

"Udah gue buang sekalian. Gue pastiin nggak ada yang ketinggalan," jawab Rian. Dia berjalan mendekati Elara, berlutut di depannya. "Denger, El. Nggak ada yang bakal nulis ending buat kita. Kita yang tentuin hidup kita sendiri. Oke?"

Elara mengangguk lemah. "Oke."

Tapi "Oke" itu cuma bertahan lima belas menit.

Saat Rian ke dapur buat ngambil air minum dan Sarah lagi bantu Bobi ganti perban di rusuknya, Elara merasa dunianya miring.

Suara tik... tok... itu terdengar lagi.

Bukan dari luar. Bukan dari dapur.

Tapi dari dalam kamar tamu. Dari laptopnya.

Elara berdiri seperti robot. Kakinya melangkah sendiri menuju kamar itu.

"El? Mau ke mana?" tanya Sarah curiga saat melihat Elara berjalan kaku.

Elara nggak jawab. Dia membuka pintu kamar tamu.

Di atas meja, laptopnya menyala. Layar putih dokumen Word itu bersinar terang di ruangan yang remang-remang.

Dan di samping laptop... metronom itu ada di sana lagi. Bergoyang pelan. Tik... tok...

Bukan cuma metronom. Tuts piano hitam itu juga kembali ke posisinya semula di samping mouse.

"Nggak mungkin..." bisik Rian yang baru muncul dari dapur, gelas di tangannya jatuh dan pecah berkeping-keping. "Barusan gue buang! Gue liat sendiri gue lempar ke bak sampah!"

Bobi dan Sarah ikut lari mendekat. Wajah mereka horor.

"Ini nggak bener, Yan," Bobi mundur teratur. "Ini santet online apa gimana sih? Kok bisa balik lagi?!"

Elara berjalan mendekati meja. Dia nggak bisa nahan diri lagi. Dia duduk di kursi kerja, tangannya langsung melayang di atas keyboard.

"Elara! Jangan!" Rian mencoba maju untuk menarik kursi Elara menjauh.

Tapi tiba-tiba, Rian terpental mundur seolah menabrak tembok kaca yang tak terlihat.

DUG!

"Aw!" Rian memegangi bahunya. "Sialan... ada pelindungnya?"

"Jangan deket-deket!" teriak Elara tanpa menoleh. Suaranya berubah. Lebih berat, lebih otoriter. "Kalian ganggu konsentrasi!"

Jari Elara mulai menari di atas tuts keyboard.

Tak tak tak tak tak.

Suara ketikan itu cepat sekali, berpacu dengan irama metronom. Huruf demi huruf muncul di layar, membentuk kalimat, lalu paragraf.

Rian, Sarah, dan Bobi cuma bisa nonton dari ambang pintu dengan perasaan tak berdaya. Mereka nggak bisa masuk. Ada dinding energi yang menahan mereka di radius dua meter dari meja kerja itu.

"Dia nulis apa?" tanya Sarah panik, menyipitkan mata mencoba baca layar dari jauh.

Elara mengetik dengan mata kosong. Dia bukan sedang mengarang cerita. Dia sedang mencatat apa yang dibisikkan ke telinganya.

Di layar, tertulis:

BAB 16: LAMPU PADAM DAN TAMU TAK DIUNDANG

"Malam itu di rumah Rian, udara mendadak berubah lembap. Bau tanah basah menyeruak, seolah-olah lantai keramik berubah menjadi tanah kuburan. Rian merasakan hawa dingin menyentuh tengkuknya, seperti napas orang mati."

Begitu kalimat itu selesai diketik Elara, Rian langsung memegang leher belakangnya. Dia bergidik hebat.

"Anjir..." desis Rian. "Gue... gue barusan ngerasain ada yang niup leher gue. Dingin banget."

Elara lanjut mengetik:

"Bobi mencium bau melati yang sangat menyengat, membuatnya mual. Dia sadar, aroma itu bukan berasal dari pengharum ruangan, tapi dari sudut ruangan tempat bayangan terlihat lebih pekat."

"Woy! Stop!" teriak Bobi histeris, menutup hidungnya. "Bau melati beneran! Sumpah, bau banget! Elara, berhenti nulis!"

Tapi Elara nggak berhenti. Air mata mengalir di pipinya, tapi tangannya terus bergerak, diperbudak oleh narasi gaib itu.

"Sarah ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Dia melihat lampu ruang tengah berkedip tiga kali, memberi tanda kedatangan seseorang."

Pett. Pett. Pett.

Lampu kamar dan ruang tengah berkedip tiga kali persis seperti yang ditulis. Lalu mati total.

Gelap gulita.

"AAAARGH!" Sarah mencoba menjerit, tapi suaranya benar-benar hilang. Dia cuma bisa mengap-mengap, memegangi lehernya yang sakit.

"Tenang! Semuanya tenang!" Rian menyalakan flashlight HP-nya. Cahayanya bergoyang-goyang panik menyapu ruangan. "Elara, please, lawan El! Jangan biarin dia ngendaliin realitas kita!"

Elara terisak. "Gue nggak bisa berhenti, Yan! Tangan gue gerak sendiri!"

Jari Elara menekan tombol Enter keras-keras. Paragraf baru.

"Mereka pikir mereka aman di dalam rumah. Tapi mereka lupa, pintu yang dikunci hanya bisa menahan manusia. Tamu yang satu ini tidak butuh kunci."

TOK. TOK. TOK.

Suara ketukan pintu depan terdengar jelas di tengah kegelapan rumah.

Tiga kali ketukan. Berat. Berwibawa.

Bobi langsung melompat memeluk kaki Rian. "Jangan dibuka! Demi Tuhan jangan dibuka!"

Elara mengetik lagi.

"Rian berjalan ke arah pintu. Dia tahu dia tidak boleh membukanya. Tapi rasa penasaran dan ketakutan memaksanya untuk mengintip lewat lubang pintu."

Tubuh Rian bergerak sendiri. Kakinya melangkah kaku menuju ruang tamu, meninggalkan kamar kerja Elara.

"Nggak! Gue nggak mau ke sana!" Rian berusaha melawan, menahan kakinya di lantai. Tapi kekuatannya kalah besar. Tubuhnya diseret oleh narasi cerita.

"Rian!" panggil Elara histeris sambil terus mengetik adegan itu secara real-time. "Rian menempelkan matanya ke lubang intip. Di luar sana gelap, tapi dia bisa melihat sosok yang berdiri di teras."

Rian sampai di depan pintu utama. Tangan kanannya gemetar saat menyentuh daun pintu. Dia mendekatkan wajahnya ke lubang intip.

Jantungnya berdegup kencang sampai rasanya sakit. Dia memejamkan mata sejenak, berdoa, lalu membuka matanya untuk mengintip.

Di luar, di bawah sorot lampu jalan yang remang-remang, berdiri seseorang.

Bukan monster hitam. Bukan mayat hidup.

Itu seorang pria tua dengan seragam satpam yang lusuh. Topinya miring menutupi sebagian wajah. Dia menunduk.

"Siapa?" tanya Rian, suaranya bergetar.

Di kamar, Elara mengetik kalimat dialognya:

"Itu Pak Wira," bisik Rian. "Penjaga Villa Edelweiss."

"Itu Pak Wira..." gumam Rian di dunia nyata, shock berat. "Penjaga villa... tapi..."

Elara mengetik lagi dengan kecepatan kilat:

"Tapi Rian ingat, Pak Wira sudah meninggal dua hari yang lalu karena serangan jantung. Mayatnya baru ditemukan pagi ini di pos jaga."

Rian tersentak mundur menjauhi pintu. "Dia... dia harusnya udah mati."

Lalu, dari balik pintu, terdengar suara Pak Wira. Suaranya serak, basah, seperti orang yang kerongkongannya penuh air.

"Mas Rian... ada barang yang ketinggalan..."

SREEK.

Suara kertas diselipkan lewat celah bawah pintu.

Rian menyorotkan senternya ke lantai.

Sebuah amplop cokelat tua tergeletak di sana. Ujungnya basah oleh darah segar.

Elara mengetik kalimat terakhir untuk bab ini, jarinya menghantam keyboard dengan brutal:

"Rian memungut amplop itu. Di dalamnya ada satu foto polaroid baru. Foto itu menampilkan mereka berempat sedang tidur di ruang tengah rumah Rian malam ini. Dan di pojok ruangan, berdiri sosok Adrian yang tersenyum lebar sambil memegang bahu Elara yang sedang tertidur."

"JANGAN DIAMBIL!" teriak Elara dari kamar.

Tapi terlambat. Narasi sudah ditulis.

Rian memungut amplop itu dengan tangan gemetar. Dia membukanya.

Isinya persis seperti yang ditulis Elara. Foto mereka yang sedang tidur. Dan Adrian ada di sana, di dalam rumah ini, mengawasi mereka semalaman tanpa mereka sadari.

Dan di balik foto itu, ada tulisan tangan Adrian:

"Bab 17: Salah Satu Harus Berkorban. Pilih: Si Pelawak atau Si Penulis?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!