Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga yang harus dibayar
Ethan menahan diri agar tidak menghancurkan pintu di hadapannya.
Tangannya terkepal begitu erat hingga kukunya melukai telapak tangannya sendiri.
Namun, ia tidak merasakan sakit itu.
Karena yang jauh lebih menyakitkan adalah kata-kata Susan setelahnya.
"Tapi aku masih harus menikah dengannya," desah Susan, masih bergerak di atas Edward, seakan membahas hal remeh di tengah… ini.
"Kau hanya butuh dia untuk bertahan hidup," Edward mencibir, tangannya meremas pinggang wanita itu semakin erat, mengendalikan tempo permainan mereka. "Setelah itu, buat alasan. Katakan kau tidak bisa hidup dengan pria cacat. Hukum akan berpihak padamu. Tak ada yang akan menyalahkanmu."
Mata Ethan bergetar.
Setiap kata itu menghujamnya lebih dalam dari peluru.
Namun, Susan belum selesai.
"Aku bahkan jijik melihatnya di ranjang itu," bisiknya dengan nada penuh hinaan. "Aku tidak bisa membayangkan harus menghabiskan hidupku dengan pria yang bahkan tidak bisa—"
Tangan Edward menarik rambut Susan, membuat kepalanya mendongak.
"Tapi kau menyukaiku, kan?" suara Edward bergetar penuh nafsu.
Ethan bisa melihat mata Susan yang basah, bibirnya yang ternganga dengan wajah penuh kenikmatan.
"Tentu saja," bisik Susan, napasnya tersengal. "Kau membuatku merasakan apa yang tidak pernah bisa dia berikan. Aku bahkan lupa bahwa aku masih harus menikah dengannya."
Dan di sana, di balik pintu yang sedikit terbuka, Ethan hanya bisa berdiri kaku.
Menyaksikan cinta yang pernah ia percayai tercabik-cabik menjadi kepingan kosong.
Kesetiaan tidak ada.
Cinta hanya permainan.
Dan wanita tidak akan pernah mencintai pria yang cacat.
Ethan bukan pria yang bodoh.
Ia tahu ada dua jenis pembalasan.
Satu, pembalasan yang dilakukan dengan terburu-buru—didorong oleh amarah yang menggelegak, menghancurkan semuanya dalam satu ledakan singkat.
Dua, pembalasan yang dilakukan dengan tenang—seperti ular yang melilit mangsanya perlahan, membiarkan mereka merasa aman sebelum akhirnya kehabisan napas dan mati.
Ethan memilih yang kedua.
Ia tidak akan mengamuk.
Ia tidak akan langsung menghancurkan.
Tidak.
Ia akan membuat mereka merasa aman.
Membiarkan mereka percaya diri.
Membiarkan mereka hidup dalam kebohongan, berpikir bahwa mereka menang.
Dan saat mereka berada di puncak keangkuhan mereka—ia akan menjatuhkan mereka ke dalam jurang yang lebih gelap dari neraka itu sendiri.
Malam itu, ketika ia melihat Susan dan Edward di ranjang yang sama, telanjang dan terjerat dalam nafsu, Ethan bisa saja menghancurkan mereka saat itu juga.
Tapi tidak.
Karena itu terlalu mudah.
Dan orang seperti mereka tidak pantas mendapatkan kemudahan.
Ia memilih mundur.
Membiarkan mereka berpikir bahwa mereka tidak ketahuan.
Membiarkan Susan tetap tersenyum manis kepadanya, seolah ia masih tunangan yang setia.
Membiarkan Edward tetap bersikap seperti kakak yang peduli, seolah ia bukan pengkhianat yang paling keji.
Karena semakin lama mereka memainkan sandiwara ini, semakin dalam mereka akan terjatuh saat Ethan menarik tirai terakhir.
Dan sekarang, di hadapannya, ada satu orang lagi yang harus ia hadapi.
Anna.
Wanita yang—entah sengaja atau tidak—telah menjadi bagian dari takdir buruknya.
Wanita yang menabraknya.
Tapi juga wanita yang menyelamatkannya.
Wanita yang menandatangani kertas persetujuan operasi itu.
Ethan menatapnya, mempelajari setiap inci ekspresinya.
Ketakutan.
Kebingungan.
Dan—jika ia perhatikan lebih dalam—sedikit perlawanan.
Ah, jadi begitu.
Jadi, Anna bukan sekadar wanita lemah yang pasrah.
Bagus.
Karena permainan ini baru saja dimulai.
Ethan mengeluarkan kertas itu dari saku kursi rodanya, lalu memperlihatkannya pada Anna.
Ia melihat bagaimana mata wanita itu membesar seketika.
Dia tahu.
Dia tahu apa yang ada di dalam kertas itu.
Ada namanya.
Ada tanda tangannya.
Dan ada statusnya.
Istri.
Istri palsu.
Ethan melihat bagaimana ketegangan di wajah Anna berubah menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang penuh kewaspadaan.
Dan saat wanita itu akhirnya membuka mulutnya, suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya, meskipun jelas ada getaran di sana.
"Apakah kau mencari masalah karena itu?" tantang Anna. "Karena aku tidak membayar semuanya? Baiklah. Aku tak punya uang lagi. Apa yang kau harapkan dari si miskin ini?"
Ethan tertawa kecil—bukan tawa yang menyenangkan, tapi tawa yang menandakan ia sedang menunggu momen ini.
Ia ingin melihat bagaimana Anna bereaksi.
Ia ingin tahu seberapa jauh wanita ini akan bertahan sebelum akhirnya menyerah.
"Kau masih punya uang," katanya pelan.
Anna menggeleng. "Tak punya."
Ethan menyeringai.
Baiklah.
Kalau begitu…
"Jika begitu, apa yang harus kau jual lagi?"
Anna menegang.
Ia berusaha mundur, tapi sebelum ia sempat bergerak, tangan Ethan mencengkeram lengannya dan menariknya dengan paksa.
Tubuh Anna terdorong ke depan, jatuh terduduk tepat di hadapan Ethan.
Dan di saat itu, mata mereka bertemu.
Ada dialog sunyi di antara mereka.
Mata Anna berisi kemarahan, ketakutan, dan sedikit rasa bersalah.
Tapi mata Ethan?
Kosong.
Tidak ada kebencian.
Tidak ada kemarahan.
Yang lebih mengerikan—tidak ada emosi sama sekali.
Karena Ethan tidak melihatnya sebagai musuh.
Ia melihatnya sebagai alat.
Dan alat tidak perlu dihancurkan.
Alat hanya perlu dimanfaatkan.
"Selain tubuhmu… tidak ada yang berguna lagi."
Kata-kata itu keluar dari bibir Ethan dengan pelan, tapi mengiris lebih dalam daripada pisau mana pun.
Anna mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Ethan terlalu kuat.
Dan saat pria itu kembali bersuara, suaranya terdengar lebih rendah, lebih gelap, dan lebih menekan.
"Karena kaulah penyebab semua ini."
Jari-jari Ethan semakin menguat di lengannya, seolah ingin memastikan bahwa Anna tidak akan bisa lari.
"Dan sekarang…"
Ia menarik wajahnya lebih dekat, cukup dekat hingga ia bisa merasakan napas panas Anna yang bergetar.
"Kau harus membayar harga yang pantas."
Anna tahu ia harus membayar.
Malam itu, kecelakaan itu, darah yang mengalir dan gaun pengantin yang dibawa Ethan saat itu—semuanya membawa konsekuensi.
Dan kini, pria itu ada di hadapannya, menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan maaf.
Anna menggigit bibirnya, mencoba mencari jalan keluar.
"Aku punya sedikit uang."
Kata-kata itu terdengar begitu lemah di antara mereka.
"Kau tinggal sebut harganya, dan aku akan berusaha mengurangi beban tagihanmu padaku."
Anna teringat setiap hasil tabungan kecil yang ia kumpulkan di dalam penjara. Setiap hasil keringatnya, setiap harapan kecilnya untuk membangun kembali hidupnya setelah keluar dari neraka itu.
Ia bermimpi membuka butik kecil, sesuatu yang bisa menghidupinya tanpa harus bergantung pada siapa pun.
Tapi kini?
Mimpi itu harus mati.
Karena Ethan lebih dulu datang menuntut sesuatu.
Ethan menatapnya dengan dingin.
"Aku perlu tubuhmu."
Pernyataan itu terdengar begitu mutlak. Seolah tak ada ruang untuk penolakan.
Anna menegang. "Aku tidak menjual tubuku. Aku bukan wanita seperti itu."
Ethan menyeringai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?