NovelToon NovelToon
The Stoicisme

The Stoicisme

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Berbaikan
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyudi0596

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19

Naruto berjalan pelan di koridor sekolah, langkahnya nyaris tanpa suara. Hiruk-pikuk siswa yang berlalu-lalang di sekitarnya terasa seperti latar belakang samar yang tidak benar-benar dia sadari. Pikirannya masih berkutat pada ucapan Hiratsuka-sensei.

"Tidak semua orang ingin mencari solusi ideal. Beberapa hanya ingin masalahnya selesai secepat mungkin."

Kata-kata itu mengingatkannya pada sesuatu—pada seseorang.

Wajah itu muncul di benaknya begitu jelas, seolah masa lalu sedang memanggilnya kembali.

Sasuke.

Dulu, dia dan Sasuke juga pernah berada di persimpangan yang sama. Perbedaan cara pandang, keyakinan yang bertentangan. Sasuke ingin menyelesaikan masalah dengan cara tercepat dan paling efektif—balas dendam, memutus semua hubungan, menjadi lebih kuat dengan caranya sendiri. Sementara Naruto... dia ingin mencari jalan lain, jalan yang lebih panjang, lebih sulit, tapi benar-benar menyelesaikan akar permasalahan.

Dan karena itulah mereka berbenturan.

Sama seperti sekarang, solusi Hachiman memang efektif, tetapi tidak menyentuh akar masalah. Hayama tetap dibiarkan dalam posisinya sebagai poros, sebagai pusat dari lingkaran pertemanan yang rapuh itu. Ketiga temannya hanya akan kembali ke kebiasaan lama, tanpa pernah benar-benar memahami satu sama lain.

Naruto mengepalkan tangan di saku celananya.

"Apakah aku terlalu idealis?" pikirnya.

Dia paham betul bahwa tidak semua orang mau menempuh jalan panjang hanya demi menyelesaikan sesuatu dengan sempurna. Sasuke dulu juga begitu—dan bahkan hingga saat ini, Naruto masih harus berjuang untuk membuktikan bahwa ada cara lain, cara yang lebih baik.

Namun, dalam dunia ini... apakah semua orang benar-benar ingin diselamatkan?

Langkahnya berhenti di depan pintu ruang klub relawan. Dia menarik napas panjang, mengusir bayangan masa lalu yang terus membayanginya.

Sekarang bukan waktunya untuk tenggelam dalam kenangan. Ada sesuatu yang harus dia selesaikan di sini, saat ini.

Dengan satu tarikan napas, Naruto membuka pintu ruang klub dan melangkah masuk.

Saat Naruto membuka pintu ruang klub, hanya ada satu sosok di dalamnya—Yukinoshita Yukino.

Gadis itu duduk dengan tenang di kursinya yang biasa, cahaya matahari sore yang menembus jendela menyinari rambut hitamnya yang tergerai rapi. Jemarinya dengan anggun membalik halaman bukunya, seakan dunia di sekelilingnya tidak pernah ada.

Naruto menghela napas ringan sebelum melangkah masuk. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini—Yukino dengan bukunya, tenggelam dalam dunianya sendiri.

Tanpa banyak bicara, dia duduk di kursinya sendiri dan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Buku itu sudah cukup lusuh di beberapa bagian, tanda bahwa sudah dibaca berkali-kali.

The Meditations karya Kaisar Marcus Aurelius.

Saat Naruto mulai membuka halaman pertamanya, tanpa mengangkat wajahnya dari bukunya, Yukino berkomentar dengan nada datar, tetapi penuh perhatian,

"Kaisar filsuf. Aku tidak menyangka kau akan tertarik dengan Stoikisme."

Naruto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Apa aku tidak terlihat seperti seseorang yang bisa merenungi hidup?" tanyanya ringan.

Yukino menutup bukunya perlahan dan menatapnya dengan mata birunya yang tajam, seperti sedang menilai sesuatu.

"Bukan itu," katanya. "Tetapi Stoikisme menuntut seseorang untuk menerima kehidupan apa adanya, sementara kau... sepertinya lebih condong pada mereka yang ingin mengubah dunia dengan kekuatan mereka sendiri."

Naruto terdiam sejenak.

Kata-kata Yukino menusuk lebih dalam dari yang dia kira.

Dia memang bukan orang yang hanya pasrah pada keadaan. Sejak kecil, dia selalu berjuang melawan takdir yang seolah sudah ditetapkan untuknya. Berusaha mengubah pandangan orang-orang, meraih cita-citanya, dan membuktikan bahwa tidak ada hal yang mustahil jika seseorang cukup keras kepala untuk memperjuangkannya.

Namun, semakin lama dia hidup, semakin dia sadar... bahwa tidak semua hal bisa diubah dengan tekad saja.

Beberapa hal memang harus diterima.

"Mungkin itu sebabnya aku membacanya," ujar Naruto akhirnya. "Kadang, aku merasa harus belajar kapan harus berhenti berjuang... dan kapan harus menerima sesuatu seperti apa adanya."

Yukino menatapnya beberapa detik, sebelum perlahan mengalihkan pandangannya kembali ke bukunya.

"Pemikiran yang menarik," gumamnya, hampir seperti bisikan.

Di ruangan yang hanya diisi mereka berdua, sunyi yang tercipta bukanlah kesunyian yang canggung.

Naruto kembali menatap halaman bukunya, tetapi pikirannya masih melayang pada satu pertanyaan yang tidak bisa dia jawab.

"Apakah aku benar-benar bisa menerima sesuatu seperti apa adanya... tanpa mencoba mengubahnya?"

Naruto masih menatap halaman bukunya, tetapi pikirannya melayang jauh dari kata-kata Kaisar Marcus Aurelius. Kenangan masa lalunya, ucapan Hiratsuka-sensei, dan kasus Hayama semuanya bercampur dalam benaknya.

Yukino, yang masih fokus pada bukunya, tiba-tiba berbicara dengan nada datar.

"Ngomong-ngomong, aku penasaran..." ucapnya tanpa mengangkat wajahnya. "Kau belum menyampaikan pendapatmu soal kasus kemarin. Jika bukan solusi Hikigaya, apa yang akan kau lakukan?"

Naruto terdiam sejenak.

Ia bisa saja memberikan jawaban yang diplomatis, sesuatu yang netral dan tidak menyinggung siapa pun. Tapi di hadapan Yukino, itu tidak akan ada gunanya. Gadis itu bisa membaca kepalsuan dalam ucapan seseorang dengan mudah.

Jadi, dia memilih untuk jujur.

"Aku akan membiarkan mereka bertiga menghancurkan satu sama lain."

Yukino akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Naruto dengan mata birunya yang tajam.

"Kau serius?" tanyanya.

Naruto mengangguk pelan. "Mereka berteman bukan karena persahabatan yang tulus, tapi karena Hayama. Mereka tidak benar-benar peduli satu sama lain. Begitu ada ancaman yang memaksa mereka berkompetisi, mereka mulai saling menjatuhkan."

Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat tangannya.

"Masalah ini bukan soal bagaimana membagi kelompok secara adil. Ini soal bagaimana mereka memandang pertemanan. Jika mereka benar-benar teman, mereka akan menemukan cara untuk tetap bersama tanpa perlu menjatuhkan satu sama lain."

Yukino memperhatikan ekspresi Naruto dengan saksama, sebelum akhirnya menghela napas pelan.

"Jadi kau percaya bahwa konflik di antara mereka diperlukan?"

"Tidak," kata Naruto, "aku percaya bahwa konflik mengungkap siapa mereka sebenarnya."

Sejenak, hanya keheningan yang memenuhi ruangan.

Kemudian, Yukino kembali menundukkan kepalanya, tatapannya kembali ke buku di tangannya.

"Pandangan yang kejam," gumamnya.

Naruto tersenyum kecil. "Tapi benar, kan?"

Yukino tidak menjawab. Namun, tatapan tajamnya yang kembali tertuju ke halaman bukunya memberi tahu Naruto bahwa gadis itu sedang memikirkannya.

Naruto menutup bukunya perlahan, menatap langit-langit ruangan sebelum kembali bersuara.

"Itu adalah solusi yang akan kupilih... jika Hayama benar-benar ingin tahu siapa yang memulai semua ini," katanya dengan nada tenang.

Yukino menatapnya lagi, kali ini dengan minat yang lebih besar.

"Maksudmu?"

"Jika membiarkan mereka saling menghancurkan, pada akhirnya pelaku sebenarnya akan terungkap," lanjut Naruto. "Orang yang paling putus asa untuk menyingkirkan yang lain biasanya adalah orang yang memulai segalanya. Ketika tekanan meningkat, mereka akan terpancing untuk membela diri atau menuduh yang lain lebih dulu."

Yukino menyandarkan dagunya pada satu tangan, ekspresinya sulit ditebak.

"Jadi, kau ingin membiarkan mereka saling menggigit sampai salah satu mengakui kesalahannya?" tanyanya sinis.

Naruto tersenyum miring. "Terkadang, manusia perlu jatuh untuk memahami konsekuensi perbuatannya."

Namun, ia kemudian menggeleng pelan.

"Tapi Hayama tidak menginginkan itu."

Yukino mengangkat alis.

"Alih-alih mencari pelakunya, dia lebih memilih menghentikan rumor sebelum menyebar lebih jauh. Dia ingin menjaga persahabatan mereka tetap utuh, seolah tidak pernah ada masalah sejak awal."

Naruto menyilangkan tangannya, menatap meja kosong di depannya.

"Idealis," gumamnya. "Tapi naif."

Sejenak, ruangan kembali sunyi.

Yukino menghela napas, menutup bukunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi, kau percaya solusi Hayama itu salah?"

Naruto menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Aku tidak bisa mengatakan itu sepenuhnya salah. Hanya saja… dia mencoba menyelesaikan masalah tanpa menyentuh akar permasalahannya."

"Dan itu berarti masalah yang sama bisa muncul lagi di lain waktu," Yukino menyimpulkan.

Naruto mengangguk. "Persis. Selama mereka bertiga tetap berada dalam bayangan Hayama, persahabatan mereka tidak lebih dari ilusi. Dan ilusi tidak akan bertahan selamanya."

Yukino terdiam, menatap Naruto seolah sedang menilai perkataannya.

Setelah beberapa saat, dia akhirnya kembali membuka bukunya, tapi bukan untuk membaca.

"Jadi, apa kau akan memberitahunya?" tanyanya pelan.

Naruto tersenyum kecil.

"Tidak," jawabnya. "Karena Hayama sudah membuat pilihannya sendiri."

1
Eka Junaidi
saya baca ada yang janggal, seperti ada yang kurang. coba di koreksi lagi di chapter terakhir
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」
untung bukan sayaka 🗿
Tessar Wahyudi: ah nanti terjawab seiring cerita berjalan
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」: walaupun masih bingung 🗿 mc nya renkarnasi atau bukan
total 3 replies
Eka Junaidi
Masih dipantau, semoga gak macet seperti karya lainnya. atau semoga semuanya bakal di lanjutkan lagi.
Eka Junaidi
Itu sinar matahari pagi atau sore, kok dia akhir Naruto menemukan dokumen Yamato hanya dalam waktu satu jam setengah. jika Naruto Dateng pagi jam setengah enam, setidaknya waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. jadi itu adalah typo.
Eka Junaidi
mantap, semangat nulisnya bro
anggita
like👍pertama... 👆iklan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!