Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cara yang Kotor dan Licik
Darma melangkah keluar dari rumah Wibawa dengan tubuh masih berlumuran darah. Dingin malam menyambutnya, tetapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, derap langkah berat menggema di jalanan yang sunyi.
Di bawah cahaya lampu jalan yang redup, sekelompok pria bersenjata lengkap sudah menunggunya. Mereka mengenakan seragam hitam dengan logo yang tak asing—lambang organisasi bayangan yang beroperasi di bawah kekuasaan Wali Kota Damar Kusuma.
Salah satu pria di tengah melangkah maju. Tubuhnya kekar dengan wajah penuh luka bekas pertempuran. Mata tajamnya menatap Darma tanpa ekspresi.
“Adharma.”
Darma mengamati pria itu. "Kau bukan polisi. Tentara bayaran?"
Pria itu tersenyum tipis. “Aku Rivaldi. Ini bukan pertama kalinya aku memburu orang seperti kau.”
Darma menatap sekeliling. Lima orang bersenjata otomatis berdiri mengelilinginya. Jalannya tertutup.
Tanpa peringatan, dua orang langsung mengangkat senjata mereka, menekan pelatuk.
Darma bergerak secepat kilat, melompat ke samping, menghindari tembakan pertama, lalu mencabut cerulitnya. Dalam satu tebasan, ia merobek leher salah satu pria yang mencoba mendekat.
Dua orang lainnya menyerbu, tetapi Darma sudah lebih dulu menendang salah satu di dada, membuatnya terlempar ke belakang. Satu lagi mengayunkan pisau, tapi Darma menangkap pergelangan tangannya, memutar dengan brutal hingga terdengar suara tulang patah, lalu menusukkan pisaunya sendiri ke tenggorokan pria itu.
Tersisa hanya Rivaldi.
Darma berdiri tegap, napasnya sedikit berat. Luka di tubuhnya masih terasa, tetapi tubuhnya justru semakin kuat.
Rivaldi tersenyum tipis. "Menarik."
Lalu dia bergerak.
Cepat.
Sangat cepat.
Darma tak sempat bereaksi ketika pukulan pertama menghantam dadanya, membuatnya terdorong ke belakang. Belum sempat menyeimbangkan diri, tendangan keras mengenai sisi wajahnya, membuat tubuhnya berputar di udara sebelum jatuh berguling di aspal.
Darma merasakan darah mengalir dari sudut bibirnya.
Untuk pertama kalinya sejak ia memulai misinya, seseorang bisa mengimbanginya dalam pertarungan fisik.
Darma berdiri, mengusap darah dari mulutnya. Ia tersenyum kecil.
"Akhirnya... tantangan yang sesungguhnya."
Pertarungan berlanjut. Pukulan demi pukulan bertukar cepat. Darma berhasil menebas Rivaldi di bahu, tapi pria itu hanya meringis dan terus menyerang.
Darma mulai sadar—ini bukan pertarungan yang bisa ia menangkan dengan cepat.
Saat Rivaldi bersiap melancarkan serangan lagi, Darma melihat celah. Ia menghempaskan granat asap ke tanah. Dalam hitungan detik, kabut tebal menyelimuti mereka.
Ketika asap mulai menghilang, Rivaldi berdiri sendirian.
Adharma sudah menghilang ke dalam kegelapan.
Rivaldi berdiri di tengah jalanan yang sepi, tubuhnya masih dipenuhi keringat dan darah dari pertarungan tadi. Tangannya meraih ponsel dari saku taktisnya, menekan nomor yang sudah tersimpan di daftar panggilan cepat.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara berat menjawab dari seberang.
"Bagaimana?"
Rivaldi menarik napas, menatap jejak darah yang tersisa di aspal. “Adharma berhasil kabur.”
Terdengar keheningan beberapa detik sebelum suara di telepon menjawab, kali ini lebih dingin. "Dan Wibawa?"
Rivaldi mengalihkan pandangannya ke rumah yang masih bercahaya dari lampu yang menyala di dalam. Mayat Komisaris Besar Wibawa masih tergeletak di sana, dengan tulisan besar di dinding yang ditinggalkan oleh Adharma.
"Dia sudah tidak bernyawa."
Dari seberang, terdengar suara tarikan napas dalam. Lalu tawa pelan, nyaris seperti seseorang yang menikmati situasi ini.
"Aku sudah menduga."
Rivaldi diam. Ia bisa merasakan emosi di balik suara itu—bukan kemarahan, bukan kepanikan, tetapi kepuasan yang aneh.
"Bersihkan tempat itu. Jangan sampai ada jejak yang mengarah ke kita. Pastikan media melaporkan ini sebagai bunuh diri atau perampokan yang gagal."
"Dan tentang Adharma?" tanya Rivaldi.
Suara di telepon terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada tenang namun penuh ancaman.
"Dia semakin berani. Ini artinya waktunya kita membuatnya menderita."
KLIK.
Panggilan terputus.
Rivaldi menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke saku. Ia menoleh ke anak buahnya yang tersisa.
"Bersihkan tempat ini. Kita punya perintah baru."
Malam masih panjang, dan perang baru saja dimulai.
Rivaldi menyeringai. "Menarik sekali."
Langkah kaki Rivaldi menggema di dalam rumah yang kini dipenuhi aroma anyir darah. Ia melangkah melewati genangan merah yang merembes di lantai kayu, mendekati tubuh Wibawa yang sudah tak bernyawa.
Di samping mayat itu, seorang wanita berlutut, wajahnya berantakan oleh air mata dan ketakutan. Istri Wibawa masih terisak, tangannya gemetar memegang tubuh suaminya yang sudah dingin.
Rivaldi menatapnya tanpa ekspresi. Bagi orang seperti dia, tangisan seperti itu tak lebih dari suara latar dalam pekerjaannya.
Wanita itu menatap Rivaldi dengan mata yang penuh kebencian dan ketakutan. “Kenapa… kenapa kalian biarkan ini terjadi?” suaranya pecah, penuh duka.
Rivaldi hanya menatapnya dingin. “Perintahnya jelas. Tidak ada saksi.”
Wanita itu membelalakkan mata, seolah baru menyadari apa yang akan terjadi. Tangannya gemetar, mencoba merangkak mundur, mencari jalan keluar—tapi tidak ada.
DOR!
Sebuah peluru menembus kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk ke lantai, bersandar pada tubuh suaminya. Darah segar menyembur, bercampur dengan darah Wibawa yang sudah lebih dulu mengalir.
Rivaldi menghela napas pendek. Ia menyelipkan pistolnya kembali ke sarungnya lalu menoleh ke anak buahnya.
"Bersihkan tempat ini. Pastikan ini terlihat seperti perampokan."
Anak buahnya segera bergerak, memecahkan kaca, membalikkan perabotan, menciptakan ilusi kekacauan yang sempurna. Tidak boleh ada yang mencurigakan.
Rivaldi menatap kembali tulisan merah yang ditinggalkan Adharma di dinding.
"Letnan Hendra Saputra."
Senyum tipis muncul di wajahnya.
"Sepertinya Adharma masih ingin bermain."