Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
"Kenapa sih ibu harus begitu keras sama Tari?" gumam Bayu dalam hati, merasa bingung dengan sikap keras ibunya terhadap menantunya. "Tari mungkin bukan anak orang kaya, tapi dia jujur dan pekerja keras. Kenapa ibu enggak bisa lihat itu?"
Namun, Bayu tahu dirinya tak akan bisa berkata-kata lebih banyak. Sinta, meskipun selalu mendukung ibunya, pasti akan melawan. Baginya, ibu adalah segalanya, dan apa yang Bu Ayu lakukan pasti ada alasannya. Tetapi, Bayu yakin satu hal: ada banyak hal yang harus direnungkan oleh ibu dan kakak-kakaknya tentang bagaimana mereka memperlakukan Tari. Ia ingin suatu saat nanti, ketika semuanya lebih tenang, mereka bisa berbicara dari hati ke hati.
Bayu mendesah panjang, merasa tak bisa berbuat banyak, sementara perdebatan terus berlangsung dengan ketegangan yang tak kunjung reda.
Sinta yang sejak tadi mendukung Bu Ayu langsung membela dirinya, "Ya jelas dong! Kalau sudah jadi istri, ya suami wajib memberikan nafkah yang cukup! Gimana kalau nggak diberi nafkah? Mau hidup apa?" jawab Sinta, menegaskan bahwa suami punya kewajiban terhadap istri, termasuk memberikan uang belanja.
Bayu memutar bola matanya, kesal melihat Sinta yang sepertinya tak pernah berpikir jauh. Ia menatap Sinta dan kemudian beralih ke Teguh yang tampak bingung, "Ya, makanya, bukannya mau menyalahkan, tapi ini soal hak, bukan soal selera. Mbak Tari, sebagai istri, pasti berharap suaminya memberikan nafkah sesuai dengan yang dibutuhkan. Kalau cuma 30 ribu buat bedak saja, kok nggak bisa? Itu hak seorang istri juga, Mas Teguh," kata Bayu dengan suara yang lebih tenang, namun tajam.
Bu Ayu hanya bisa mendengus mendengar pernyataan Bayu. Ia tak pernah suka dengan cara pandang anak bungsunya ini, apalagi kalau sudah berkaitan dengan Tari. Bagi Bu Ayu, Tari selalu berada di bawah dalam segala hal, bahkan dalam hal-hal yang harusnya menjadi haknya sebagai seorang istri.
Teguh pun terdiam, menatap Bayu dan Sinta bergantian. Ia tak tahu harus berkata apa. Dalam pikirannya, ia merasa bingung. Ia selalu berusaha memenuhi apa yang diminta ibunya, bahkan jika itu artinya mengurangi nafkah yang diberikan pada Tari. Tetapi, setelah mendengar penjelasan Bayu, ia mulai berpikir lagi, apakah selama ini ia sudah memberikan yang seharusnya untuk Tari?
Sinta yang merasa tersinggung dengan sindiran Bayu, mencoba membela lagi, "Ah, kamu jangan ikut-ikutan masalah keluarga kami, Bayu! Kamu tuh masih muda, belum tahu apa-apa soal rumah tangga!" sambil melirik sinis pada sang kembarannya. Sinta memang tidak suka dengan pandangan Bayu yang sering kali menentang apa yang dia yakini, apalagi kali ini soal bagaimana seharusnya keuangan dikelola dalam rumah tangga.
"Ya, Bayu cuma ngomong logika, kok. Lagian Tari itu memang sudah seharusnya diberikan apa yang ia butuhkan sebagai istri," timpal Bayu, akhirnya melontarkan pendapatnya setelah mendengar kata-kata Sinta.
Kini suasana mulai memanas, dengan Sinta dan Bu Ayu yang terus membantah, sementara Bayu dan Teguh mulai memiliki pandangan yang lebih berbeda. Tari yang mendengarkan percakapan itu dari kejauhan, mulai merasa ada secercah harapan bahwa mungkin ada perubahan dalam pandangan keluarga ini, meskipun hanya sedikit.
"Azab? Wah, kamu jangan ngomongin soal itu, Bayu. Kamu itu ngaco," ujar Bu Ayu, masih dengan nada tinggi, tidak suka mendengar kata "azab" disebut-sebut.
Sinta yang masih tidak bisa menerima pandangan Bayu pun ikut menanggapi, "Iya, Bayu! Jangan sok pinter! Kamu tahu apa soal rumah tangga orang? Itu urusan kami, bukan urusan kamu!" katanya dengan nada tajam.
Semangat thor