**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tuduhan
Alya menatap ibu Mentari dengan ekspresi penuh kepura-puraan, tangisannya semakin keras saat tetangga sekitar mulai berkumpul di halaman depan rumah kecil itu. Beberapa tetangga berbisik, menatap dengan tatapan penasaran dan penuh rasa ingin tahu.
Ibu Mentari, yang merasa sangat malu, berusaha menenangkan Alya. "Alya, tolong tenang, Nak. Apa yang terjadi pasti ada kesalahpahaman. Mentari tidak mungkin melakukan hal seperti itu."
Namun, Alya menggeleng dengan keras, tangannya menggenggam erat lengan ibu Mentari. "Bibi tidak tahu apa yang saya alami! Mentari bukan hanya merebut suami saya, tapi juga menghancurkan hidup saya! Saya kehilangan segalanya karena dia!" ucapnya dengan suara tersedu-sedu, seolah benar-benar terpuruk.
Para tetangga mulai berbisik lebih keras, beberapa bahkan saling bertukar pandang dengan tatapan tajam.
"Mentari anak yang baik, tapi kenapa bisa seperti ini?" bisik seorang wanita paruh baya.
"Malu sekali, keluarga ini membuat aib!" sahut yang lain.
Ibu Mentari semakin panik, wajahnya merah karena malu. Dia menunduk dalam-dalam, merasa tidak tahu harus berbuat apa. "Alya... Bibi mohon maaf. Kalau Mentari benar-benar bersalah, Bibi akan menegurnya. Tolong maafkan kami."
Alya berpura-pura menghapus air matanya, lalu menatap ibu Mentari dengan mata yang terlihat penuh rasa sakit. "Bibi, maaf saja tidak cukup. Saya sudah kehilangan segalanya. Apa kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling kita percaya?"
Ibu Mentari hanya bisa menangis pelan, merasa sangat terpojok. Dia tahu Mentari tidak mungkin sekejam itu, tetapi Alya berhasil menciptakan gambaran yang meyakinkan.
Alya tersenyum tipis dalam hati. Rencananya mulai berjalan dengan mulus. Membuat keluarga Mentari malu di hadapan tetangga adalah langkah awal. Dia tahu bahwa rasa malu seperti ini akan menghancurkan mental ibu Mentari, yang sangat peduli pada reputasi keluarga mereka.
"Tolong, Bibi. Katakan pada Mentari untuk tidak lagi muncul di depan saya. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan," ucap Alya dengan nada penuh ancaman, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan ibu Mentari yang terduduk lemas di lantai.
Tetangga-tetangga yang menyaksikan itu mulai melontarkan komentar sinis kepada keluarga Mentari. "Anaknya memang kelihatan baik, tapi siapa sangka seperti itu."
"Keluarga ini benar-benar memalukan."
Ibu Mentari hanya bisa menangis dalam diam, sementara Alya berjalan pergi dengan senyuman kemenangan. Dalam hatinya, dia bertekad untuk melanjutkan langkah berikutnya, memastikan bahwa Mentari dan keluarganya merasakan apa yang dia rasakan kehancuran.
Kamu benar, ada ketidakkonsistenan di sana. Jika Mentari adalah pembantu Arga sekaligus sepupu Alya, maka Arga pasti mengenalnya. Mari kita revisi agar lebih masuk akal.
---
Ibu Mentari berdiri di depan gerbang rumah besar itu, memandangi kemewahan yang membuatnya merasa kecil. Dengan berbekal secarik kertas yang diberikan Alya, ia menekan bel dengan tangan yang gemetar.
Seorang pelayan membukakan pintu. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya sopan.
"Saya ingin bertemu dengan Tuan Arga," ucap ibu Mentari tegas meskipun suaranya sedikit bergetar.
Pelayan itu tampak ragu, tetapi mempersilakan ibu Mentari masuk. "Tunggu sebentar, saya panggilkan beliau."
Tak lama kemudian, Arga muncul dengan langkah mantap. Wajahnya datar, tetapi alisnya sedikit mengernyit saat melihat ibu Mentari, seseorang yang tidak begitu ia kenal.
"Siapa Anda, dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanya Arga dengan nada formal.
"Saya ibu Mentari," jawabnya, nada suaranya langsung berubah tajam. "Saya datang untuk meminta penjelasan atas apa yang terjadi antara Anda, Alya, dan anak saya!"
Arga mendengar nama Mentari dan langsung menyadari bahwa ini berkaitan dengan drama yang melibatkan Alya. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang Anda maksud, Bu. Tapi, jika ini tentang Mentari, mungkin Anda harus mendengar versi ceritanya terlebih dahulu."
Ibu Mentari tidak percaya dengan jawabannya. "Jadi Anda pura-pura tidak tahu? Alya bilang Anda meninggalkan dia karena Mentari! Bagaimana Anda bisa tega menghancurkan rumah tangga sepupu anak saya?"
Arga mengerutkan dahi. "Saya memang mengenal Mentari karena dia bekerja di rumah ini, tetapi tidak pernah ada hubungan seperti yang Alya tuduhkan. Alya membuat cerita itu hanya untuk menghancurkan hidup Mentari."
"Apa Anda pikir saya bodoh?" bentak ibu Mentari. "Alya menangis di rumah saya! Dia bahkan mengatakan bagaimana Anda dan Mentari telah berkhianat padanya."
Arga menggelengkan kepala, menahan amarah. "Alya itu manipulatif, Bu. Dia tahu bagaimana caranya membuat orang percaya pada ceritanya. Kalau Anda tidak percaya, tanyakan langsung pada Mentari. Saya yakin dia bisa menjelaskan semuanya."
Namun, ibu Mentari tetap keras kepala. "Jangan mencoba mengelak! Anda pikir anak saya tidak mampu berbuat seperti itu? Mentari mungkin anak saya, tetapi dia bukan manusia sempurna!"
Arga menatap ibu Mentari dengan tajam. "Saya tidak sedang membela Mentari, tetapi saya tahu siapa Alya. Dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk menghancurkan Mentari."
Ibu Mentari terdiam, keraguan mulai muncul di hatinya. Namun rasa malu dan amarahnya terlalu besar untuk diterima. "Kalau Anda berbohong, saya tidak akan tinggal diam," ancamnya sebelum berbalik dan pergi.
Setelah ibu Mentari pergi, Arga hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah langkah awal Alya untuk menciptakan masalah besar, dan ia harus segera memperingatkan Mentari sebelum semuanya semakin memburuk.
Arga merasa sangat tertekan, dihantui rasa bersalah yang mendalam. Ia sadar bahwa dengan membiarkan Mentari terlibat dalam masalahnya, ia telah menciptakan situasi yang tak terduga dan sangat sulit. Tindakannya telah membawa Mentari, yang selama ini hanya menjadi pembantu di rumahnya, ke dalam pusaran konflik yang bukan seharusnya ia hadapi. Yang lebih menyakitkan, kini Mentari harus menanggung beban dari tuduhan Alya, sepupunya sendiri, yang mencemarkan nama baiknya di mata ibu Mentari.
Arga tahu, dampak dari tuduhan Alya sangat besar. Ibu Mentari yang sebelumnya selalu mendukung dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, kini bisa saja berubah sikap akibat tuduhan palsu itu. Hubungan mereka yang penuh kasih bisa rusak hanya karena manipulasi Alya. Bahkan, ibu Mentari bisa saja merasa dikhianati oleh anaknya sendiri, yang berusaha menutupi kesalahan dengan menyalahkan orang lain.
Sambil meratapi keadaan, Arga semakin merasa bahwa ia telah membuat pilihan yang salah dengan membiarkan masalah pribadinya melibatkan Mentari. Bagaimana ia bisa membiarkan sepupunya yang seharusnya menjadi keluarga yang mendukung merusak hubungan ibu Mentari dengan anaknya? Perasaan bersalah itu kian menghimpit Arga, membuatnya merasa tidak pantas untuk berada di dekat Mentari lagi.
Di satu sisi, Arga tahu ia harus berbicara dengan ibu Mentari dan membenarkan segala sesuatunya. Tapi, di sisi lain, ia juga merasa takut. Takut jika penjelasan yang ia berikan tidak cukup untuk memperbaiki keadaan, takut jika ibu Mentari malah semakin menjauh dari anaknya karena perasaan kecewa yang terlalu dalam.
Kini, Arga harus menghadapi kenyataan bahwa tindakannya telah mempengaruhi lebih dari sekadar dirinya dan Alya. Ia harus mencari cara untuk menyelesaikan kerusakan yang telah ia sebabkan, dan berharap Mentari, yang selama ini hanya mencoba untuk bertahan dalam situasi sulit, dapat memahami bahwa ia tak pernah berniat untuk membawa masalah pribadi ke dalam hidupnya. Namun, untuk itu, Arga harus memulai dengan jujur kepada dirinya sendiri, bahwa ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.
semangat Thor