NovelToon NovelToon
No Khalwat Until Akad

No Khalwat Until Akad

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Nikahmuda / Spiritual / Beda Usia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.

Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.

Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17-Bahas Mantan

"Kamu jangan berurusan sama ular berbisa itu. Mulutnya semanis madu, nanti kamu kena tipu!"

Belum juga aku berbicara, Bang Fariz langsung menghadiahi kalimat sarkas tersebut. Sepertinya emosi Bang Fariz belum benar-benar reda, malah masih sangat berapi-api.

"Abang gak kasihan sama Mas Rezza?"

"Abang lebih kasihan kalau sampai Mas Rezza nikah sama dia. Finansial belum stabil, tapi harus menghadapi perempuan matre kelas kakap seperti Arum. Habis nanti uang kakak kamu!"

"Biasa aja dong, Bang ngomongnya. Jangan ngegas gitu!" semburku ikut tersulut emosi. Intonasi yang dipakai Bang Fariz terlalu ketinggian.

Bang Fariz menghela napas berat. "Iya, iya, maafin Abang," katanya sembari mengelus lembut puncak kepalaku.

Aku memilih menjauh dari jangkauannya. "Gak usah sok manis gitu. Tangan Abang pernah dipake buat elus-elus perempuan lain pasti."

"Astagfirullahaladzim, perempuan mana sih? Gak pernah."

Mataku melotot tajam. "Gak mungkin, dua tahun pacaran sama mantan mustahil kalau gak ngapa-ngapain. Apalagi kasusnya sampai habis harta benda, dikasih apa Abang sama perempuan itu?"

Bang Fariz malah memutar bola mata malas. Kakinya sengaja disilangkan, kepala lelaki itu bersandar di kursi, dengan tangan bersidekap dada. "Ini yang bikin Abang males buat bahas masa lalu. Perempuan kalau udah tahu, pasti akan dibahas terus. Gak ada yang bagusan dikit apa? Cemburu kok sama perempuan matre yang cuma doyan gocapan!"

"Aku gak cemburu."

"Ya terus?"

Kulempar wajahnya yang menampilkan mimik menyebalkan dengan bantal. "Cuma pengen tahu aja. Keberatan banget kayaknya bahas masa lalu. Seindah apa sih kisah sama si mantan?"

Bang Fariz berdecih. "Kalau indah gak akan putus. Lagi pula Arum itu masa lalu Abang, dia cuma bagian kecil dari hidup Abang. Lagian Abang juga nyesel kenapa dulu jatuh cinta sama dia, habis harta benda tapi ujungnya kandas di tengah jalan juga. Buang-buang waktu, dana, dan juga tenaga."

"Ya udah terserah Abang. Tapi, aku minta tolong jangan kasih tahu tentang masalah ini sama Mas Rezza. Kasihan lagi banyak masalah, masa mau ditambah lagi," sahutku.

Bang Fariz menggeleng kuat. "Justru kalau disembunyikan akan semakin tidak baik. Kamu jahat banget biarin kakak kamu nikah sama perempuan matre kayak gitu."

"Aku harus mencari bukti yang kuat, aku gak mau gegabah ambil keputusan. Dulu emang Mbak Rumi kurang baik, tapi siapa tahu aja sekarang sudah berubah. Siapa yang tahu coba? Jangan menghakimi seseorang hanya karena masa lalunya yang tidak baik," terangku.

Bang Fariz yang dulunya loyal dan begitu ringan mengeluarkan uang pun, sekarang berubah menjadi pelit dan perhitungan. Semua bisa terjadi, tidak ada yang mustahil di dunia ini.

"Buktinya ada di depan mata kamu. Masih mau nyari lagi? Heran Abang sama jalan pikiran kamu," serunya terdengar begitu jengkel.

"Abang gak boleh gitu. Maafin, Mbak Rumi, gak baik menyimpan dendam. Penyakit hati itu gak usah dipelihara lama-lama," saranku yang langsung dihadiahi decakan.

"Kamu enak tinggal ngomong, kamu gak ngerti sih ada di posisi Abang. Zaman kuliah capek-capek kerja paruh waktu, uangnya dikumpulin buat modal usaha. Eh, giliran udah kekumpul malah digondol orang yang gak punya urat malu. Stress tahu, dampaknya jadi kena mental Abang. Kamu sendiri ngerasain akibatnya, Abang jadi parno sama perempuan, Abang jadi anti ngasih kamu lembaran, dan Abang jadi rewel banget soal pengeluaran. Selalu ada rasa takut yang membayang."

Aku memang tidak merasakan, tapi aku cukup paham apa yang Bang Fariz rasakan. Terlebih jika mengingat kondisi finansial Mama dan Bang Fariz dulu belum benar-benar bisa dikatakan stabil, masih berusaha mengembangkan bisnis yang kadang goyah.

Ketakutan yang Bang Fariz rasakan juga cukup berdampak terhadap kehidupan di masa sekarang. Aku mengenalnya sebagai sosok yang pelit dan perhitungan, tanpa pernah tahu ada pengalaman buruk apa di balik perubahan tersebut. Ternyata aku belumlah baik untuk dikatakan sebagai istri idaman, sebab masih harus banyak belajar.

Hukum sebab akibat itu benar-benar ada, dan aku melihat secara nyata buktinya. Mbak Rumi memang keliru karena sudah memanfaatkan Bang Fariz untuk menguras habis uangnya, tapi Bang Fariz pun ikut andil di dalamnya. Mungkin jika mereka tidak menjalin kasih sebelum halal, kejadian buruk itu takkan pernah terealisasikan.

"Arum telah berhasil mengubah Abang menjadi sosok yang kamu kenal sekarang. Maaf, kamu kebagian gak enaknya, kebagian sisi buruknya, Abang masih belum bisa berdamai dengan masa kelam itu," katanya dengan suara rendah.

"Aku gak akan nuntut Abang untuk kembali seperti dulu lagi, karena aku mengenal Abang dengan versi yang saat ini. Tapi, aku harap Abang bisa sedikit mengurangi sifat pelit dan perhitungannya. Setidaknya jangan di depan umum, dan gak usah pake gopean," kataku mencoba untuk bernegosiasi.

"Gak bisa, Abang suka mendadak stres dan pusing kalau kasih kamu uang lembaran. Abang juga gak bisa lihat sifat pemborosan kamu yang berlebihan," sangkalnya tak mau menuruti.

Sudah mengataiku PEMBOROSAN, ditambah pula dengan kata BERLEBIHAN. Separah itukah aku di matanya?

"Abang kayaknya perlu ke psikolog deh, mental Abang kena. Abang juga perlu ke financial planner untuk membenahi masalah keuangan," saranku yang langsung ditolak mentah-mentah.

"Gak perlu, Abang kayak gini cuma sama kamu aja."

"Nah itu masalahnya, aku gak mau terus kayak gini. Bisa hipertensi dan mati muda pasti," elakku terus mendesak.

Bang Fariz itu memang aneh bin ajaib. Dia pelit dan perhitungannya hanya sama aku seorang. Alam bawah sadarnya itu seperti telah ter-doktrin, bahwa aku sangat berkemungkinan untuk melakukan hal serupa sebagaimana yang dilakukan Mbak Rumi.

Padahal tak ada sedikit pun niat untuk melakukan hal tercela itu, bahkan aku tidak penasaran ataupun sengaja mencari tahu apa saja aset yang Bang Fariz miliki, atau setidaknya jumlah tabungan di rekeningnya. Percayalah untuk gaji perbulannya saja aku masih belum mengetahui. Bagaimana mungkin aku punya niat untuk menguras habis harta bendanya.

"Abang jangan terlalu cinta sama dunia, harta itu titipan. Sewaktu-waktu bisa Allah ambil lagi, mungkin kejadian di masa lalu itu merupakan teguran karena Abang terlalu giat mencari uang," ungkapku mencoba untuk perlahan mengingatkannya.

Bang Fariz menegakkan tubuhnya, menatapku lekat-lekat lantas berucap, "Abang pernah berada di posisi tidak punya sepeser pun uang, bahkan untuk makan pun tidak ada. Maka pada saat ada kesempatan, Abang berusaha untuk bekerja lebih keras dan mengumpulkan rupiah semampu yang Abang bisa. Ada Mama dan kamu yang kebutuhannya harus Abang cukupi, apalagi jika nanti kita memiliki anak. Abang harus menabung lebih banyak untuk masa depan mereka. Abang gak mau anak-anak Abang merasakan apa yang dulu Abang rasakan. Setidaknya kalau umur Abang gak panjang, kamu gak usah pusing dan pontang-panting cari uang."

"Kok Abang malah jadi bahas umur sih, jangan ngomong gitu," sahutku merasa tidak nyaman. Mendadak sedih jika mengingat kematian, padahal itu adalah sesuatu yang pasti dan akan terjadi.

"Sudah gak usah nangis, jelek tahu," godanya seraya terkekeh dan menghapus lembut cairan bening yang tanpa izin meluncur bebas dari sudut mata.

Aku memeluknya cukup erat. "Jangan dulu meninggal, aku gak mau jadi janda muda."

Bang Fariz malah tertawa terbahak-bahak. "Kalau bisa nawar Abang juga mau, nanti aja meninggalnya kalau sudah tua dan punya cukup bekal untuk akhirat. Abang juga masih mau lama-lama berumah tangga sama kamu, apalagi sekarang kita masih berdua. Semoga ada orang ketiga dan keempat di tengah-tengah kita."

Sontak aku pun menjauh darinya, menghadiahi Bang Fariz dengan pelototan tajam. "Apa-apaan tuh maksudnya? Orang ketiga? Keempat? Serakah amat jadi orang. Aku gak mau diselingkuhi, apalagi dipoligami!"

Bang Fariz malah geleng-geleng kepala, lalu kembali tertawa. "Orang ketiga dan keempat yang Abang maksud itu, keturunan, Kirania."

1
aca
lanjut thor
aca
cerai aja klo masih pelit dasar bangsa t
aca
novelmu bagus kok like dikit bgt
aca
mending g usa lanjut mertua matre istri dokter g ada uang nya gk guna
aca
reza ngerepotin orag tua aja lo
aca
bodoh cerai aja punya suami gt
Novie Achadini
nggak usah nyesel fatiz bp jahat kaya gitu biar aja mati
Novie Achadini
yg sabar ya neng org sabar padti kesel
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!