Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Xander masih terpaku menatap Lily yang pergi begitu saja dari sana. Dia masih bisa merasakan panas pipinya akibat tamparan yang diberikan oleh Lily.
Seumur hidup, baru kali ini ia mendapatkan perlakuan semacam itu, terlebih yang melakukan adalah istri sahnya sendiri, di saat semua orang berlomba-lomba menghormatinya.
Walau hatinya menggeram marah, tak dapat ia pungkiri kalau sikap gadis itu benar-benar berani dan membuatnya jadi terkesan. Sehingga kini dia jadi penasaran dengan rupa asli Lily.
Seperti apa wajah asli gadis itu yang sebenarnya? Kepribadian apalagi yang belum ditunjukkan padanya? Apakah sesuai dengan kesombongan yang dimiliki oleh seorang gadis miskin?
Namun tentunya dia tidak meragukan kredibilitas Dario dalam mencari seorang wanita. Dia yang mengatakan kalau Xander tidak akan menyesal sudah memilih Lily sebagai ibu dari anak-anaknya.
Xander akan coba menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu sebelum malam pertama. Selain tubuh yang molek menggoda, akankah dia juga memiliki wajah ayu rupawan yang sanggup menggetarkan hatinya?
Namun, apakah rencana malam pertama itu masih bisa berjalan sesuai rencananya? Mengingat Lily justru sangat ingin mengakhiri pernikahan mereka.
Xander menyeringai sambil mengusap pipinya yang perih, mengingat bagaimana kilat kemarahan tampak di mata indah Lily. Demi apapun, Xander berjanji akan membuat gadis itu memohon dan bertekuk lutut padanya.
"Just wait and see, Lilyan Anastasya. Kamu akan menyesali semua ucapanmu padaku. Kamu menuduhku seorang gay? Maka menjerit lah saat berada di bawahku. Aku tidak akan mengampuni mu dengan mudah, Gadis Pembangkang. Kamu bahkan tidak tahu siapa sebenarnya aku!"
Setelahnya, pria itu langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menghubungi seseorang yang akhirnya menjawab telepon di seberang.
"Awasi gadis itu! Dia baru saja keluar dari perusahaan. Cari tahu apa yang sedang terjadi pada ibunya," ucap Xander awalnya.
"Dia ingin bermain-main denganku, Dario. Buat keadaannya tertekan dan tidak punya pilihan lain selain kembali padaku." Xander memberi perintah.
Setelah menyampaikan maksud dan tujuannya, Xander mematikan teleponnya secara sepihak. Ia benar-benar ingin memberikan pelajaran pada gadis kurang ajar itu.
Xander merasa sangat tertantang. Baru kali ini ia benar-benar tertarik pada seorang wanita, selain gadis masa kecil yang berasal dari masa lalu. Walau secara kebetulan, mereka memiliki nama yang sama.
**
Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Lily hanya bisa menuturkan doa dalam dada. Dia sangat khawatir pada ibunya dan takut akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Dia tidak mau kehilangan wanita yang paling disayanginya itu. Satu-satunya keluarganya yang tersisa. Ibu yang selalu mencurahkan kasih sayang tulus untuknya.
"Aku mohon, Bu. Aku mohon," gumam Lily dengan kedua tangan yang saling menggenggam di depan bibir.
"Sudah sampai, Nona," ucap sang supir taksi saat mereka telah sampai di salah satu rumah sakit yang ada di pusat kota New York.
Lily buru-buru membayar tagihan lalu keluar dari taksi. Dia berlari sekencang mungkin menemui staf rumah sakit yang biasanya memantau keadaan sang Ibu.
"B-bagaimana keadaan ibu saya, Tuan?" tanya Lily dengan napas yang naik turun saat tiba di meja perawat.
"Oh, Anda sudah datang Nona. Mari ikut saya ke ruangan dokter Marco sebentar. Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan terkait pesan yang ia titipkan sebelum beliau melakukan operasi pada pasien lain tadi."
Pria itu langsung berjalan menuju ruang praktek dokter yang saat ini sedang kosong, ditinggalkan pemiliknya karena sedang melakukan operasi gawat darurat lainnya. Lily pun mengekor dan memasuki ruangan yang selama ini menjadi tempatnya melakukan operasi pada pasien lain tadi."
Pria itu langsung berjalan menuju ruang praktek dokter yang saat ini sedang kosong, ditinggalkan pemiliknya karena sedang melakukan operasi gawat darurat lainnya.
Lily pun mengekor dan memasuki ruangan yang selama ini menjadi tempatnya berkonsultasi dengan dokter yang bertanggung jawab pada kondisi sang Ibunda.
"Silakan duduk, Nona,"ucap staf tersebut dengan tenang.
Tanpa bicara dengan raut wajah khawatir, Lily langsung duduk di kursi konsultasi, berhadapan dengan staf tersebut.
"Begini, Nona Lily. Ada kabar baik dan kabar buruk untuk Ibu Anda. Di sini, saya akan memberitahu kabar baiknya terlebih dahulu," ucap staf tenang.
Lily mencoba mengatur nafasnya lagi, bersiap menerima segala informasi yang akan diungkap staf.
"Kabar baiknya adalah, ada pendonor yang cocok dengan Ibu Anda, Nona. Harapan hidup Ibu Anda bisa meningkat kalau mendapatkan donor sumsum tulang belakang tersebut. Pendonor tersebut ingin langsung bertemu dengan Anda untuk membicarakan sesuatu.Penting katanya. Saya akan memberikan kontaknya pada Anda setelah pembicaraan ini selesai. Dan kabar buruknya adalah...-"
Jantung Lily memukul keras dari dalam. Dia benar-benar tidak siap menerima kata buruk apapun. Rasanya siapapun juga tidak akan pernah siap.
"Ibu Anda, Nyonya Rose, harus segera dioperasi, Nona. Anda harus segera menyiapkan biaya operasi yang tidaklah murah.
Dan Anda harus menyelesaikan administrasinya segera. Paling tidak besok semuanya harus segera Anda lunasi," ucap staf.
"Saya menelepon karena kondisi Ibu Anda tadi tidak stabil. Namun, saat ini kondisinya sudah stabil kembali setelah mendapatkan suntikan obat. Masalahnya, obat itu hanya bersifat sementara, Nona. Nyonya Rose tetap harus segera dioperasi. Kalau tidak... maaf kalau saya mengatakan ini, tapi Anda harus mempersiapkan untuk hal yang terburuk." Staf menjelaskan dengan tenang.
Bagai disambar petir di sore hari, Lily terguncang saat mendengar kalau ia harus segera melunasi biaya administrasi esok hari. Dia tidak tahu dari mana harus mendapatkan biaya untuk menutup sisa tagihan.
"B-berapa besar biaya operasi tersebut, Tuan?" tanya Lily terbata.
Staf itu menarik nafas dalam. Dia tahu kalau biaya operasi itu sangat besar. Lily pasti akan syok mendengar jumlahnya. Apalagi harus melunasi semuanya esok hari.
"Saya tidak tahu detailnya. Bisa Anda tanyakan lebih rinci ke bagian administrasi. Tapi yang saya dengar, biaya semua perawatan dan operasi ibu anda mencapai angka enam ratus ribu dolar, Nona."
Nominal tersebut jelas membuat Lily sangat terkejut. Bahkan kalau dia harus meminjam ke rentenir atau menjual organnya pun rasanya masih tidak akan mampu mendapat jumlah uang sebanyak itu.
Mendengar jumlahnya saja, tubuh Lily sudah lemas. Dia bahkan harus mundur dan bersandar di kursi. Air matanya tidak terasa sudah mengalir membasahi pipi.
"Saya tahu ini berat, Nona," ucap sang staf perawat tersebut sambil mengulurkan tisu pada Lily. "Tapi maaf, saya harus menyampaikan ini semua pada Anda. Dan ya, ini kartu nama pendonor tersebut. Anda bisa menghubunginya segera." Staf kemudian memberikan selembar kartu nama dan Lily langsung meraihnya.
"Tuan Anthony sudah beberapa hari tidak mengunjungi rumah sakit untuk menemani Nyonya Rose, Nona. Maka dari itu, kami terpaksa menghubungi Nona Lily. Telepon ke Tuan Anthony juga tidak diangkat tadi."
Mendengar fakta baru itu kembali menampar Lily. Dia sangat ingin tahu kemana sang ayah tiri sampai tidak menemani ibunya. Padahal pria itu sudah berjanji akan menjaga ibunya dengan baik agar ia bisa fokus bekerja dan mencari uang.
"Baiklah kalau begitu, Nona. Kami berharap semua masalah Nona bisa tertangani dengan baik. Saya juga berharap bisa mendengar kabar baik dari Anda besok pagi, agar Nyonya Rose bisa segera ditangani. Sekarang, Anda sudah boleh keluar."
Lily bahkan tidak sanggup tersenyum membalas keramahan staf yang selama ini membantunya. Pikirannya sudah melayang jauh pada jumlah uang yang harus dibayarkan.
"Terima kasih, Tuan." Hanya itu yang bisa Lily ucapkan sambil berlalu keluar dari ruangan dokter itu dengan kaki yang begitu ringkih.
**