Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan Keluarga
Langit seperti runtuh, dunia Inayah seolah menggelap. Dia menjatuhkan tubuhnya dengan kasar ke atas tempat tidur. Matanya terpejam, satu tangannya masih menggenggam erat surat yang baru selesai dibacanya.
Meskipun matanya terpejam tapi air mata terus mengalir dari mata terpejam Inayah. Tak ada suara, hanya mampu menumpahkan kecewa dalam diam dengan tangis tak terkira.
Bingung, apa yang harus dilakukan. Pikiran Inayah menerawang. Perjalanan cintanya dengan Farhan tidaklah sebentar, saat sekolah dan berlanjut tiga tahun menjalani LDR pasca reuni.
Inayah tidak habis pikir kenapa dirinya bisa seterlena ini. Terlalu percaya jika Farhan yang dikenalnya saat reuni pasca empat tahun berpisah adalah Farhan yang sama yang dicintai dan mencintainya saat SMA. Inayah seolah menutup mata jika empat tahun tidak akan merubah Farhan. Laki-laki setia yang teguh akan prinsifnya tidak akan pernah menyakiti wanita.
Dulu Farhan pernah mengatakan pada Inayah jika sang Ibu adalah korban ketidaksetiaan sang ayah yang akhirnya memilih poligami.
Selama empat tahun berpisah mereka memang tidak pernah berkomunikasi. Farhan fokus pada pendidikannya begitupun Inayah.
Inayah kira dia tepat melabuhkan hatinya pada laki-laki itu. Saat kembali di pertemukan di reuni SMA Farhan mengatakan jika selama empat tahun itu tak ada satupun perempuan yang mampu masuk ke hatinya. Nama Inayah masih terukir rapi di relief hatinya.
Hal yang sungguh membuat Inayah tersentuh. Tidak salah selama empat tahun itu pula Inayah tidak membuka hati untuk siapapun. Hati kecilnya tak bisa dibohongi jika nama Farhan masih bertahta dan menjadi yang terbaik menurutnya.
Beragam impian terajut dalam setiap komunikasi mereka. Hingga hari yang dinantikan tiba. Farhan datang melamar, tentu Inayah sangat bahagia. Perlahan tapi pasti satu persatu rencana mereka berdua akan segera diwujudkan.
Namun hari ini, beberapa jam menjelang ijab dan qabul dilafalkan, Inayah mendapati kenyataan sang calon suami akan menikahi wanita lain karena telah mengandung darah dagingnya.
"Jadi selama ini ..." gumam Inayah tak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Aa Farhan ..."
Tok ...tok ...tok ...
"Teh, teteh ....makan dulu." suara ibu di luar kamar terdengar ke telinga Inayah. Mengembalikan dunianya yang menggelap seolah datang seberkas sinar untuk dirinya segera kembali ke kenyataan.
Inayah bangun dari tidurnya, sekilas ditatapnya surat yang masih dalam genggaman. Dilipat kembali seperti semula dan dimasukan ke dalam amplof putih.
Inayah harus tegar, jika dirinya kecewa keluarganya pasti juga lebih kecewa terutama malu karena pernikahan harus dibatalkan.
Inayah harus bisa tenang dan bersikap bijaksana. Menyampaikan kabar duka ini dengan baik-baik kepada seluruh anggota keluarganya segera.
"Iya Bu, Inay keluar." sahut Inayah dengan suara sedikit serak.
"Loh, Teh Inay kenapa? Kayak habis nangis?" salah satu sepupu Inayah bertanya dengan raut wajah kaget dan intonasi meninggi saat melihat Inayah yang sedang menuangkan nasi ke atas piringnya tampak berwajah sembab dengan mata yang membengkak.
Sontak suara sepupu Inayah mengalihkan tatapan semua orang yang mendengarnya. Ibu yang sedang mengerjakan menyusun bingkisan yang akan dibagikan besok pada para tamu yang di undang pagu hari untuk menyaksikan prosesi akad pun menghentikan gerakan tangannya.
"Teteh kenapa?" susul Ibu dengan wajah cemasnya, tadi saat memanggil sang putri Ibu langsung pergi ke dapur setelah mendengar sahutan dari dalam jadi belum melihat wajah Inayah secara langsung.
Inayah menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan sebelum menjawab. Beberapa anggota keluarga sudah mendekat penasaran dengan apa yang terjadi pada calon pengantin itu.
"Ibu, sebelum Inay menjawab, boleh gak Inay makan dulu." Inayah berusaha sekuat tenaga menahan diri agar tidak menangis, sejujurnya pertanyaan kenapa yang dilontarkan sepupunya sejak awal sudah membuat air matanya kembali terpancing untuk keluar namun dia menahan diri tidak ingin menangis di hadapan orang lain walaupun mereka semua adalah anggota keluarganya.
"Iya Teh, silakan makan dulu. Maaf ya aku jadi ngeganggu Teteh yang mau makan. Silakan Teh." sepupu Inayah buru-buru menyahut dia pun merasa bersalah karena sudah membuat gaduh padahal Inayah baru saja mau makan setelah seharian tadi berpuasa.
Semua orang terdiam, menatap dengan cemas Inayah yang makan dengan menunduk. Pandangannya fokus pada makanan yang ada di piringnya. Dia mengabaikan tatapan Ibu dan anggota keluarga lainnya yang menatap dengan penuh tanda tanya sekaligus iba.
Lima belas menit waktu yang dibutuhkan Inayah untuk menghabiskan makanannya. Mencuci piring bekas makannya lalu mencuci tangan. Sisa air putih di gelas yang masih berada di atas meja makan kembali diteguknya sampai habis.
"Ibu, Mamang, Bibi dan semuanya. Aku minta waktunya untuk kita berkumpul di ruang tengah. Ada yang mau Inayah sampaikan." Semua orang mengangguk dengan wajah cemas dan berjalan menuju ruang tengah. Sementara Inayah menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum kakinya melangkah ke ruang tengah.
Tak ada yang bersuara, semua orang menunggu Inayah menyampaikan apa yang akan disampaikannya. Dalam hati semua orang berprasangka sama jika hal yang akan Inayah sampaikan adalah yang membuat gadis itu menangis.
"Assalamu'alaikum." saat semua orang masih harap-harap cemas menunggu Inayah bicara, Irfan yang baru saja datang dari membagikan sisa undangan yang belum sempat tersampaikan datang sambil melepas helm hang dipakainya.
"Fan, sini duduk, ada yang mau teteh sampaikan " Inayah menepuk ruang kosong di sampingnya setelah semua orang serempak menjawab salam Irfan.
Irfan patuh, dia menyimpan helmnya di atas nakas dan berjalan menuju tempat yang di samping sang kakak."
"Teteh, ada apa sih? Jadi rareuwas kieu?" Indira yang sejak tadi mencemaskan keadaan kakaknya tidak lagi bisa menahan diri untuk bertanya.
"Sebelumnya Inayah minta maaf jika kabar gang akan Inayah sampaikan akan membuat semua orang kecewa."
Semua orang semakin memfokuskan perhatiannya, prolog yang Inayah sampaikan semakin membuat mereka semua cemas.
"Dan tolong jangan memotong Inayah saat berbicara." semua orang mengangguk ragu.
"Sebelum Maghrib tadi Inayah menerima kiriman surat dari A Farhan." Indira yang duduk di dekat Inayah menganggukan kepala karena dia yang menerima surat itu dari sang kurir.
"Melalui surat itu, A Farhan menyampaikan jika dia ..." Inayah menjeda ucapannya, sejenak menghembuskan nafas untuk menghilangkan sedikit sesak di dadanya.
"A Farhan mengatakan dalam suratnya jika dia tidak bisa melanjutkan pernikahan denganku."
"Apa?" serempak semua orang terkejut, Ibu yang paling keras, dia mendekati sang putri dan mengguncang tangannya untuk memastikan kebenaran berita yang baru saja didengarnya.
"Teteh, bicara yang bener!" bentak Ibu, Inayah hanya menganggukan kepala, tidak ada air mata hanya tatapan sendu yang ditunjukannya.
Dengan lancar Inayah menceritakan isi surat yang dikirim oleh Farhan. Semuanya dia katakan kecuali dua hal yaitu tentang kehamilan kekasih Farhan dan pernikahan mereka esok hari.
Entah apa yang ada di benak Inayah, kenapa dia tidak sanggup untuk mengatakan itu, dia hanya mengatakan jika Farhan harus memenuhi janjinya untuk menikahi seseorang yang sudah ditetapkan keluarganya. Inayah juga meminta agar jangan ada yang mengonfirmasi kabar ini ke keluarga Fathan, biarkan saja semuanya berjalan dengan seharusnya esok hari. Inayah hanya minta dibantu agar semua anggota keluarga besok menyambut tamu yang datang, mempersilakan mereka menikmati hidangan dan menjelaskan jika prosesi pernikahan tidak jadi dilangsungkan.
Semua orang tercengang, semua orang frustasi memikirkan bagaimana mereka menghadapi hari esok. Undangan sudah disebar, tenda berwarna biru telah berdiri kokoh, pelaminan didesain dengan indahnya. Catering untuk seribu orang sudah dipesan, bahkan semua peralatan makan sudah datang.
"Jadi menurut kamu kita harus bagaimana Nay?" Mamang Hadi, kakak tertua Ibu Ani yang sejak awal mendengar dengan seksama penjelasan keponakannya akhirnya bersuara.
"Seperti yang Inay tadi sampaikan Mang, kita terima saja kedatangan para tamu besok dan persilakan makan. Jika ada yang bertanya baru jelaskan jika pernikahan batal karena sesuatu hal. Begitu saja." jelas Inay mengulang penjelasannya.
"Tolong bantu Teteh besok menyambut para tamu dan menjawab jika ada yang bertanya ya?" Inayah mengusap lengan Irfan yang sudah mengepal, dia tahu adiknya pasti marah namun dia tidak ingin menambah masalah.
"Teh, ini tidak bisa dibiarkan" Irfan berkata dengan suara meninggi membuat Ibu yang berada di pelukan Indira semakin tergugu dalam tangis.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️