NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Ragna duduk di tepi atap sekolah, kakinya bergoyang santai di udara. Di sekitarnya, beberapa siswa duduk melingkar, menatapnya dengan ekspresi campuran heran dan penasaran. Penampilan Ragna yang rapi, dengan seragam yang dipakai sesuai aturan, terlihat mencolok di antara mereka—sekumpulan siswa yang lebih mirip geng jalanan daripada murid sekolah.

"Gue Karin, senior kelas dua," ucap seorang gadis dengan rambut berwarna ungu tua yang diikat asal-asalan. Ia menyilangkan tangan di dada sambil menatap Ragna dengan pandangan sok mengintimidasi. "Dengerin baik-baik, ada beberapa aturan nggak tertulis di sekolah ini yang wajib lo inget."

"Pertama, jangan cari masalah kalau lo nggak siap ngadepin akibatnya. Di sini, kalau lo bikin ulah, rumah sakit itu cuma langkah pertama. Jadi, pikir dua kali sebelum bertindak," ucapnya dengan nada datar, namun jelas-jelas memperingatkan. "Sekolah ini beda dari sekolah biasa. Adu kekuatan lebih dihargai daripada adu otak atau duit. Lo kaya? Bagus buat pamer di luar. Tapi di sini, kalau nggak bisa ngelawan, mending jadi penonton."

Ragna hanya mengangguk kecil, ekspresinya tetap tenang meski di dalam benaknya ia mulai memahami kenapa Verio memasukkannya ke tempat ini. Tentu saja, itu keputusan khas Verio—semua logika dilempar ke luar jendela.

"Yang kedua," lanjut Karin, mencondongkan tubuh ke depan, "pengkhianatan nggak ada ampun. Lo main belakang, lo bakal dihabisi. Udah banyak yang coba, dan hasilnya? Makam mereka masih segar."

Seorang pemuda dengan rambut dicat lima warna berbeda, lengkap dengan tindikan di hidung dan telinga, mengangkat wajah dari rokoknya. "Sekolah ini nggak ada ujian tulis. Tapi ada yang namanya ujian fisik buat nentuin siapa kandidat terkuat. Itu lebih penting daripada nilai rapor."

Ragna mengalihkan pandangannya padanya, memperhatikan gaya bicara santainya yang bertolak belakang dengan aura ganasnya.

"Lagi pula," lanjutnya sambil menghembuskan asap rokok, "sekolah ini nggak punya OSIS. Yang megang kendali itu orang terkuat di sini. Dan sekarang? Pemimpin utama sekolah ini adalah Guron, anak kelas dua. Terus, posisi kedua dipegang sama Reina, murid kelas satu. Dua-duanya monster kalau urusan tarung."

"Monster, ya?" gumam Ragna pelan sambil menyilangkan tangan di dada. Ia tampak berpikir sejenak sebelum mendongak menatap Karin. "Jadi intinya, gue cuma perlu nggak cari masalah, nggak main belakang, dan bertahan hidup sampai tamat, begitu?"

Karin tertawa kecil, matanya menyipit menatap Ragna. "Yah, kurang lebih gitu. Tapi ngeliat muka lo, kayaknya lo bukan tipe yang bakal diem aja, kan?"

Ragna menyeringai kecil, lalu berdiri dari tempat duduknya, membiarkan angin menyapu rambutnya. "Kita lihat aja nanti. Mungkin gue bakal bikin beberapa kejutan."

Kelompok itu saling berpandangan, sebagian tertawa kecil, sebagian lain terlihat lebih waspada. Mereka semua tahu, gadis baru ini bukan tipe yang bisa diremehkan begitu saja.

"Saya Mikhael, guru dari sekolah Ragna sebelumnya," ujar seorang pria berpakaian rapi dengan nada formal. Usianya sekitar pertengahan dua puluhan, tampak masih muda namun cukup matang. "Bisa bicara sebentar?"

Verio, yang sedang sibuk mengawasi beberapa karyawannya di bengkel, mengalihkan pandangan sekilas pada pria itu. Tangannya yang penuh dengan noda oli berhenti sejenak mengutak-atik mesin. Sorot matanya datar, tapi penuh waspada. Dia tahu betul siapa pria ini—target mereka akhirnya muncul.

"Ada apa?" tanyanya singkat sambil meraih kain lap untuk membersihkan tangannya.

"Ini tentang Ragna. Bisa kita bicara di tempat lain?" Mikhael tampak mencoba terlihat santai, tapi ada kegugupan samar yang sulit ia sembunyikan.

Verio menatapnya sejenak, mempelajari bahasa tubuh pria itu. Instingnya berkata, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kunjungan biasa. Setelah berpikir sesaat, dia mengangguk pelan.

"Kalian lanjutkan saja," perintah Verio kepada karyawannya sebelum berbalik menghadap Mikhael. "Baiklah, ikut aku," tambahnya, suaranya tetap datar tanpa emosi.

Mereka berjalan menuju teras sebuah pertokoan kosong tak jauh dari bengkel. Suasana di sekitar cukup sepi, hanya ada suara angin dan sesekali deru kendaraan yang melintas di kejauhan.

"Ada apa, Pak Mikhael?" Verio memulai percakapan, suaranya penuh nada formal tapi netral. Matanya tetap mengamati pria di hadapannya dengan tajam. Dia sudah mendengar desas-desus tentang Mikhael, dan kedatangannya hanya membuat segalanya semakin mencurigakan.

"Ini tentang Ragna," Mikhael mulai, mencoba terlihat percaya diri meski ada sedikit kegelisahan di matanya. "Dia sudah hampir seminggu tidak bersekolah. Apa dia baik-baik saja?"

Verio tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke matanya. "Ragna sudah dikeluarkan dari sekolah," jawabnya tanpa basa-basi. "Alasannya? Anak itu sering mengganggu anak donatur utama." Kata-katanya sengaja diarahkan seperti perangkap, memancing reaksi dari pria ini.

Mikhael tampak terkejut. Ekspresi canggungnya berubah menjadi keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Anak secan... ehm! Maksud saya, anak sebaik dan secerdas Ragna tidak mungkin dikeluarkan hanya karena itu," katanya, mencoba membela. "Dia tidak mungkin membuat masalah sepele tanpa ada provokasi."

Verio mengangkat sebelah alisnya, rokoknya yang baru saja dinyalakan mengeluarkan asap tipis. Ia tahu betul reputasi Mikhael: seorang manipulator yang suka bermain-main dengan siswi di sekolah, memanfaatkan posisi dan karismanya untuk memancing korban.

"Ah, dia juga sempat bikin heboh," tambah Verio dengan nada santai, meniupkan asap rokok ke udara. "Ragna melemparkan bom molotov ke sekolah. Itu sudah lebih dari cukup untuk dikeluarkan." Kata-katanya sengaja dilebih-lebihkan, hanya untuk melihat bagaimana Mikhael bereaksi.

Mikhael mematung sejenak, matanya melebar tak percaya. "Apa? Bom molotov?" suaranya terdengar setengah berbisik, seolah sulit memproses informasi itu. "Pak, itu tidak mungkin. Ragna adalah gadis yang baik. Tidak ada catatan buruk tentangnya, bahkan dia selalu menjadi teladan di kelasnya."

"Yah, tapi itu yang terjadi," jawab Verio sambil menyeringai tipis. "Sekarang dia jadi pengangguran kecil yang berkeliaran di luar sana. Lagipula, mungkin sekolah bukan tempat yang cocok buat dia."

"Pak Verio, maaf, tapi saya rasa ini salah besar. Saya yakin ada kesalahpahaman. Saya akan bicara dengan kepala sekolah. Gadis seperti Ragna tidak pantas dikeluarkan. Dia punya masa depan cerah, dan—"

"Terserah Anda," potong Verio, menghembuskan asap rokok terakhirnya sebelum membuang puntungnya ke tanah. Pandangannya beralih ke jalanan yang sepi, mengabaikan Mikhael seolah pria itu tidak ada.

Mikhael terdiam, ekspresinya campuran antara frustrasi dan kekecewaan. Verio, di sisi lain, tetap tenang, menikmati momen ini sambil memastikan Mikhael tidak menyadari bahwa dia sedang dimainkan.

Ragna menghentikan langkahnya saat beberapa pria berbadan kekar dengan seragam serba hitam menghadangnya. Mata mereka penuh ancaman, dengan senjata yang mencuat dari pinggang mereka.

"Kau Ragna, bukan?" tanya salah satu dari mereka, suaranya dingin sambil menatap gadis itu seperti seekor pemangsa.

Ragna memasang ekspresi takut yang berlebihan, nyaris terlihat seperti akting murahan di sinetron. "S-siapa kalian? Mau apa kalian dariku?" tanyanya dengan suara gemetar palsu.

"Bos, ini dia. Nggak salah lagi," bisik salah satu pria kepada rekannya.

"Sayang banget ya, Bos. Cantik gini cuma jadi sasaran. Bener-bener menyia-nyiakan kesempatan," ucap pria lainnya dengan nada melecehkan sambil menyeringai lebar.

Mereka mulai mendekati Ragna, tatapan mereka penuh minat yang menjijikkan.

"Hai, manis," ucap pria yang sepertinya pemimpin kelompok itu. "Gimana kalau kita sedikit bersenang-senang dulu sebelum urusan selesai?"

Ragna mundur perlahan dengan ekspresi ketakutan yang lebih dramatis, lengkap dengan tangan yang gemetaran. "Bersenang-senang seperti apa, Om?" tanyanya polos, matanya membelalak seolah baru saja mendengar hal yang mengerikan.

Namun, beberapa detik kemudian, suasana berubah drastis. Ragna, dengan gerakan yang begitu cepat, mengeluarkan tongkat pendek yang tersembunyi di balik jaketnya.

"Tapi sebelum itu, Om," ujarnya dengan nada santai yang kini penuh sarkasme, "aku harus mastiin kalau kalian tahu cara bersenang-senang tanpa kaki."

Tidak lama kemudian, jeritan kesakitan menggema di gang itu. Beberapa menit setelahnya, pria-pria tadi tergeletak di tanah, memegangi kaki mereka yang kini tak bisa digerakkan lagi.

Ragna berdiri di tengah mereka, menyeka keringat dari dahinya dengan santai. "Wah, Om-om ini ternyata lemah sekali ya," gumamnya sambil memutar tongkat di tangannya.

Tak lama kemudian, Verio muncul dengan motor ekspresi wajahnya datar seperti biasa. Melihat pemandangan itu, dia hanya menggelengkan kepala.

"Papa," Ragna menyapa ceria sambil melambai. "Aku kayaknya baru bikin masalah kecil deh."

"Kecil?" Verio menaikkan alisnya, menatap para pria yang sekarang berguling-guling di tanah seperti cacing kepanasan. "Kau tahu nggak definisi 'kecil' itu apa? Apa menyelipkan tongkat ke lutut orang juga termasuk kecil?"

"Nggak kok, Pa," sahut Ragna santai sambil mengangkat bahu. "Cuma kaki mereka yang nggak bisa dipakai jalan lagi."

Verio menghela napas panjang, tapi kemudian sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Luar biasa. Putriku berhasil menciptakan segerombolan manusia ulat. Haruskah kita panggil media untuk liputan eksklusif?"

"Hehe, nanti jangan lupa undang polisi juga, Pa," balas Ragna sambil terkekeh kecil. "Biar acaranya makin ramai."

Verio menatap gadis itu dengan tatapan skeptis. "Serius, kau bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun?" tanyanya sambil menunjuk para pria yang masih mengerang di tanah.

Ragna hanya menyeringai, menyimpan tongkatnya kembali ke jaket. "Yah, mereka yang mulai duluan, kan? Aku cuma membela diri. Lagipula, bukankah Papa selalu bilang, 'Kalau ada yang macam-macam, buat mereka menyesal'?"

Verio menghela napas, lalu menepuk dahinya. "Aku memang bilang begitu. Tapi aku nggak bilang kau harus menghancurkan tulang-tulang mereka sampai mereka harus pensiun dini sebagai preman!"

Ragna hanya mengedikkan bahu santai. "Kan tadi mereka bilang mau bersenang-senang. Aku cuma kasih versi bersenang-senang ala aku, Pa."

Verio menatap para pria itu sebentar, lalu menoleh lagi ke Ragna. "Jadi... apa ini termasuk 'masalah kecil' yang kau sebut tadi?"

"Relatif," jawab Ragna ringan. "Yang penting nggak ada yang mati, kan?"

Tiba-tiba, salah satu pria yang tergeletak mencoba merangkak pergi, mungkin berharap bisa kabur tanpa terlihat.

Verio dengan cepat meraih batu kecil di dekatnya dan melemparkannya ke arah pria itu. Batu itu mengenai punggungnya dengan suara "plak!", membuat pria itu langsung ambruk kembali.

"Aku belum selesai bicara," ucap Verio dengan nada santai namun mengintimidasi.

Pria itu hanya meringis kesakitan, tidak berani bergerak lagi.

Verio berbalik ke arah Ragna. "Oke, ayo kita pergi sebelum ada yang benar-benar menelepon polisi. Aku tidak ada waktu untuk berurusan dengan mereka hari ini."

Ragna melompat naik ke motor Verio dengan senyum lebar. "Papa emang yang terbaik!"

"Simpan pujianmu, anak nakal," gerutu Verio sambil menyalakan motor.

Ketika mereka mulai melaju meninggalkan tempat itu, Ragna menatap ke belakang untuk terakhir kali, melihat para pria yang masih tergeletak di tanah. "Hei, Pa," katanya dengan nada ceria.

"Apa lagi?"

"Menurut Papa, mereka butuh waktu berapa lama untuk sembuh? Seminggu? Sebulan?"

Verio mendesah panjang. "Dengan tingkat kehancuran yang kau buat, mungkin mereka butuh reinkarnasi."

Ragna tertawa keras, membuat Verio menggeleng sambil mencoba menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. "Anak gila," gumamnya pelan, tapi jelas terdengar bangga.

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!