Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Para tetangga melanjutkan gunjingan mereka, mengenai kue yang dibuat Laila ternyata sangat enak. Itu mereka cicipi setelah Arman memberikan bebarapa potong kue pada mereka. Membungkam mulut nyinyir mereka terhadap sosok Laila.
"Ah, yang benar saja kue seenak ini buatan Laila."
"Tapi laki-laki yang tadi memang membawanya dari rumah Laila."
"Siapa dong yang mengajari Laila membuat kue itu?."
"Mungkin Teh Nini, almarhumah memang terkenal suka bikin kue meski tidak pernah dijual."
"Bisa jadi sih."
"Tidak bisa dibiarkan kalau Laila sukses, sekarang kita harus memikirkan cara supaya laki-laki yang tadi tidak lagi membeli kue dari Laila?."
"Bagaimana dong?."
"Aku juga tidak tahu."
"Cepat berpikir kita akan melakukan apa."
Mereka tampak sibuk berpikir keras sampai-sampai mereka lupa pekerjaan di rumah masing-masing. Sementara orang yang akan mereka zalimi sedang sibuk membuat pesanan untuk besok. Kedua anaknya turut membantu.
"Besok tidak jualan lagi, Bu?." Sebenarnya Salwa sangat ingin berjualan di tempat yang kemarin.
"Tidak, Kak. Besok kalian sudah mulai les. Ibu sudah mendaftarkan kalian sekalian tadi ke warung."
"Les apa, Bu?." Tanya Salwa dan Halwa.
"Baca, tulis, berhitung."
"Sama Ibu sudah setiap hari" sahut Salwa.
Ibu Laila tersenyum. "Ini dari ahlinya langsung, Kak."
"Bagi aku Ibu adalah ahli segalanya" Salwa memeluk hangat Ibunya. Ibu yang tidak melahirkannya namun begitu sangat menyayanginya.
"Betul" Salwa ikut menimpali sembari memeluk sang Ibu dari posisi lain.
"Untuk saat ini Ibu hanya bisa melakukan ini untuk kalian. Tolong doakan Ibu terus supaya Ibu bisa melakukan yang terbaik untuk kalian." Ibu Laila mengecup pucuk kepala Salwa dan Halwa.
Tengah malam Laila terbangun, perempuan yang tetap berhijab itu tersentak karena sebuah mimpi yang terasa begitu nyata. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, Laila pun segera berganti pakaian dan mengambil wudhu. Berdoa semoga itu hanya bunga mimpi semata.
*****
Setelah menyelesaikan pekerjaannya untuk pesanan nanti siang, Ibu Laila mengantar kedua anaknya ke tempat les yang cukup dekat dari rumah. Hanya lima dua puluh menit saja jika ditempuh berjalan kaki.
Tiba di tempat les, mereka disambut hangat oleh beberapa tenaga pengajar di sana yang merupakan pensiunan guru yang tinggal di kampung itu.
"Ini yang namanya Salwa, ya?."
Salwa pun mengangguk sambil mencium tangan perempuan paruh baya itu.
"Dan yang ini pasti Halwa."
"Iya" jawab Halwa menyalami tangan perempuan itu.
Salwa dan Halwa dibawa masuk dan diarahkan untuk duduk di kursi paling depan. Ibu Laila sendiri menunggu di luar bersama orang tua yang lain.
Laila tidak memiliki teman yang sebaya, karena kebanyakan dari mereka menjadi TKW. Mengais rezeki ke negara jauh, karena memang sangat sulit mencari rezeki di kampung apalagi harus bersaing dengan mereka yang bertitle bagus di kota.
"Rasanya bagaimana menjadi Ibu untuk Salwa?" tanya salah satu Ibu yang merupakan tetangga jauh Laila.
"Sungguh luar biasa bahagia" jawab Laila tanpa ragu. Tidak boleh ada yang tahu kehidupannya selain mereka bertiga.
"Kamu bisa menerima Salwa yang kurang se-ons itu?." Bukan rahasia umum lagi kondisi kesehatan mental Salwa.
"Tentu saja karena Salwa putri saya."
Hening, tidak ada lagi obrolan diantara mereka karena kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung.
"Dulu itu Salwa pernah panas tinggi terus step jadinya begitu, itu kata Bidan yang mengobati Salwa." Ada lagi yang buka suara terkait Salwa.
Laila hanya tersenyum, tidak ingin menanggapi sesuatu yang menjadi rahasia keluarganya. Cerita itu pun pernah di dengar Laila sebelum dinikahi suami Teh Nini. Diperjelas dengan pengakuan Mamanya Salwa sebelum akad dimulai. Kalaupun harus diceritakan pastinya akan lebih tepat pada orang yang paham penyakit itu.
"Kasihan ya, padahal manis loh si Salwa itu."
"Ya itu menjadi kekurangannya."
"Maaf Laila, kamu tidak tersinggung kalau kami membicarakan Salwa?."
"Kalau saya balik pertanyaan buat Ibu, bagaimana?."
"Saya 'kan tidak gila!" bentak perempuan itu sangat tersinggung dengan pertanyaan balik dari Laila.
Laila hanya tersenyum saja menanggapinya.
"Kalau anak kamu jelas-jelas kurang se-ons alias gila. Enak saja mau disamakan dengan putriku yang sehat dan waras."
Seharusnya mereka semua mengerti perasaannya, pasti akan sangat menyakitkan mendengar kata-kata hinaan tersebut. Tapi sepertinya tidak ada mengerti karena terus saja mereka mengatakan bahwa itu tantang Salwa.
Bukan ingin diam dan tidak membela sang anak dari perkataan orang-orang yang begitu menyakitkan. Akan tetapi Laila hanya berusaha mengikuti apa yang dikatakan almarhumah Ibunya dan juga Teh Nini. Untuk tidak membalas perbuatan mereka yang menyakitinya dan keluarganya. Cukup mengangkat tangan, berdoa untuk kebaikan semua orang.
Laila sudah ada dalam perjalanan pulang bersama anak-anaknya. Mereka melalui jalan setapak yang memang jarang dilalui orang-orang. Karena kebanyakan lebih menggunakan jalan besar karena keadaan hutan yang sangat menyeramkan. Tetapi bagi Laila lebih menyeramkan kata-kata mereka daripada hantu yang ada hutan itu.
"Bagaimana perasaan kalian?. Memiliki banyak teman, belajar bersama, bernyanyi juga." Tanya Ibu Laila saat mereka sudah berada di rumah.
"Sangat senang, Bu." Jawab Halwa antusias.
"Aku, tidak." Jawab Salwa.
"Kenapa, Kak?."
"Mereka semua umurnya di bawah aku. Aku maunya masuk SD saja."
"Sambil menunggu uangnya terkumpul bagaimana kalau Kakak tetap ikut belajar di tempat les?."
"Oh iya ya, Bu. Kalau begitu aku mau."
Ibu Laila mengangguk sembari tersenyum.
Sambil menjaga anak-anaknya bermain di dalam rumah, Ibu Laila segera menuntasnya sisa pekerjaannya. Masih ada beberapa kue yang harus dikukus.
"Ibu ada yang datang! teriak Halwa dari dalam rumah.
Ibu Laila segera datang. "Siapa?."
"Tidak tahu" jawab keduanya.
Laila membuka pintu dan terus berdoa dalam hati supaya mimpinya semalam tidak menjadi kenyataan.
"Teh Wulan, Mang Wawan." Laila yang sudah mengulurkan tangan tidak disambut baik oleh kedua saudara dari pihak Pak Ahmad. Laila pun tidak mempermasalahkannya, menurunkan lagi tangannya.
"Ayo masuk! Teh, Mang."
"Tidak perlu basi-basi. Kami datang ke sini tidak akan lama." Ketus Teh Wulan.
"Iya, kami ke sini memintamu segera mengosongkan rumah ini. Karena mau kami jual untuk membayar hutang Ahmad." Lanjut Mang Wawan yang merupakan kakak pertama Ahmad.
"Kalau saya tidak masalah, secepatnya bisa pergi dari sini. Berarti anak-anak akan ikut sama Teh Wulan dan Mang Wawan 'kan?."
Pasangan suami istri itu menggeleng. "Ikut sama kamu lah! Kamu' kan Ibunya."
Laila terdiam sejenak. Kemudian buka suara lagi.
"Bukannya semua urusan hutang piutang Pak Ahmad sudah selesai dengan tanah yang sudah kalian jual?."
"Masih banyak."
"Berapa banyak lagi?."
"Kamu banyak tanya." Tiba-tiba saja Teh Wulan mendorong tubuh mungil Laila hingga terjatuh.
"Pokoknya secepatnya kamu harus bawa anak-anak itu pergi dari rumah ini!" ucap Mang Wawan sebelum pergi meninggalkan rumah.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉