9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Sean baru pulang ke rumah setelah jam menunjukkan pukul enam sore. Ia menghela napas sejenak, baru setelah itu ia turun dari mobil dan masuk ke kediamannya. Begitu masuk, Sean menghentikan langkahnya saat mendengar suara tawa dari arah dapur. Akhirnya, ia mendekati dapur dengan mengendap-endap
"Benarkah Nyonya?" tanya seorang pelayan pada Zonya yang masih tertawa
"Iya, bahkan ada yang jauh lebih parah. Dulu, Bunda-ku pernah mengajariku memasak. Waktu itu aku diminta untuk menggoreng ikan. Tapi minyaknya tidak mau diam dan menyiprat ke sana ke mari. Bahkan aku sampai harus menggunakan helm untuk membalik ikannya, karena takut wajahku terkena minyak" tutur Zonya
"Lalu bagaimana Nya, masakan Nyonya akhirnya berhasil?" tanya pelayan lain yang tengah mengiris bawang
"Tidak. Aku telat membalik ikannya, jadinya ikannya gosong" ringis Zonya
"Hahahaha..."
Semua pelayan yang ada di dapur kembali tertawa. Tidak terkecuali Mbok Ijah. Ya, sejak tadi mereka terus berbincang pada Zonya. Awalnya tentu saja para pelayan itu merasa sungkan, mengingat status mereka adalah pelayan dan majikan. Namun melihat pembawaan Zonya yang begitu ramah, membuat mereka menjadi nyaman untuk berbagi cerita
"Maaf Tuan, tadi tas Tuan ketinggalan di mobil" ucap Mang Cecep pada Sean, membuat para pelayan yang ada di dapur menengok kearah Sean
Sean berdehem pelan. Bagaimanapun ia merasa malu karena para pelayan memergokinya tengah mengintip percakapan mereka. Ia lantas berbalik menghadap Mang Cecep dan langsung menerima tas kerjanya
"Terima kasih, Mang"
"Sama-sama Tuan. Kalau begitu Mamang permisi"
Setelah menciptakan kerusuhan, Mang Cecep langsung keluar dari rumah. Sedangkan Sean kembali berdehem pelan untuk mengurangi kecanggungannya. Setelah itu ia membalik tubuhnya dan langsung berjalan menuju kamar
"Sial, kenapa Mang Cecep harus masuk diwaktu yang tidak tepat" gerutu Sean
Di sisi lain, Zonya melirik para pelayan yang tadi bicara dengannya kini sudah kembali fokus pada pekerjaan masing-masing. Akhirnya, ia berpamitan untuk kembali ke kamar, takut kalau sewaktu-waktu Naina terbangun dan menangis karena tidak melihat orang lain disekitarnya
*
Sean keluar dari kamarnya untuk makan malam. Saat berada di depan kamar Zonya, langkahnya terhenti secara mendadak. Sejujurnya, ia sudah cukup sering melihat pintu kamar Zonya tertutup rapat di jam makan malam seperti ini. Bahkan, ia tahu kalau Zonya sering meninggalkan makan malamnya. Sebab, setiap kali ia makan malam, ia tidak pernah melihat Zonya ikut bergabung. Seakan tidak mampu ia kontrol, tangannya terangkat dan mengetuk pintu kamar Zonya
"Zoe..."
Ceklek
Pintu kamar terbuka, menampilkan Zonya yang terlihat berantakan, dengan Naina yang tengah menyusu dalam gendongannya. Sesaat, Zonya juga terlihat mengerutkan keningnya saat melihat Sean berada didepan pintu kamarnya. Karena jujur saja, lagi-lagi ia terkejut dengan perubahan Sean yang menyapanya lebih dulu
"Ada apa Mas?" tanya Zonya, setelah ia tersadar dari keterkejutannya
"Kau tidak makan malam?"
"Nai masih belum tidur. Mas duluan saja"
Sean mengangguk, ia melangkah menuju meja makan dan duduk di sana. Tidak seperti biasa dimana ia akan langsung memulai makan malam seorang diri, kali ini ia justru memperhatikan Zonya yang tengah menggendong Naina di ruang tengah. Ya, tadi Zonya memutuskan untuk menimang Naina di ruang tengah. Berharap bayi itu segera tertidur
"Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa Sila memintaku untuk menikahinya dan melindunginya?" batin Sean dengan tatapan yang tak teralihkan dari Zonya
Ya, ia teringat dengan pesan istrinya saat dulu memintanya menikahi Zonya. Istrinya mengatakan untuk melindungi wanita itu dari keluarga besarnya. Namun saat Sean bertanya tentang maksudnya, Nasila selalu menjawab dengan senyuman dan mengatakan bahwa suatu saat ia akan tahu jawabannya dengan sendirinya
"Tuan... Tuan..." Mbok Ijah menepuk bahu Sean pelan. Namun ternyata tepukan pelan itu tetap saja membuat Sean terkejut
"Mbok? Mbok mengagetkan saja"
"Maaf Tuan, Mbok tidak bermaksud mengagetkan, tapi dari tadi Mbok panggil-panggil, Tuan sama sekali tidak menyahut"
"Ada apa, Mbok?"
"Ini... Tadi mbok mau bertanya, Tuan mau langsung makan, atau menunggu Nyonya dulu?" tanya Mbok Ijah. Sebab, sedari tadi ia melihat Tuannya terus melihat Zonya
"Apa dia selalu seperti itu, Mbok" alih-alih menjawab pertanyaan Mbok Ijah, Sean justru melempar pertanyaan balik
"Biasanya lebih parah dari itu, Tuan. Biasanya Non Nai selalu menangis setiap akan tidur, jadi Nyonya harus menenangkan Non Nai dulu, baru bisa makan setelah Non Nai tidur" Mbok Ijah ikut mendudukkan dirinya bersama Sean "Nyonya itu masih muda Tuan, jiwanya masih sangat lemah. Kadang, Nyonya menangis kalau Non Nai terlalu lama rewel"
"Menangis?"
"Iya Tuan. Nyonya menangis karena dia tidak bisa mengatasi rewelnya Non Nai. Dia merasa tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk Non Nai, dia selalu merasa kurang baik dan kurang pantas untuk mengasuh Nai. Padahal menurut Mbok, Nyonya itu sudah sangat baik Tuan. Tapi setiap kali Mbok bilang begitu pada Nyonya, maka Nyonya akan menangis semakin keras"
Sean mengerutkan dahinya bingung. Bukankah seharusnya Zonya merasa senang jika dipuji, tapi mengapa ia justru menangis. Lagipula, kata menangis untuk Zonya seakan adalah hal tidak mungkin bagi Sean. Mengingat Zonya yang begitu kuat menurutnya. Bahkan, ia hanya melihat Zonya menangis beberapa kali, tapi itu juga bukan tangis tersedu yang bersimbah air mata. Tangis Zonya masih dalam tahap normal menurut Sean
"Aku tidak pernah melihatnya menangis keras, Mbok" ucap Sean jujur
Mbok Ijah tersenyum. Ia menoleh kearah Tuannya kemudian kembali menatap Zonya "Dulu, Nyonya sepuh pernah bilang pada Mbok bahwa seseorang yang tidak bisa menangis itu bukan berarti kuat. Karena bisa saja, penyebab orang itu tidak bisa menyalurkan emosinya adalah karena depresi, gangguan kesehatan, trauma atau karena ekspektasi sosialnya yang terlalu tinggi dan pada akhirnya tidak tercapai"
"Maksud Mbok... Zoe mengalami gangguan mental?" tanya Sean
"Itu kata Nenek Tuan dulu. Mbok tidak tahu" Mbok Ijah menepuk bahu Sean dengan tersenyum lembut. Bagaimanapun, ia mengenal Sean dengan baik, bahkan Sean tumbuh dan besar dalam pengasuhannya "Coba untuk lebih dekat lagi dengan Nyonya, Tuan. Cari tahu lebih dalam lagi tentang Nyonya agar Tuan tahu yang sebenarnya. Mbok juga takut kalau dugaan Tuan itu benar. Karena jujur, Mbok juga memiliki pemikiran yang sama dengan Tuan"
Zonya yang merasa diperhatikan, akhirnya menengok kearah ruang makan. Terlihat Sean dan Mbok Ijah yang berbicara serius sembari melihat kearahnya. Membuatnya merasa risih sekaligus berburuk sangka. Karena setahunya, saat ada orang yang berbisik dan melihat kearah orang lain, maka orang yang berbisik itu pasti tengah membicarakannya
"Tidak boleh Suudzon Zoe. Husnuzan... Husnuzan..." bisik Zoe pada dirinya