Loving You Till The End

Melirik Ashana yang sudah tertidur pulas, Faza meraih satu tangan perempuan itu lalu mengusapnya dengan lembut. “Maaf, Ashana, tolong maafkan aku.”

Entah keberanian dari mana, Faza mengecup kening Ashana dengan lembut. Ia pandangi wajah perempuan yang kini menjadi istrinya itu.

Dan Faza akhirnya menyadari satu hal, bahwa Ashana masih belum banyak berubah. Ashana masihlah perempuan yang dulu Faza kenal dengan baik, semua kebiasaan-kebiasaannya masih Faza ingat.

Merasa puas hanya dengan memandangi wajah dan menggenggam lengan istrinya itu, ia lalu beranjak bangkit dari duduknya.

“Aku harus memastikan satu hal dan menyelesaikan kesalahpahaman ini,” lirihnya kemudian berjalan menuju walk in closet yang menyatu dengan kamar mandi di kamarnya.

saat menggeser pintu lemari pakaian Ashana, Faza terkejut melihat gaun yang ia siapkan untuk Ashana masih tergantung rapi beserta hijab dan sepatu hak rendah di dalamnya.

Hanya satu hal yang hilang, catatan penting yang ia tinggalkan untuk Ashana. “Itu artinya dia sudah membaca catatanku, lalu kenapa ia memakai gaun murahan itu ke pesta pernikahan Indira?” monolognya bingung.

“Ia bahkan mengenakan sepatu dengan hak setinggi harapan orang tuanya itu. Mengingat kepribadiannya, ia tak akan mungkin menyiksa dirinya sendiri hanya untuk membuatku kesal.”

Menopang dagu dan berpikir, Faza akhirnya menemukan jawaban atas semua kesalah pahamannya terhadap Ashana.

“Vanya!”

Hanya nama itu yang muncul di benaknya dan sangat mungkin bagi Vanya untuk melakukannya.

***

Malam semakin larut, tapi Vanya masih sibuk mondar-mandir tak tentu arah di dalam kamarnya. Perasaan cemas dan takut membayangi hatinya.

“Bagaimana jika kakak tahu apa yang sudah aku lakukan? Kakak pasti marah besar,” gumamnya dengan penuh rasa takut.

Rasa takutnya kian bertambah saat mendengar suara ketukan dan suara Faza di balik pintu. “Itu pasti Kakak, bagaimana ini?” gumamnya. Ia mulai merasa panik saat kakaknya mengancam akan mendobrak pintu.

Merasa tak ada pilihan lain, Vanya akhirnya membuka pintu dengan tangan gemetaran. “K-kakak, ada apa … datang ke kamarku malam-malam begini?” tanyanya dengan gugup.

Faza bisa merasakan ketakutan Vanya hanya dengan melihat dahinya yang berkeringat. Kemudian, ia menutup pintu secara pelan dan duduk di sofa dekat jendela. Sofa itu terbuat dari kulit dan menghadap langsung ke tengah-tengah kamar.

Sementara itu Vanya berdiri di tengah-tengah kamar, menantikan kalimat yang akan keluar dari mulut kakaknya itu. Namun, selama beberapa saat menunggu, Faza tak kunjung bersuara.

“Kak.”

“Bukankah kau punya sesuatu untuk dikatakan kepadaku, LaVanya?”

Tubuh Vanya langsung merosot seketika, ketakutan yang awalnya membayangi berubah jadi isak tangis penyesalan.

“M-maafkan aku, Kak!” serunya di sela-sela isak tangisnya. Pandangan Vanya tertunduk, tak berani menatap langsung sang kakak. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan dan ia sudah menyesalinya.

Faza menghela nafas panjang sebelum bicara. “Kenapa kau melakukan hal itu, Van?” tanyanya setenang mungkin.

Ia tak bisa langsung menuduh Vanya begitu saja, apalagi adiknya terisak pelan. Mana mungkin Faza tega membentak dan menyalahkannya?

“Apakah kau sangat membencinya?” tanya Faza lagi. “Katakan, Van. Apakah kau sangat membencinya sampai kau tega mempermalukannya di pesta pernikahan Indira?”

Vanya menggeleng cepat, “Tidak, Kak!” serunya lalu maju beberapa langkah mendekati Faza.

“Lalu?” Faza mencondongkan tubuhnya.

Vanya menyeka air matanya lalu berkata, “Awalnya aku memang membencinya, Kak. Tapi tidak lagi setelah Albert memberitahuku keseluruhan ceritanya.”

“Albert? Asistenku? Kau menyelidiki aku, Van? Sungguh?” Faza mulai tak habis pikir dengan cara pikir Vanya. Apakah karena terlalu lama tinggal di luar negeri, maka ia jadi semakin lancang?

“Kumohon jangan marahi Albert, Kak. Aku yang memaksanya memberitahuku. Aku juga bukannya sengaja mencari tahu, aku hanya khawatir padamu, Kak. Kumohon maafkan aku.”

Vanya bersimpuh di hadapan Faza, meraih tangan pria yang paling disayanginya itu dan menangkupnya di antara kedua tangannya sendiri. “Kak, maaf, aku pun menyesalinya.”

Melihat penyesalan di mata Vanya, ia pun mengangguk. “Bangunlah, nanti lututmu sakit.” Faza meminta Vanya untuk duduk di sampingnya dan meluruskan kesalahpahaman itu.

“Jadi, bagaimana bisa Ashana mengenakan gaun murahan itu ke pesta?”

Vanya tampak ragu-ragu pada awalnya, namun akhirnya ia mengatakan yang sebenarnya. “Soal itu, aku sengaja membeli gaun yang lain dan mengatakan kepada Ashana bahwa kaulah yang memintanya.”

“Apa?!” tanya Faza, nada suaranya naik satu oktaf. “Apakah kau sadar apa yang kau lakukan itu, Van?”

“Dengarkan aku dulu, Kak!” Vanya menggamit lengan Faza. “Sudah kukatakan awalnya aku ingin membuatnya malu karena ingin membuatnya mengerti di mana posisi dia yang sebenarnya, tapi aku menyesal setelah tahu kebenarannya, Kak.”

Faza mendesah berat, memijat tulang di antara kedua alisnya, Faza pun berkata, “Ya sudahlah, yang penting kau sudah menyadari kesalahanmu dan jangan mengulanginya lagi, Vanya.”

Gadis itu mengangguk cepat, ia berjanji tak akan melakukan hal konyol lagi. Faza pun berdiri dan mengusap kepala adiknya dengan sayang.

“Kakak,” panggil Vanya menghentikan langkah Faza. “Apakah Kakak tidak akan memberitahu Kak Ashana tentang hal itu?”

Faza menggeleng pelan, “Tidak perlu, karena tidak akan ada bedanya bagiku, memberitahunya atau tidak, dia akan tetap membenciku.”

“Kakak, maafkan aku.”

Faza mengulas senyumnya lalu berkata dengan lembut, “Sudahlah, cepat pergi tidur, malam sudah sangat larut.”

Itu memang benar, tahu atau tidak tentang hal itu, kebencian Ashana padanya tak akan dengan mudah hilang begitu saja. Tetapi biarlah waktu yang menjawabnya.

***

Ternyata oh ternyata, tapi kira-kira Vanya bakalan minta maaf sama Ashana gak ya?