NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apakah ini benar?

Pukul 15:30, seperti biasa, Raya mulai merapikan toko bunga Natalie. Namun kali ini ada yang berbeda. Dia mengenakan sweater abu-abu yang sedikit kebesaran dan celana panjang longgar, memberikan kesan kasual tapi tetap manis. Dari kejauhan, matanya menangkap sosok Bilal yang berdiri di depan toko, dan senyum hangat segera terbit di wajahnya. Dengan semangat, Raya mengambil tas kecil dari meja dan berjalan mendekat ke arah laki-laki yang akhir-akhir ini sering mengisi pikirannya.

“Halo, Kak Bilal,” sapa Raya ceria sambil memberikan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

" Hai Raya, " Bilal menoleh dan tersenyum singkat.

" Aku mau kasih ini, " Dia membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna pastel. “Ini kue yang aku buat sendiri loh. Spesial untuk Kak Bilal.”

Bilal terlihat sedikit terkejut, namun matanya penuh kehangatan. “Wah, terima kasih banyak. Kamu nggak perlu repot-repot sebenarnya, " Bilal mengambil kotak itu dengan lembut, menatapnya sesaat sebelum kembali menatap Raya.

"Enggak apa-apa, Kak. Aku senang kok,” jawab Raya cepat, seolah ingin meyakinkan Bilal. " Makasih ya, " Ucap Bilal.

"Sama-sama semoga kakak suka, " Kata Raya sambil tersenyum manis. " Aku lanjut kerja lagi ya, sampai nanti kak, " Kata Raya sebelum berlalu. Bilal mengangguk dan tersenyum memandang Raya yang berjalan menjauh.

Bilal memandangi kotak makan di tangannya, merasakan kehangatan dan perhatian yang disampaikan Raya melalui kue buatan tangannya. Terdapat secarik kertas bertuliskan,

From : Raya

Too : my friend is Bilal

Semangat KAKAK KERJA NYA!!

Dalam hatinya, ia mulai merasakan adanya rasa yang berbeda. Perhatian kecil seperti ini, tanpa diminta, mulai menyentuh sesuatu dalam dirinya. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa ada keputusan besar yang harus ia pikirkan dengan matang.

Di tengah pergulatan perasaan antara Raya dan Naila, Bilal pun tersadar, terkadang hati memang bisa menyimpan kebingungan yang sulit diungkapkan. Bilal menarik napas dalam-dalam, menyimpan kotak makan dari Raya dengan hati-hati di dalam tasnya. Ia tahu, perasaan bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan cepat. Ia membutuhkan waktu untuk merenung, untuk benar-benar memahami apa yang diinginkan hatinya.

Sore itu, Bilal memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan-jalan desa. Di persimpangan jalan, ia berhenti sejenak, memandang ke arah matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Di tengah keindahan senja, Bilal pun tahu bahwa keputusan apapun yang nanti ia ambil, harus didasari oleh niat yang baik, bukan sekadar perasaan yang mengambang.

" Kamu suka senja? " Tanya seseorang yang suara nya tidak asing, tiba-tiba ada di belakang nya.

"Raya..? " Bilal terkejut karena kehadiran gadis yang memiliki mata bening itu. " Sejak kapan kamu disana? "

" Baru aja, aku baru selesai dari toko dan lewat sini terus liat kakak, " Jelas Raya berjalan mendekat.

Bilal masih terkejut dengan kehadiran Raya, tapi ia segera menenangkan diri dan tersenyum singkat.

"Baru aja lewat sini, ya?" Bilal mencoba mengalihkan perasaan gugup yang sempat muncul.

Raya tersenyum manis dan mengangguk. "Iya, habis dari toko. Lagi jalan-jalan sore aja. Kakak juga suka senja, ya?" tanyanya dengan nada ceria.

Bilal mengangguk sambil menatap ufuk barat yang mulai berubah warna. "Iya, senja selalu memberi ketenangan. Seperti saat-saat ini, seolah mengingatkan kita kalau semua masalah akan berakhir juga, pada waktunya."

Raya menatap Bilal lebih lama dari biasanya, merasa ada yang berbeda dari laki-laki itu. "Kakak... lagi ada masalah, ya?" tanyanya pelan, tak ingin terlalu mencampuri, tapi cukup peduli untuk menanyakan.

Bilal menggeleng sambil tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya, ia tahu sedang banyak yang dipikirkan. "Enggak kok, nggak ada masalah. Semua baik-baik aja."

Raya mengangkat alis, seolah tidak sepenuhnya percaya. "Yakin nggak ada? Soalnya tadi Kak Bilal keliatan lagi mikir banget, kayak ada yang mengganggu pikiran."

Bilal terkekeh kecil, mencoba meredakan suasana. "Serius, nggak ada apa-apa kok. Cuma lagi menikmati sore aja."

Raya menatapnya sejenak, kemudian mengangguk pelan, meski masih menyimpan rasa penasaran. "Baiklah kalau gitu. Tapi kalau suatu saat Kak Bilal butuh teman buat cerita, aku selalu ada, ya," ujarnya dengan tulus.

Bilal tersenyum lebih lebar kali ini, merasa terhibur dengan perhatian sederhana dari Raya. "Makasih, Raya. Aku akan ingat itu."

Mereka berdua kemudian terdiam, hanya ditemani oleh suara angin dan pemandangan senja yang mulai memudar. Raya menggoyang-goyangkan tangannya dengan canggung, tak tahu apa lagi yang harus ia katakan.

"Kalau gitu, aku lanjut pulang dulu ya, Kak. Nanti keburu gelap," pamit Raya, melambaikan tangan sambil tersenyum.

Bilal mengangguk, menatapnya berlalu dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Meski ada banyak yang harus ia pikirkan, perhatian kecil dari Raya hari ini berhasil membuatnya merasa bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi segalanya.

***

Malam itu, Fatimah Tafifha Aljazair sedang bersiap-siap di kamarnya ketika Mama Natalie masuk. Wajahnya tampak serius, tapi tetap lembut seperti biasanya.

"Dimana kakakmu ?" tanya Mama Natalie sambil melirik sekeliling.

"Entah, Ma. Mungkin di kamarnya," jawab Fatimah sopan, sambil melipat hijab yang baru saja selesai disetrikanya.

Mama Natalie mengangguk perlahan, lalu menghela napas. "Keluarga Pak Haris akan datang nanti malam untuk membahas tentang ta'aruf antara Naila dan Bilal. Abi Rosyid sudah setuju. Ini langkah awal yang baik, dan kita harus mendukungnya."

Fatimah terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan. "Tapi, Ma, aku rasa Kak Bilal masih belum yakin dengan semuanya."

Mama Natalie menatap putrinya sejenak. "Itu wajar, Fatimah. Ta'aruf itu tentang mengenal lebih dalam satu sama lain. Jika memang mereka jodoh, maka insyaAllah akan ada kemudahan dalam prosesnya. Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuk kakakmu."

Sementara itu, di kamar Bilal, dia duduk diam di sudut tempat tidurnya. Pikirannya dipenuhi berbagai hal. Dia tahu orang tuanya dan keluarga Pak Haris sudah lama merencanakan pertemuan ini. Bilal menghargai keputusan Abi , tapi di hatinya, dia masih ragu. Bilal tidak merasakan hal yang sama seperti Naila, meskipun dia tahu Naila sudah lama menyimpan perasaan padanya.

“Aku harus siap dengan segala kemungkinan,” gumam Bilal pada dirinya sendiri.

Saat itu, Abi Rosyid mengetuk pintu kamar Bilal dan masuk. "Bilal, sudah siap? Keluarga Pak Haris akan tiba sebentar lagi. Kita akan bahas tentang ta'aruf dengan Naila."

Bilal mengangguk, mencoba tersenyum walau di dalam hatinya masih terasa berat. "Iya, Bi. Aku siap."

Abi Rosyid menepuk pundak anak sulungnya dengan penuh kepercayaan. "Ingat, nak. Apapun yang terjadi nanti, niatkan karena Allah. Jika ini jalan yang benar, insyaAllah semuanya akan dimudahkan."

Bilal menarik napas dalam-dalam, lalu mengikuti Abinya keluar dari kamar. Malam itu, rumah keluarga Aljazair terasa lebih hening, seperti sedang menunggu sesuatu yang besar. Dan Bilal tahu, apapun keputusan yang diambil nanti, itu akan menentukan jalan hidupnya ke depannya.

Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu. Fatimah bergegas membukakan pintu dan melihat keluarga Pak Haris sudah tiba. Mereka datang dengan senyuman hangat dan sapaan akrab, membawa keranjang berisi kue dan buah-buahan sebagai tanda kunjungan. Pak Haris adalah sahabat dekat ayah Fatimah, Pak Rosyid Aljazair.

Setelah semua saling menyapa, mereka semua duduk di ruang tamu. Suasana terasa hangat, tetapi ada nuansa tegang yang tak dapat dihindari. Fatimah memperhatikan kakaknya, Bilal, yang duduk di sudut sofa dengan wajah serius. Bilal tidak menunjukkan ekspresi apapun, seolah-olah pikirannya jauh di tempat lain.

“Anak-anak, kita sudah berkumpul di sini dengan niat baik,” Pak Haris memulai. “Seperti yang kita bicarakan sebelumnya, kita ingin membahas tentang ta'aruf antara Bilal dan Naila.”

Mendengar nama Naila, Bilal merasa hatinya bergetar. Ia tidak berani menatap Naila yang duduk di dekatnya. Bilal sangat menjaga pandangannya, bahkan sama sekali tidak meliriknya. Dalam benaknya, ia berusaha memahami situasi ini. Naila adalah putri sulung Pak Haris, dan ia sudah kehilangan ibunya empat tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan. Ia tahu Naila menyimpan perasaan padanya, tetapi Bilal merasa tidak ingin melukai perasaan gadis itu.

Naila, dengan tatapan lembut, berusaha tetap tenang meski merasakan ketegangan di antara mereka. Ia berharap agar Bilal bisa melihatnya dan menyadari bahwa ia siap untuk menjalani proses ta'aruf ini. Fatimah, yang memperhatikan interaksi antara kakaknya dan Naila, merasa ada sesuatu yang harus diungkapkan agar situasi ini tidak semakin canggung.

Pak Haris melanjutkan, “Kita semua di sini berharap agar hubungan ini bisa berjalan dengan baik. Naila, bagaimana pendapatmu?”

Mendengar pertanyaan itu, Naila mengangguk pelan. “Saya siap, Pak. Saya menghargai niat baik ini.”

Bilal menahan napas. Ia tahu bahwa apapun keputusan yang diambil haruslah didasari oleh niat yang baik. Tetapi ia juga merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Dalam suasana yang penuh harapan ini, Bilal berharap agar semuanya berjalan lancar, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!