Seorang wanita muda, Luna, menikah kontrak dengan teman masa kecilnya, Kaid, untuk memenuhi permintaan orang tua. Namun, pernikahan kontrak itu berubah menjadi cinta sejati ketika Kaid mulai menunjukkan perasaan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Balik Cinta
Sekembalinya dari liburan, hubungan Luna dan Kaid terasa berbeda. Ada kedekatan yang baru tumbuh, seperti akar yang merambat dalam-dalam, menguatkan fondasi rumah tangga mereka. Namun, Luna merasa ada sesuatu yang masih disimpan oleh Kaid. Bukan rahasia besar, tapi semacam ketakutan yang ia coba sembunyikan di balik sikap tenangnya.
Suatu pagi, saat Kaid sedang bersiap ke kantor, Luna memutuskan untuk berbicara.
“Kaid,” panggilnya lembut sambil mengatur kerah jas pria itu.
Kaid menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Ada apa?”
“Aku ingin tahu… apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”
Kaid terdiam sejenak. Ia melepaskan dasi yang baru saja ia pasang, meletakkannya di atas meja, lalu duduk di kursi dekat jendela. Luna tahu ia sedang berpikir keras.
“Luna,” katanya akhirnya, suaranya terdengar berat. “Aku tidak pernah berpikir aku akan menikah, apalagi dengan perjanjian seperti ini. Tapi… semakin hari, aku merasa takut.”
Luna melangkah mendekat, duduk di sebelahnya. “Takut? Takut akan apa?”
Kaid menatap matanya dalam-dalam. “Takut kehilanganmu. Takut aku tidak cukup baik untukmu. Dan takut bahwa kamu tidak akan pernah benar-benar mencintaiku seperti aku mencintaimu.”
Kata-kata itu menghantam Luna seperti angin kencang. Ia tidak pernah menyangka Kaid, yang selalu terlihat percaya diri dan kuat, memiliki keraguan seperti itu.
“Kaid, aku…” Luna terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Namun Kaid melanjutkan, “Aku tahu awalnya ini semua hanya kontrak. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri lagi. Aku mencintaimu, Luna. Aku mencintaimu lebih dari yang aku pikirkan.”
Luna terpaku. Kata-kata itu begitu jujur, begitu nyata, hingga membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu Kaid tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
“Kaid,” bisiknya. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Kaid tersenyum pahit. “Aku tidak berharap jawaban apa pun sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu.”
Hari itu berlalu dengan pikiran Luna penuh oleh kata-kata Kaid. Ia mengingat semua momen yang telah mereka lalui bersama, mulai dari awal pernikahan mereka yang canggung hingga saat ini, ketika kehangatan perlahan mulai mengisi ruang di antara mereka.
Namun, Luna masih merasa ragu. Ia tidak ingin tergesa-gesa mengatakan sesuatu yang tidak ia yakini sepenuhnya.
Beberapa hari kemudian, sebuah undangan makan malam datang dari keluarga besar Kaid. Ayah dan ibunya ingin mengundang mereka untuk acara kecil di rumah keluarga.
“Aku rasa ini waktu yang tepat untuk menunjukkan kepada keluargaku bahwa kita benar-benar serius,” ujar Kaid ketika mereka membicarakan acara itu.
Luna mengangguk. “Baiklah. Kita akan pergi bersama.”
Malam itu, Luna mengenakan gaun elegan berwarna biru tua, sementara Kaid tampil dengan setelan abu-abu gelap. Mereka tiba di rumah keluarga Kaid, sebuah rumah besar bergaya klasik dengan taman yang terawat sempurna.
Begitu mereka masuk, suasana hangat langsung menyelimuti. Keluarga Kaid menyambut mereka dengan ramah, meskipun Luna masih merasakan tekanan dari pandangan tajam ibu mertuanya.
“Kalian terlihat serasi malam ini,” ujar ibu Kaid dengan senyum kecil yang sulit diartikan.
Luna tersenyum sopan. “Terima kasih, Bu.”
Acara makan malam berjalan lancar, hingga tiba-tiba ayah Kaid, seorang pria dengan suara lantang dan kepribadian dominan, mengajukan pertanyaan yang membuat suasana sedikit kaku.
“Jadi, kapan kalian akan memberiku cucu?”
Luna tersentak kecil, sementara Kaid terbatuk, jelas tidak siap dengan pertanyaan itu.
“Kami… belum membicarakannya, Ayah,” jawab Kaid dengan nada hati-hati.
Ayah Kaid mengangguk, meskipun kekecewaan tampak di wajahnya. “Aku berharap kalian tidak menunda terlalu lama. Keluarga ini membutuhkan penerus.”
Percakapan itu membuat Luna merasa tidak nyaman. Sepulang dari acara, ia langsung masuk ke kamar tanpa banyak bicara.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaid, mengikuti Luna ke dalam kamar.
Luna menghela napas. “Aku hanya merasa… belum siap membicarakan hal seperti itu. Apalagi di depan keluargamu.”
Kaid meraih tangannya, menatapnya dengan lembut. “Aku mengerti. Maafkan Ayahku. Dia memang sering mengatakan hal-hal tanpa berpikir panjang.”
Luna mengangguk, merasa sedikit lega. “Aku hanya butuh waktu, Kaid. Banyak hal yang masih harus kita selesaikan bersama sebelum kita bisa memikirkan masa depan seperti itu.”
Kaid tersenyum, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Kita punya banyak waktu, Luna. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”
Namun, malam itu, Luna tidak bisa tidur. Ia memikirkan semua yang telah terjadi, mulai dari pertemuannya dengan Arga, perasaan Kaid, hingga tekanan dari keluarga besar mereka.
Luna tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di zona abu-abu. Ia harus membuat keputusan—keputusan yang akan menentukan arah hubungan mereka ke depannya.
Pagi harinya, saat Kaid sedang membaca koran di ruang makan, Luna menghampirinya.
“Aku ingin berbicara,” katanya dengan nada serius.
Kaid melipat korannya dan menatap Luna dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Luna duduk di depannya, mengambil napas dalam-dalam. “Aku sudah memikirkan semua yang kamu katakan. Tentang perasaanmu, tentang masa depan kita. Dan aku sadar… aku tidak ingin kehilanganmu, Kaid.”
Kaid mengangkat alis, jelas terkejut. “Luna…”
“Aku mungkin belum bisa mengucapkan kata-kata itu seperti yang kamu lakukan,” lanjut Luna. “Tapi aku tahu aku ingin berjuang untuk hubungan kita. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati.”
Kaid terdiam, lalu sebuah senyuman lembut muncul di wajahnya. Ia meraih tangan Luna, menggenggamnya erat. “Itu sudah lebih dari cukup untukku.”
Di momen itu, Luna merasa beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang. Untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa mereka berdua sedang menuju kebahagiaan yang sebenarnya.