Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Surat dalam Kabut
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti jalan setapak yang membentang di depan rumah Ardan. Rumah tua itu tampak terabaikan, dengan daun-daun kering berserakan di halaman dan pintu yang sedikit berderit setiap kali angin berhembus. Di balik jendela, Ardan berdiri lama, menatap ke luar tanpa tujuan. Keheningan adalah temannya yang paling setia, dan ia merasa nyaman dalam kesendirian. Dunia terasa jauh, seolah ia hidup di luar waktu.
Namun, saat matanya menangkap gerakan kecil di antara kabut, sesuatu yang asing menarik perhatian. Di ambang pintu, ada sebuah amplop putih. Tidak ada tanda pengirim, hanya namanya yang tercetak jelas dengan tinta merah yang mencolok. Ardan menunduk, meraih amplop itu dengan ragu. Suasana menjadi semakin tegang, seolah ada sesuatu yang tidak beres.
Ibunya, yang sedang sibuk di dapur, tidak menyadari kedatangan surat itu. Ardan merasa aneh, ada dorongan kuat untuk tidak memberitahunya, seakan surat itu bukan untuk diketahui orang lain. Dengan hati-hati, ia membuka amplop tersebut dan menarik selembar kertas dari dalamnya.
"Kau bukan dirimu yang sebenarnya."
Kata-kata itu seolah terukir dalam pikirannya, menggema di telinganya berulang-ulang. Ardan merasa dunia di sekelilingnya tiba-tiba membeku. Surat ini, dengan pesan yang sederhana namun mendalam, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya—sebuah kebenaran yang telah lama terkubur.
Bayangan aneh melintas di depannya, terlalu cepat untuk bisa ia tangkap. Ardan menoleh, merasa ada yang mengamatinya dari sudut gelap rumah. Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya. Apa maksud surat ini? Siapa yang mengirimnya, dan mengapa hanya ia yang dituju?
Tanpa sadar, tangan Ardan gemetar, melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia meletakkan surat tersebut di meja, lalu berjalan ke luar rumah, mencoba menenangkan pikirannya. Angin dingin menyambutnya, tetapi sesuatu yang tak terlihat menggelayuti hatinya.
Di jalan setapak, kabut semakin tebal. Langkah kaki Ardan terasa semakin berat. Seperti ada yang menariknya masuk ke dalam kegelapan. Sesaat, ia merasakan sesuatu yang sangat tidak biasa—bayangannya tampak bergerak lebih lambat dari tubuhnya, mengikuti setiap gerakannya dengan cara yang hampir tidak terasa.
Ardan menoleh cepat. Tidak ada yang berbeda, hanya kabut dan jalan sepi. Namun, rasa cemas itu semakin menguat.
Ibunya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memanggilnya. "Ardan, siapa itu?"
"Ah, bukan siapa-siapa," jawab Ardan tergesa-gesa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Namun, ia bisa merasakan bahwa sesuatu telah berubah. Ia merasakan pandangan ibunya yang penuh rahasia. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sebelum Ardan bisa bertanya lebih lanjut, bayangan di sudut matanya kembali bergerak. Kali ini, bayangan itu lebih jelas—dan itu bukan miliknya.
Ardan memandang ibunya lagi, tetapi wajah ibunya tidak berubah. Ada keheningan yang sangat dalam di antara mereka, lebih sunyi dari kabut yang menyelimuti jalan di luar.
"Ada yang salah, Bu?" tanya Ardan, meski tahu ia sudah tahu jawabannya.
Ibunya hanya tersenyum, tetapi senyum itu terasa kosong. "Tidak ada, Nak. Semua baik-baik saja."
Namun, Ardan tahu bahwa semua tidak baik-baik saja. Surat itu, bayangan yang bergerak, dan perasaan bahwa ia bukan siapa yang ia kira—semuanya mengarah pada satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
---