Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas
“Mental illness, atau mental disorder, disebut juga dengan gangguan mental atau jiwa. Adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama, atau itu kronis!” jelas dokter Hamid yang sudah langsung menebak hasil dari keluhan Langit.
Detik itu juga Langit merasa bahwa dunianya mendadak menyempit. Kanan kiri bahkan depan belakangnya seolah menyerangnya. Alasan tersebut pula yang membuatnya berteriak histeris. Langit tidak bisa membedakan mana kenyataan maupun mana halusinasi.
Ketika Dita jadi ikut ketakutan dan mencoba menenangkan sang suami melalui dekapan yang membuatnya sampai berdiri demi mengejar Langit. Tidak dengan dokter Hamid yang tetap diam kemudian meraih buku resep di sebelah tangan kanannya.
“Aku enggak gila, tolong! Itu tadi beneran, aku enggak ngada-ngada, Dit! Kanan kiri, depan belakang, mereka semua ... tembok dan semuanya berusaha menyerangku!” yakin Langit sambil menatap saksama kedua mata sang istri.
“Masya Allah ... ibuku sakit sejak lama. Bahkan sebelum dia dinyatakan mengalami kanker serviks. Kenapa aku menyebutnya sakit sejak lama? Karena ibu begitu tega kepadaku maupun kepada kedua adikku. Iya, tega. Karena tega bukan hanya ketika mereka memaksa kita memeluk luka. Namun juga ketika mereka memberikan perhatian berlebihan dan membuat adik-adikku menjadi pemalas, terlibat pergaulan bebas. Selain Mita yang sepertinya juga sudah menjadikan zina sebagai hal lumrah. Sementara sekarang, ... ternyata suamiku mengalami gangguan mental. Masya Allah ... kuat-kuat tubuh dan mental ini, agar bisa meringankan sakit mereka!” batin Dita dengan sabar meyakinkan sang suami.
Sampai detik ini, masyarakat luas akan selalu menganggap orang yang memiliki gangguan mental, sebagai orang gila. Tak jarang, mereka yang mengalami gangguan mental akan mendapatkan perlakuan berbeda, bahkan dari orang terdekat sekalipun. Karena di luar sana, selain pengidapnya akan diperlakukan khusus layaknya dikurung. Untuk beberapa kasus, juga ada yang sampai dipasung karena dianggap membahayakan.
Padahal, orang gangguan jiwa tetap bisa sembuh asal mendapatkan penanganan tepat. Sedangkan alasan seseorang mengalami gangguan jiwa memang belum bisa diketahui secara pasti. Namun,ada beberapa faktor yang bisa membuat seseorang mengalami penyakit mental, dan salah satunya faktor lingkungan maupun trauma.
Untuk kasus yang Langit alami, setelah menjalani pemeriksaan mendalam, dokter menyimpulkan. Bahwa ada kerusakan fatal di otak Langit akibat kecelakaan yang Langit alami bersama Agnia. Selain itu, penolakan yang Agnia lakukan kepada Langit, serta cinta Langit yang terlalu besar kepada Agnia, menjadi penyebab utama Langit mengalami gangguan mental.
Keputusan Dita mengajak orang tua Langit untuk turut serta mendampingi Langit menjalani pemeriksaan, merupakan keputusan yang sangat tepat. Bukan hanya ibu Azzura yang menangis. Sebab pak Excel juga. Tangisan yang juga membuat dada Dita makin sesak, selain Dita yang tak lagi bisa menahan air matanya untuk tidak berjatuhan.
“Langit, ... yang peduli ke kamu banyak. Satu-satu penjahat dalam diri kamu hanya Agnia. Agnia tidak pernah tulus ke kamu, bahkan dari dulu sebelum kalian kecelakaan. Namun sejahat-jahatnya Agnia, kamu lebih jahat ke diri kamu!” tegas ibu Azzura masih belum bisa menyudahi air matanya.
“Sekarang kamu sudah menikah. Kamu memiliki istri yang jauh lebih baik dari Agnia. Rawat istrimu karena dia ladang pahala kamu. Jangan lihat yang jauh-jauh! Cukup lihat lingkungan kamu. Lihat Mama Papa ... lihat kakak-kakakmu. Lihat keluarga kita! Semua yang ada di lingkungan kamu sayang kamu. Semuanya kasih kasih contoh positif!” tegas ibu Azzura lagi dan kali ini sambil membingkai erat kedua rahang sang putra.
Tak beda dengan ketiga orang di sekelilingnya, kedua mata Langit juga tak hentinya basah. Butiran bening silih berganti berjatuhan dari sana, walau Langit tak menginginkannya.
Setelah mendapatkan obat dan jadwal kontrol, Langit pulang. Kali ini Langit tak diizinkan menyetir mobil sendiri. Mobil Langit dibawa oleh sopir yang sebelumnya menyetir mobil pak Excel. Sementara kini, justru pak Excel yang menyetir untuk mereka.
Ibu Azzura duduk di sebelah pak Excel. Sementara tepat di belakang ibu Azzura ada Dita. Kedua tangan Dita tak hentinya menggenggam kedua tangan Langit. Dari kedua mata Dita masih kerap menghasilkan butiran bening dan perlahan lumer membasahi cadar.
“Pantas mas Langit sangat haus perhatian. Ternyata dia memiliki kecemasan, bahkan ketakutan dibuang yang sangat besar. Fatalnya, ketakutannya ini sampai membuatnya tidak merasa mengantuk, dan itu berlangsung sudah lama,” batin Dita.
•••
“Dit, aku tetap enggak mengantuk. Aku sudah shalat, aku sudah ngaji, aku juga sudah mendengarkan kamu membacakan aku beberapa dongeng. Coba tolong ambilkan obatnya lagi. Mungkin harus tambah dosis. Ambilkan masing-masing dua porsi!” sergah Langit sambil berusaha duduk.
Langit menyingkirkan secara kasar, selimut tebal dari tubuhnya. Selimut tersebut mengenai wajah Dita. Dita yang sudah sangat mengantuk karena dari kemarin tidak tidur, buru-buru mencoba duduk. Nyawa Dita seolah dicabut paksa karena dirinya kurang tidur. Tubuhnya terasa meriang parah lagi
“Enggak boleh, Mas. Belum waktunya minum obat.”
“Ya sudah, berikan hapeku. Kamu yang simpan hapeku, kan?”
“Selama satu minggu ke depan, kita enggak akan pegang hape, Mas. Buat kemajuan pengobatan yang Mas jalani.”
“Loh, kalau ada urusan penting, gimana? Kerajaan, temanku, bahkan keluarga kamu?” balas Langit dengan suara sangat jelas tanpa tanda-tanda ngantuk, meski kini sudah dini hari.
Di sebelah Langit dan juga ada di hadapan wajah Langit, Dita tak langsung menjawab. Sebab Dia justru menguap sangat lama dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi wajah.
“Untuk semua pekerjaan, sudah diambil alih oleh papa. Papa sudah atur ...,” berat Dita. “Sementara untuk urusan di luar pekerjaan. Baik itu teman Mas, atau yang punya perlu dengan Mas. Pasti mereka akan punya cara buat menghubungi orang terdekat Mas. Dan ... untuk urusan keluargaku, ... papa sama mama Mas, ....” Dita berangsur memeluk Langit dan membenamkan wajahnya di dada Langit. Ia berakhir ketiduran dan membuatnya tak lagi merespons Langit.
“Ih pesek, aku ditinggal tidur. Ini aku harus ngapain? Mending main hape apa kerja. Masa melek enggak guna. Mau ajak kamu ‘ibadah’ kamu tidur.” sempat memeluk Dita sangat lama, Langit memutuskan untuk menidurkan Dita.
Bibir Langit mengabsen gemas pipi maupun bibir Dita beberapa kali. Namun, Dita tidak merespons dan hanya memalingkan wajah.
“Ya sudah lah, mending aku cari hape. Harusnya ada di rumah,” pikir Langit.
Setelah mencari-cari di laci meja sebelah Dita tidur, Langit menemukan ponsel mereka di sana. Ponsel pertama yang Langit ambil, justru milik Dita. Langit memantau ruang obrolan WA.
“Ternyata bukan hanya Haris yang suka Dita, dan enggak segan kirim WA bahkan berusaha telepon berulang kali. I—ini banyakkkk banget!” Setelah rahangnya menjadi mengeras akibat emosi yang ia tahan, tangan kanan Langit yang memegang ponsel Dita dan jadi gemetaran parah, juga berakhir membanting ponsel Dita.
Dita refleks terbangun karena terlalu kaget. Di tengah jantungnya yang jadi berdetak sangat kencang, Dita mendapati punggung Langit ada di sebelahnya. Dita yakin, baru saja itu suara teriakan Langit. Teriakan yang menjadi alasan Dita terbangun. Selain itu, Dita juga yakin, sesuatu telah suaminya banting. Namun ketika Langit balik badan kemudian menatapnya, selain langsung menatapnya tajam dengan mata merah sekaligus basah, Langit juga seolah siap menerkamnya hidup-hidup!
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk