Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
“Saya mau mengundurkan diri dari perlombaan selanjutnya, Bu. Saya lelah, ingin istirahat. Saya mau fokus persiapan ujian nasional.”
Begitulah ucapan Luna yang membuat dada gurunya terasa sesak. Luna adalah siswa kebanggaan sekolah, lebih dari setengah perlombaan yang diikuti gadis itu selalu menorehkan gelar juara, entah satu, dua atau tiga. Oleh karena itu, pihak sekolah selalu menjadikan Luna sebagai kandidat kuat. Namun, begitu kalimat itu terlontar dari bibir Luna, gurunya hanya bisa pasrah mengikuti keinginan gadis itu.
"Kamu yakin mau mengundurkan diri dari perlombaan ini?" Gurunya bertanya penuh penekanan. Sekali lagi dia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Meski guru itu menuruti keinginan Luna, tapi dia juga tidak ingin Luna membuat keputusan gegabah.
"Sangat yakin, Bu." Luna menjawab mantap.
Gurunya menarik napas kemudian menghembuskannya dengan susah payah. "Kalau kamu maunya begini, saya bisa apa? Itu hak kamu. Selama ini juga kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah kelas dua belas, tentu saja ujian nasional lebih penting. Baiklah, Luna, kamu boleh kembali ke kelas."
"Terima kasih atas pengertiannya, Bu." Luna melenggang keluar dari ruang guru setelah membuat keputusan.
"Gimana? Dibolehin?” Dia juga teman baik Luna. Namanya Bianca. Mereka teman sebangku sejak duduk di kelas sepuluh. Mereka semakin dekat setelah berada di kelas yang sama setiap tahun.
Bianca yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu langsung menginterogasi begitu Luna keluar dari ruang guru.
“Pasti boleh." Luna tersenyum tipis.
Bianca merangkul pundak Luna, mereka berjalan beriringan. "Selamat ya, Lun. Akhirnya lo bisa sedikit bernapas buat nggak terlalu ngoyo belajar."
"Tapi kan masih ada ujian nasional. Sama aja. Kenceng juga belajarnya."
"Iya, tapi konsentrasi lo nggak ke pecah."
Luna mengangguk, setuju dengan Bianca.
"Eh, mumpung lagi kosong. Mau nggak kalau lo yang gantiin gue ikut lomba?” Luna menawari Bianca dengan nada sedikit meledek. Satu pukulan mendarat di bahu gadis itu.
"Lo nyadar nggak sih kalau lo lagi ngehina gue secara halus." Bianca melirik Luna sebal. "Lo tahu otak gue nggak encer kayak lo. Bisa-bisanya nyuruh gue yang gantiin.”
"Yah, kali aja lo tiba-tiba dapat keajaiban, kan?"
Bianca tersenyum kaku. “Ya nggak matematika juga. Makasih. By the way, ke kantin yuk! laper gue."
Luna mengangguk semangat. Setuju.
Begitu menginjakkan kaki di kantin, Luna dan Bianca langsung disambut dengan kerusuhan orang-orang yang menamai diri mereka sebagai tiga sekawan; Joano, Mike dan Alfian.
Kerusuhan disebabkan hanya untuk menentukan siapa yang akan membayar makan siang mereka, alhasil permainan abc lima dasar dipilih untuk memutuskan siapa yang mengeluarkan uang.
Sambil duduk di bangku tak jauh dari tempat mereka berada, Luna hanya menggeleng tak percaya. Mereka lebih kekanak-kanakkan dari pada anak-anak itu sendiri. Padahal tiga orang itu termasuk golongan orang berada yang sanggup membayar makanan mereka sendiri, akan tetapi ketiganya justru memilih jalan yang lebih sulit. Atau itu memang sudah menjadi sifat alami manusia yang berpegang teguh pada istilah kalau ada yang gratis kenapa harus bayar? Entahlah.
Ah, Luna memang kaku untuk urusan pertemanan. Ini bukan tentang mendapatkan makanan gratis atau tidak mau mengeluarkan uang, terkadang untuk menjalani hidup yang tidak monoton perlu melakukan hal seru untuk memutuskan sesuatu, termasuk bermain abc lima dasar untuk menentukan siapa yang bayar.
Padahal Luna sendiri juga sering melakukan hal konyol bersama Joano, tapi entah mengapa itu terlihat aneh jika Joano melakukannya bersama orang lain. Begitu juga dengan dirinya, merasa aneh apabila melakukan hal konyol kalau tidak bersama Joano.
Bodoh. Tidak seharusnya Luna berpikir seperti itu. Biar bagaimanapun Joano punya kehidupannya sendiri, begitu juga dirinya. Ya, mereka memang tumbuh besar bersama sedari mereka kecil, mereka berjanji untuk selalu berpegangan tangan apa pun yang terjadi, tapi bukan berarti mereka saling membatasi satu sama lain untuk bersosialisasi. Terkadang Luna memang suka berpikiran sempit.
"Lun, kok baksonya nggak dimakan?" Perkataan Bianca membuyarkan lamunan Luna. "Jangan bilang lo mendadak kehilangan selera."
Luna tersenyum tipis. "Nggak, Bi. Tiba-tiba aja kepikiran sesuatu."
"Apa? Jangan-jangan lo punya gebetan baru, ya?" Bianca menebak ngasal.
"Bahasa lo gebetan baru, gebetan lama aja nggak ada."
"Daniel."
Luna terbatuk-batuk saat Bianca menuduh tanpa basa-basi. "Eh, buset. Pemanasan dulu apa, jangan langsung diserang begitu."
Bianca tertawa. "Emang gue salah? Jujur lo juga suka kan sama Daniel."
"Nggak, Bi. Udah gue bilang kan kalau kami cuma temenan. Lo tahu sendiri gue nggak punya teman selain lo, Joano sama Daniel. Karena dia sering bantuin gue aja, orang-orang pada berasumsi kalau gue jadian sama Daniel, dia gebetan atau apalah itu."
Luna mengakui Daniel memang sempurna dan mereka saling berhubungan baik, tapi bukan berarti dia jatuh cinta. Dari hati yang paling dalam Luna memang tidak pernah menaruh perasaan pada laki-laki itu. Dia tidak punya waktu, yang dia pikirkan hanyalah belajar dan belajar, mencoba menarik perhatian orang tuanya lewat prestasi meskipun mereka masih mengabaikan usahanya.
"Tapi gue tebak dia punya rasa sama lo, Lun." Bianca berkata yakin.
Meski begitu Luna tidak percaya. Dia tidak ingin berasumsi apa pun kalau Daniel tidak mengatakannya secara langsung.
Saat itu juga, geng tiga sekawan ber-woo ria setelah salah satu dari mereka akhirnya kalah dari permainan dan siap mengeluarkan uang untuk membayar makanan.
Dari tempat Luna berada, dia melihat dengan jelas raut muka Alfian yang tampak kecewa. Sementara itu, Joano dan Mike tampak gembira karena mereka memenangkan permainan. Mereka bahkan tak segan untuk melakukan selebrasi. Untung saja tidak ada banyak orang di kantin, jadi mereka tidak terlalu memalukan.
"Ternyata umurnya doang yang tua, tapi pikirannya masih sama kayak anak TK." Bianca berkomentar melihat kerusuhan Joano dan teman-temannya. Gadis itu lalu beralih menatap Luna dan kembali mengajukan pertanyaan yang masih membuatnya penasaran. "Ini misalnya ya, Lun. Kalau tiba-tiba Daniel nyatain perasaannya ke lo, gimana?"
Luna berpikir sejenak. "Gimana, ya? Nggak kepikiran gue."
"Yes or No, doang."
"Bi, perasaan itu nggak cuma yes or no, doang. Perasaan itu kompleks."
Bianca memutar kedua bola matanya malas. "Iya, tapi lo ada perasaan nggak sama dia?”
"Untuk sekarang nggak, nggak tahu kalau ke depannya." Kata Luna pada akhirnya. Sebenarnya dia malas diinterogasi Bianca seperti itu, tapi apa boleh buat? Kalau tidak segera dijawab, teman sebangkunya itu akan terus mencecarnya dengan pertanyaan serupa.
"Nah, itu nggak tahu kalau ke depannya. Kenapa nggak nyoba dulu aja?"
"Nyoba apa?" Daniel tiba-tiba menampakkan diri di hadapan mereka, membuat Bianca kelabakan karena membicarakan laki-laki itu berkali-kali. Sementara itu, Luna tetap terlihat biasa saja, seolah tidak terpengaruh oleh pertanyaan-pertanyaan konyol Bianca.
"Hai, Daniel." Luna menyapa.
"Hai juga Luna." Daniel membalas dengan senyuman terbaiknya. "By the way, boleh ikut duduk di sini, nggak? Nggak lucu kan kalau gue nyari tempat duduk lain sementara teman-teman gue punya bangku kosong."
"Santai. Duduk aja." Luna menyambut dengan senang hati.
Daniel segera duduk di samping Luna begitu gadis itu mempersilahkan.
"Kok pertanyaan gue nggak dijawab? nyoba apa?" Daniel tampak penasaran dengan topik pembicaraan Luna dan Bianca. Pasalnya ketika laki-laki itu sedang memesan makanan, dia melihat keduanya tengah asyik mengobrol, membuatnya tertarik untuk ikut bergabung.
Bianca tertawa kaku. Tanpa pikir panjang dia menjawab pertanyaan Daniel dengan ngasal. "Nyobain seblak."
Pupil Luna melebar. Dia tahu Bianca akan mengalihkan pembicaraan, tapi dia tidak tahu kalau Bianca akan menyebut seblak sebagai bahan obrolan? Luna mengulum senyum, kalau dipikir-pikir topik seblak tidak terlalu buruk.
"Seblak?" Ulang Daniel.
"Iya, di belakang sekolah ada yang jualan seblak. Bukanya baru seminggu, katanya sih enak. Kapan-kapan makan bareng, yuk?"
Sekarang Luna mengerti mengapa Bianca menjadikan seblak sebagai topik pembicaraan. Ya, karena itu yang sedang dibicarakan anak-anak di sekolah ini, khususnya para perempuan pencinta makanan pedas berkuah. Jadi, Daniel tidak akan curiga.
"Iya, gue juga penasaran sama rasanya. Katanya sih enak banget. Coba makan di sana, yuk?" Luna menambahi.
"Ok, gue ikut." Tanpa pikir panjang Daniel langsung menyetujui ajakan mereka.
"Beneran lo ikut?" Bianca memastikan.
Daniel tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bianca yang meragukannya. "Iya, gue ikut. Gue juga pengen ngerasain rasanya seblak yang katanya enak itu."
"Lo belum pernah nyoba?" Luna bertanya dengan nada tidak percaya.
"Belum. Kok tatapannya pada aneh gitu, sih?"
"Iyalah. Pertama, cowok biasanya nggak suka kalau diajak makan seblak, nggak semua sih tapi kebanyakan gitu. Kedua, meski cowok nggak suka seblak, senggaknya mereka pernah nyoba makan. Dan, lo nggak dua-duanya. Apa karena lo kaya, ya?" Simpul Bianca.
Daniel mendecak. "Lebay lo, Bi. Nggaklah. Nggak ada hubungannya. Gue yakin banyak juga orang yang belum nyobain seblak, dan emang gue salah satu orangnya."
“Iya percaya.” Kata Bianca. “Eh, gimana kalau kita makannya nanti pulang sekolah? Mumpung nyokap gue lagi ada rapat. Jadi, gue bisa pulang telat.”
Luna dan Daniel mengangguk setuju.
Di antara mereka bertiga, Bianca memang paling ketat untuk urusan keluar rumah. Orang tuanya banyak membatasi kegiatannya. Karena itu dia jarang sekali bermain bersama Luna di luar jam sekolah dan ini adalah kesempatannya.
"Makan apa? Kok gue nggak diajak? Kok nggak dikabari?" Joano tiba-tiba muncul di tengah obrolan mereka, dia menarik kursi lalu duduk di samping Bianca.
"Dikabari juga nggak bakal ikut." Luna langsung mengambil kesimpulan.
"Ya kalau ngabarinnya mau ngerampok, maling ayam tetangga, sih, emang gue nggak mau ikut."
Bianca tertawa mendengar jawaban Joano, sementara itu Luna justru terlihat sebal karena laki-laki itu selalu menjadikan omongannya sebagai bahan bercandaan. Rasanya dia ingin menutup mulut Joano menggunakan sambal yang ada di hadapannya.
Luna mendecak lidah. "Kurang-kurangin tuh otak kriminal."
“Kurang-kurangin tuh otak kriminal.” Joano meniru perkataan Luna dengan gaya menyebalkan. Dia kemudian tertawa setelah berhasil membuat Luna kesal.
"Udah ih, berantem mulu lo berdua." Bianca berusaha menengahi.
Sementara itu Daniel hanya menatap datar, dia mendadak terasingkan begitu Joano hadir ditengah-tengah mereka.