Seorang wanita muda bernama Ayuna berprofesi sebagai dokter Jantung yang berdinas di rumah sakit pribadi milik keluarganya, dia terpaksa dijodohkan oleh orang tuanya karena dia lebih memilih karir dibandingkan dengan percintaan.
Sebagai orang tua. tentunya sangat sedih karena anak perempuannya tidak pernah menunjukkan laki-laki yang pantas menjadi pasangannya. Tidak ingin anaknya dianggap sebagai perawan tua, kedua orang tuanya mendesaknya untuk menikah dengan seorang pria yang menjadi pilihan mereka. Lantas bagaimana Ayuna menyikapi kedua orang tuanya? Mungkinkah ia pasrah menerima perjodohan konyol orang tuanya, atau melawan dan menolak perjodohan itu? ikuti kisahnya hanya ada di Novel toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Sama-sama Berwatak Keras
Ayuna bergelut dengan pikirannya yang tidak tenang. Mendapatkan desakan dari Opa dan juga Omanya membuatnya tidak bisa bekerja dengan tenang. Ia benar-benar dibuat kacau balau. Entahlah, ia merasa ada yang mengganjal di hatinya.
"Permisi," ucap suster yang selalu setia menemani Ayuna.
"Iya, masuk!" jawab Ayuna dengan cepat.
Mendapat izin dari Ayuna, suster itupun masuk ke ruangan Ayuna.
"Permisi dok," ucap suster dengan berjalan mendekat pada Ayuna.
"Ada apa sus?" tanya Ayuna.
"Em, ini saya mau menyerahkan laporan dari pasien yang ditangani oleh dokter," ucap Suster dengan menyerahkan map warna biru.
Ayuna menerima hasil laporannya dan memeriksanya.
"Apa ada kendala pada pasien sus?" tanya Ayuna.
"Sejauh ini tidak ada dok," jawab Suster.
"Syukurlah, aku sangat khawatir sama nyonya Ane. Kemarin keadaannya sempat memburuk setelah selesai operasi. Padahal pasien memburuk saat masih di lingkungan rumah sakit, itu menjadi tanggungjawab penuh dari dokter yang menanganinya sus," celetuk Ayuna.
"Iya dok, saya sendiri juga sangat khawatir dengan nyonya Ane. Soalnya pasca habis operasi kesehatannya membaik, tapi kenapa setelah itu kesehatan langsung menurun dan drop gitu. Kasihan dia, hanya karena ulah cucunya yang songong itu, nggak bisa mengendalikan diri saat bicara dengan neneknya yang masih sakit," gerutu Suster.
Kedua alis Ayuna pun mengerut mendengar penjelasan dari susternya.
"Kamu tau kalau yang buat ulah itu cucunya sus?" tanya Ayuna.
"Ya tahu dok. Tapi waktu kejadiannya sih, nggak tau. Tapi dia yang panggil saya pas kejadian udah menimpa nyonya Ane. Dia seperti orang yang tidak pernah merasa bersalah," gumam Suster jengkel.
Ayuna mengetuk-ngetuk jari tangannya di meja. Sembari berfikir tidak pernah mendapati orang kecuali perempuan paruh baya yang menemani pasiennya.
"Kalau aku sih, selama nyonya Ane dirawat di sini, masih belum pernah bertemu dengan keluarganya yang lain, kecuali perempuan paruh baya itu. Tapi kurasa keluarganya tertutup atau tidak peduli dengan nyonya Ane, buktinya saja, nggak ada anak ataupun dari keluarga lain yang menjenguknya," gumam Ayuna.
"Iya dokter, sepertinya begitu," celetuk Suster.
Hari sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, waktunya istirahat akan tiba.
Ayuna agak santai karena hari itu dia tidak mengoperasi seseorang.
"Dok, hari ini kita longgar ya? Bisa istirahat dengan cukup setelah beberapa hari melakukan tugas berat mengoperasi banyak orang," ucap Suster.
"Iya, syukurlah. Kita bisa beristirahat dengan tenang, nggak seperti tengah dikejar macan karena saking sibuknya," jawab Ayuna.
Ponsel Ayuna berdering, dengan nomor yang tidak disimpannya. Alisnya mengerut dengan mengamati nomer yang tidak disimpannya.
"Ini nomor siapa lagi coba? Aku ini rasanya pingin ngerasain istirahat sebentar saja. Tapi kok ada aja yang menggangguku," gerutu Ayuna masih dengan mengamati nomor yang tidak tersimpan di nomor teleponnya.
"Ada yang menghubungi dokter, apa itu dari salah satu pasien dok?" tanya Suster.
"Nggak tahu nih, nomer asing. Tapi aku pikir ini ada hubungannya dengan pasien. Biar kuterima telpon ini sus. Kamu bisa keluar dulu, apa lagi ini juga waktunya jam istirahat," tutur Ayuna.
"Baik dok, kalau begitu saya akan keluar dulu," pamit Suster.
Ayuna pun menganggukkan kepalanya dengan menggesek tombol hijau untuk mengangkat telponnya.
"Hallo, dengan siapa ini?" tanya Ayuna dengan ramah.
"Apa kau tidak menyimpan nomerku?" tanya orang dari seberang.
Kening Ayuna pun mengerut mendengar jawaban dari sang penelepon.
"Kau itu siapa?" tanya Ayuna.
"Jangan bertingkah bodoh untuk tidak mengenaliku. Cepat datang ke bengkel karena kau harus menyelesaikan tanggungjawabmu," peringatnya.
Ayuna menepuk jidatnya karena ternyata sang penelepon itu adalah orang yang sudah berurusan dengannya.
"Oh! Jadi ini kau," gumam Ayuna lirih.
"Sudah sadar rupanya, segeralah ke bengkel dan selesaikan urusannu dengan pemilik bengkel," peringatnya lagi.
"Kenapa harus ke bengkel? Berikan saja nomor rekeningmu, Aku akan mentransfernya. Sekarang aku sedang sibuk, nggak ada waktu buat keluar," jawab Ayuna.
"Aku nggak mau tahu, kamu harus dateng. Aku tunggu di bengkel."
"Ta-tapi.... "
Tut.... Tut.... Tut....
Sambungan terputus dengan cepat, membuat Ayuna mengumpat keras.
"Sial!"
"Dia bener-bener sudah sangat keterlaluan. Dia memang sengaja mencari gara-gara denganku. Dasar pemuda gila!" umpatnya lagi.
Ayuna mengambil tas dan langsung bergegas pergi meninggalkan ruangannya. Tidak berpamitan pada kakak maupun Papanya, karena sudah pasti mereka akan melarangnya untuk keluar di saat masih jam kerja.
Dengan menggerutu kesal dia mengemudikan mobilnya untuk segera tiba di bengkel. Dia berjanji tidak mau lagi berurusan dengan orang gila seperti laki-laki yang kini selalu saja memburunya.
Butuh waktu sepuluh menit, akhirnya Ayuna telah sampai di bengkel. Dia melihat seorang laki-laki berkacak pinggang dengan memakai baju dinas. Berdiri di sebelah montir yang sedang berjongkok memperbaiki mobil.
"Dasar manusia tidak punya sopan. Apa dia buta atau berlagak seperti orang paling kaya di dunia. Kurasa baru kali ini aku berjumpa dan berurusan dengan orang seperti dia. Mudah-mudahan hari ini yang terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Setelah selesai pembayaran, aku sudah tidak lagi berurusan dengannya."
Ayuna menggerutu keluar dari dalam mobilnya. Dia segera bergegas menemui pemuda sombong yang selalu membuatnya uring-uringan terus.
"Cepat katakan, berapa yang harus kubayar," ucap Ayuna dari belakang pemuda itu.
Refleks pemuda itu terkejut dan menoleh ke belakang.
"Bisa sopan nggak sih," tegurnya menatap datar pada Ayuna.
Bukan hanya dia saja yang terkejut mendengar suara Ayuna, tapi para montir dan pelanggan bengkel langsung menoleh pada Ayuna.
"Aku capek tau nggak?! Aku itu punya kesibukan. Aku bukan perempuan yang kerjanya cuma nongkrong. Kenapa sih, harus samperin kamu ke sini. Harusnya kamu kan bisa kasih nomer kamu, aku tranfer langsung, nggak harus nyuruh aku dateng ke sini," cercah Ayuna marah dengan melotot di depan Steven.
Steven tak kalah melotot karena Ayuna memakinya di depan banyak orang. Dia seorang pemimpin yang ditakuti oleh banyak orang. Bahkan semua cewek akan tunduk patuh padanya. Tapi kali ini, ada perempuan yang sudah memakinya di tempat umum.
"Ikut aku," ucap Steven dengan menarik tangan Ayuna menjauh dari orang-orang yang ada di bengkel tersebut.
Ayuna memberontak ingin melepaskan tangannya yang dicengkram oleh Steven dengan cukup keras.
"Lepaskan aku! Lepas!"
Ayuna memekik keras untuk melepaskan tangannya, namun Steven tidak menghiraukannya dan membawanya menjauh menuju mobilnya.
Steven membuka pintunya dan mendorong tubuh Ayuna masuk ke dalam. Ayuna terduduk dengan keras hingga menyengir, merasakan punggungnya yang nyeri.
Steven juga masuk ke dalam mobilnya menatap Ayuna dengan tatapan elang yang tajam.
"Maksudmu apa teriak-teriak kayak tadi. Sengaja membuatku malu, iya."
Steven membentak keras Ayuna membuat gadis itu mulai menciut.
Ayuna sadar, dirinya tidak mungkin bisa melawan Steven.
"Aku hanya kesal padamu. Kamu tidak pernah tahu gimana kesibukanku. Aku bukan perempuan jalanan yang kerjanya memeras laki-laki setelah itu meninggalkannya. Aku punya kewajiban yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Tolong hargai aku," jawab Ayuna.
karena jengkelnya Ayuna menjawab dengan tegas mengenai perasaannya saat ini.
Steven pun tersenyum smirk dengan menaikkan ujung bibirnya.
"Menghargaimu kau bilang. Apa kau juga menghargaiku," cercah Steven.
"Di depan orang banyak, bahkan kau telah memaki-makiku, apa itu bentuk kesopananmu? Aku cukup tahu kamu bukan perempuan jalanan. Aku tahu pekerjaanmu seperti apa? Aku tahu semua itu," sentak Steven.
"Kau seorang dokter ahli bedah dan juga dokter spesialis jantung. Hebat! Aku bangga padamu. Tapi dengan kamu memaki-makiku di depan orang banyak, membuatku ilfeel, sebagai seorang dokter, apa kau tidak disumpah untuk menghargai orang lain, untuk bersikap ramah dan sopan. Atau memang kau yang melanggar sumpah," cercah Steven berbalik memaki-maki Ayuna.
Tak kuasa membendung kesedihannya, air mata Ayuna tumpah seketika. Dia sadar telah salah dengan sikapnya. Namun, dia ingin membalas kekesalannya pada pemuda yang sudah menang sendiri.
Lebih herannya lagi, ternyata pemuda itu telah mengetahui profesinya sebagai dokter.
'Ya Tuhan, apa aku salah ingin mengungkapkan kekesalanku padanya. Kalau memang dia tahu profesiku sebagai dokter, kenapa dia memaksaku untuk menemuinya.'
"Dengar, aku peringatkan sekali lagi padamu, jangan pernah kau ulangi lagi sikapmu yang menjengkelkan. Kalau sampai hal itu terulang lagi, jangan harap aku bisa memaafkanmu!"