Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Centhini Bong
Benjamin Setiadi dan istrinya, Maryam Setyaningsih, sudah menikah selama dua tahun, tetapi belum dikaruniai seorang momongan pun. Mereka adalah pasangan yang aslinya berasal dari Semarang, Ungaran tepatnya. Namun, keduanya bertemu di Pekanbaru, provinsi Riau, pulau Sumatra. Setelah berpacaran sebentar, mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan pindah ke sebuah kota kepulauan di seberang pulau Sumatra daratan karena Benjamin diterima menjadi pegawai negeri dan ditempatkan disana.
Selama dua tahun pernikahan itu, Benjamin sudah dua kali mendapatkan tugas ke Kalimantan Barat. Disana, ia mengunjungi Pontianak, Mempawah, Sanggau dan Singkawang sebagai bagian dari tugasnya di Departemen Sosial.
“Mah, kowe harus ikut aku ke Singkawang kali ini. Kita berangkat minggu depan,” ujar Benjamin kepada istrinya.
“Lah, kok mendadak? Ujug-ujug ngajak aku ke Kalimantan ki piye to, Pak? Warungku gimana?”
“Udah, to. Manut wae. Nanti aku jelaskan sambil kesana. Mumpung aku dapat cuti.”
“Tapi Bapak kan baru ke Kalimantan minggu lalu. Kok sudah mau kesana lagi? Ada apa sih, Pak? Bikin aku penasaran aja.”
Benjamin Setiadi, laki-laki tinggi, tampan dengan wajah kebulean, tetapi ngeyel mengaku sebagai orang Jawa itu sungguh tak mau membocorkan tujuannya sampai hari yang sudah ditentukan.
Sesampainya mereka di Singkawang, barulah Maryam tahu apa mau suaminya. Bayi itu menggeliat menggemaskan, tujuh bulan usianya. Namun, Maryam sudah jatuh hati. Ia cantik luar biasa, bahkan ketika masih berbentuk orok, meskipun kondisi kesehatannya sedikit memprihatinkan.
Keluarga miskin itu tidak merasa mampu mengurus anak ke-11 mereka. Sang suami mendadak sakit-sakitan sehingga pekerjaannya di pabrik kertas tidak bisa berjalan dengan baik. Istrinya masih harus bekerja menjual bubur babi di pagi dan sore hari sekaligus mengurus serta membantu membiayai sisa anak-anaknya yang lain – yang jedanya diantara mereka hanya setahunan.
“Bapak mau jadikan anak ini sebagai pancingan?” tanya Maryam berbisik kepada suaminya.
“Awalnya gitu, Mah. Tapi, aku kok kesengsem ya sama anak itu. Mau nanti kita punya anak ataupun nggak, kita urus bayi ini ya, Mah?”
Saat itu, keluarganya belum memberikannya nama. Mereka hanya memohon agar pasangan suami istri dari Sumatra tersebut tetap memberikan marga keluarga Hakka-nya kepada sang bayi, Bong. Maka, Benjamin dan Maryam sepakat menamai bayi tersebut dengan Centhini, Centhini Bong.
Ternyata selama ini Benjamin diam-diam sudah terlebih dahulu mengurus keperluan untuk mengadopsi bayi itu, bahkan sejak sang ibu masih mengandung Centhini. Itu sebabnya, tugasnya di Kalimantan membuatnya beruntung karena bisa sekaligus mengurus semuanya terlebih dahulu, sampai tinggal Maryam yang memberikan restunya pula.
Benjamin dan Maryam sama sekali tidak menutupi kenyataan bahwa Centhini adalah anak angkat mereka. Mereka juga tidak melarang bila kelak Centhini ingin kembali atau paling tidak menengok kedua orang tuanya ketika telah dewasa.
“Lha, mana mungkin menyembunyikan kenyataan kalau Centhini bukan anak kandungku, to. Wong matanya sipit, kulitnya putih. Anak TK juga tahu Centhini itu gadis Cina,” ujar Benjamin kepada rekan sejawatnya suatu kali.
Bayi Centhini ternyata anteng, tenang, tidak rewel sama sekali. Seakan-akan bayi itu tahu bahwa ia akan diasuh oleh sebuah keluarga yang merawatnya dengan penuh cinta.
Sekembalinya pasangan suami istri itu ke rumah di kota kepulauan itu, mereka merayakannya dengan bercinta.
Benjamin mencumbu tubuh Maryam dengan sepenuh hati. Tubuhnya yang tinggi dan kukuh itu menghimpit Maryam dari atas, menghimpitnya dan menghujaninya dengan tekanan-tekanan yang tak beraturan, sebelum akhirnya ia melenguh dan keduanya meledak berkeping-keping karena hasrat yang memuncak.
Hasilnya, sebulan kemudian, Maryam sadar ia telah hamil.
Bayi laki-laki berambut tebal tetapi acak-acakan, dengan wajah kebule-bulean mirip sekali dengan Benjamin lahir ke dunia beberapa waktu kemudian.
“Ini benar anakmu, Pak. Lihat hidungnya. Bayi sudah mancung seperti itu,” ujar Maryam.
Centhini Bong, sang kakak, yang belum genap dua tahun usianya itu berseru-seru nyaring dan girang. Menciumi bayi laki-laki itu dengan penuh sayang.
Beberapa tahun kemudian.
Centhini Bong, sang kakak, berseru-seru nyaring dan girang. Menjambaki rambut masai laki-laki muda itu dengan penuh semangat.
“Kita bakal ke Singkawang, Yan. Bulan depan. Bapak yang bilang. Liburan semester, kita sekeluarga bakal ke sana,” ujar Centhini.
Seperti biasa, gadis itu tidak pernah absen untuk masuk ke kamar Dihyan, mengganggunya, atau hanya sekadar mengabsen keberadaan adiknya tersebut.
“Mbak, kalau ke kamarku tu yang sopan. Nggak kasian apa sama aku? Aku ini laki-laki, lho,” keluh Dihyan sebagai respon atas cerita bersemangat kakaknya itu.
Centhini, mengenakan celana super pendek serta tanktop yang menunjukkan lengannya yang ramping dan tungkai kakinya yang jenjang, serta kulitnya yang putih itu.
“Halah, dulu aja kita sering mandi bareng, kok.”
“Dulu itu kapan, Mbak? Seingatku SD aja kita sudah pisah kamar, kok. Masih bayi maksudnya, Mbak?” protes Dihyan.
Centhini cuek saja dengan keluhan adiknya itu. Ia malah begitu saja menghempaskan tubuhnya di kasur Dihyan dan terlentang di sana.
Dihyan menghela nafasnya panjang.
Ia melirik ke arah kakaknya. “Mbak, nggak deg-degan apa mau ketemu keluarga … ehm, keluarga asli?”
Centhini yang terlentang menatap langit-langit mengernyit mendengar pertanyaan Dihyan. Ia bangkit dan duduk di tepian kasur. Dihyan duduk bersila di lantai menghadapnya.
“Keluarga asli?”
“Iya, orang tua dan saudara-saudara kandung Mbak, lah.”
Centhini memandang Dihyan lekat-lekat, kemudian tersenyum. Ia mendekat dan duduk di samping adiknya itu.
“Sampai saat ini, yang aku tahu, kamu itu adikku, Bapak dan Ibu adalah kedua orang tuaku. Mau kandung atau tidak, itu sama sekali tidak mengubah fakta bahwa kalian adalah orang-orang yang aku kenal dan mengenalku dengan baik. Mengapa aku bersemangat karena mau ke Singkawang? Bukan karena terus aku mau hidup dengan mereka, tetapi karena, ya aku penasaran gimana wajah dan keadaan mereka, yang mungkin secara fisik bakal mirip aku. Sama-sama sipit dan putih. Nggak kayak kamu yang kayak bule tersesat,” ujar Centhini sambil mencolek hidung Dihyan yang mancung itu.
“Berarti malu sama fisik keluarga kita?”
“Kalau sama Bapak ya nggak lah. Ganteng gitu. apalagi Ibu. Kalau kamu … ya iya, malu aku.” Centhini tertawa.
Dihyan merengut. “Aku tu sebel sama kamu, Mbak. Kamu cantik banget, padahal nggak dapat DNA dari Bapak Ibu. Cuma, sekarang dengar kamu seneng banget mau ketemuan sama keluarga biologismu, Mbak, aku kok sedih banget ya. Takut kamu, ehm ….”
Centhini melingkarkan lengannya di bahu Dihyan. “Jangan gitu, dong, ah. Aku nggak akan kemana-kemana. Kita adalah satu keluarga selama-lamanya.”
Centhini mengecup pipi Dihyan, kemudian mengacak-acak rambutnya yang memang sudah dah selalu masai itu.
“Janji ya, Mbak. Sumpah?”
“Iya, sumpah. Emangnya aku rela ada orang lain yang membully kamu selain aku?”
Centhini kembali tertawa. Tapi kali ini Dihyan ikut tertawa, sedikit lega. Perasaan aneh memang datang mengganggu batinnya ketika mengetahui bahwa mereka sekeluarga akan mengunjungi keluarga asli Centhini di Singkawang sana. Meskipun Centhini berkali-kali meyakinkan bahwa ia sekadar penasaran dan ingin berlibur ke Singkawang, sedikit banyak Dihyan merasa gamang.
“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.
Aduhh Dihyan ketemu Wardhani di mimpi... tak bahaya tah? wkwkwkwk
Serem yaa Dihyan bisa bermimpi dgn perempuan manapun yg diinginkannya.
apakah Dihyan tergoda iming-iming Wardhani kna terpancing dengan cap pecundangg?
penasaran next pak Nikodemus
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh